Bab 9: Go Public


Sore itu Adisti dan Ares duduk di ruangan Berto. Adisti lega sekali, akhirnya mereka bisa bertemu untuk membahas perkembangan proyek love scenario ini. Paling tidak, Adisti merasa perlu arahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.

Berto sedang senang. Wajahnya tampak bercahaya dan senyum tak lepas dari bibirnya. "Aku senang karena kelihatannya semua berjalan mulus." Matanya berbinar-binar menatap Adisti. "Sekarang sudah mulai banyak tawaran pekerjaan datang untuk kamu. Ada beberapa permintaan untuk jadi bintang tamu di acara talkshow. Kami sedang atur jadwalnya. Kemungkinan pekerjaan untuk sinetron dan rekaman juga sedang kami bicarakan."

Keceriaan di wajah Berto menular kepada Adisti. Akhirnya, semua yang dia lakukan memberikan hasil. "Iya, Mas. Trims banget." Adisti melirik Ares yang duduk di sampingnya dengan gaya seenaknya.

"Jadwal pertama, kalian diundang talkshow di Nusa TV."

Rasa gugup Adisti muncul. Dia tampak tegang. "Eh ..., oh ..., kapan, Mas?"

"Lusa, siaran langsung pukul sembilan pagi. Kamu harus sudah standby pukul tujuh di studio, ya. Ingat, tidak boleh terlambat." Kata-kata tegas dari bibir Berto berarti perintah yang tak boleh terbantahkan.

Masih banyak nasihat-nasihat dari Berto demi kelancaran proyek ini. Adisti mendengarkan dengan serius. Dia senang mendapat petunjuk untuk menghadapi wartawan. Rasa percaya dirinya semakin meningkat. Adisti merasa lebih siap menghadapi serbuan pertanyaan dari para pemburu berita. Sementara Ares, seperti biasa, tampak acuh tak acuh. Pandangannya lebih banyak tertuju ke pemandangan di luar jendela. Kata-kata Berto seakan masuk ke telinga kiri Ares dan langsung keluar dari telinga kanan. Namun, Berto sama sekali tidak keberatan dengan sikap Ares. Dia tahu walau sikapnya kelihatan tidak peduli seperti itu, sesungguhnya Ares memperhatikan. Pasti Ares sudah menyimpan semua instruksi yang penting dalam benaknya yang cerdas.

***

"Sepertinya lo kurang suka mendapat undangan talk show ini," kata Ares tiba-tiba kepada Adisti. Meeting sudah berakhir dan mereka sedang melangkah keluar dari ruang kerja Berto.

"Eh, bukan gitu," kata Adisti cepat. Dia tidak mau cowok ini salah tanggap. Bagaimanapun, Adisti merasa harus berterima kasih atas bantuan Ares. "Gue cuma lagi mikir ...."

"Tenang aja. Kalau ada pertanyaan yang enggak bisa lo jawab, nanti gue yang bicara."

Tumben nih cowok, lagi baik hati rupanya. "Makasih, tapi terus terang bukan itu yang sedang gue pikirin."

"Terus apa?"

"Gue lagi mikirin outfit buat acara di TV nanti."

Ares tampak menahan tawa, "Kenapa?" tanya Adisti heran.

"Enggak, lo lucu banget." Ares benar-benar tertawa sekarang. Alis Adisti terangkat. Dia tidak merasa sedang bercanda atau melawak. Adisti tidak tahu di mana letak kelucuan yang dimaksud Ares.

"Ekspresi lo itu serius banget." Senyum masih terkembang di wajah Ares. "Gue kira lo mikirin apa gitu."

Kini Adisti ikut tertawa. "Masa, sih?"

"Soal outfit itu masalah kecil. Ayo, gue anter ke mal."

Adisti terbelalak menengar ajakan Ares. "Serius?" katanya masih kurang percaya. Kok bisa cowok yang biasanya tidak peduli ini tiba-tiba berbaik hati? Rasanya ini di luar skenario yang telah direncanakan.

Ares tidak menjawab, hanya mengedipkan sebelah matanya.

***

Ares membawa Adisti ke salah satu mal paling elite di Jakarta. Sungguh waktu yang tepat untuk mengunjungi mal karena pengunjungnya tidak terlalu ramai. Ini hari kerja dan jam makan siang sudah lewat, sedangkan sore belum lagi datang. Itu pun langkah mereka masih terhenti sesekali. Penggemar-penggemar Ares tidak ingin melewatkan waktu untuk berfoto bersama idolanya. Adisti dengan senang hati membantu mengambilkan gambar Ares dengan mereka. Diam-diam, Adisti melihat cara Ares berinteraksi dengan para penggemar. Sopan, tetapi tegas.

Selain penggemar yang berani datang langsung dan meminta tandatangan atau foto, lebih banyak lagi orang-orang yang hanya memperhatikan dan curi-curi mengambil foto mereka. Entah mereka itu penggemar berat, orang yang hanya ingin tahu, atau malah haters yang sedang berburu foto. Justru mereka yang diam-diam ini yang lebih mengganggu menurut Adisti.

Dia senang ketika Ares mengajaknya masuk ke butik. Menurut Ares, butik ini langganan artis-artis muda Jakarta. Adisti tidak bertanya bagaimana Ares bisa tahu butik yang disukai cewek-cewek ibu kota.

"Kok gue masih risi, ya, kalau dilihatin orang-orang?" kata Adisti sedikit curhat dari balik baju-baju yang digantung.

"Gimana mau jadi artis kalau gitu aja udah risi? Artis pasti jadi pusat perhatian. Berada di bawah lampu sorot. Berada di depan kamera." Seperti biasa jawaban Ares selalu to the point. Tanpa basa-basi.

Adisti menghela napas. Susah banget, ya, berdiskusi dengan orang yang merasa bintang besar seperti Ares ini. Setiap kali curhat atau minta pendapat, bukannya merasa lega malahan tambah kesal.

"Ya tapi kan enggak harus dua puluh empat jam sehari tujuh hari seminggu juga. Kenapa, sih, kita enggak bisa dianggap artis waktu di panggung aja? Dilihat sebagai pemain film ketika sedang di depan kamera doang? Di luar panggung dan sorotan kamera, kita bisa menjadi orang biasa, sama seperti orang-orang."

"Idealnya emang gitu. Tapi, kadang-kadang penggemar enggak mau tahu. Mereka kan jarang bisa bertemu langsung idola. Jadi, saat bertemu langsung, dimanfaatkan sebaik-baiknya."

"Tapi, profesi lain bisa," bantah Adisti. "Dokter, guru, polisi. Mereka semua menanggalkan profesi masing-masing kalau lagi enggak bertugas." Dia mengambil dua model baju dan menyerahkannya kepada SPG yang berjaga. "Minta ukuran S, ya, Mbak."

Ares mengangkat bahu. "Karena pekerjaannya emang beda. Artis dan popularitas udah melekat. Sulit untuk dipisahkan. Makanya waktu kita memilih untuk terjun ke dunia entertainment, harus udah sadar konsekuensinya. Harus siap hidup kita diperhatikan banyak orang setiap detik."

***

Malam itu Adisti tidur dengan gelisah. Jadwal siaran live besok di Nusa TV membebani pikirannya. Berkali-kali dia terbangun, hingga kepalanya pusing. Badannya berkeringat walau embusan angin dari AC sangat dingin. Merasa sulit tidur, Adisti mengambil ponsel dari atas nakas. Dalam gelap, dia membuka akun Instagram Ares. Dan, tindakan itu langsung disesalinya. Membaca komentar-komentar di Instagram Ares justru membuat level kegelisahannya memelesat lebih tinggi.

Adisti kesal dengan dirinya sendiri. Seharusnya, sebagai seorang artis dia senang menjadi pusat perhatian. Bangga ketika sorot mata orang-orang tertuju kepadanya. Bukannya malah cemas dan grogi. Adisti sebenarnya juga tidak suka menjadi terkenal karena gosip seperti ini.

Tapi, ini tidak akan lama, Adisti meyakinkan diri sendiri. Hanya sampai namanya ngetop. Anggap saja ini bantuan dari Ares untuk memuluskan jalannya di dunia entertainment. Pikiran ini menenangkan hati Adisti. Dia merebahkan kembali tubuhnya di tempat tidur.

***

"Gimana penampilan gue?" Adisti berbalik dari kaca di depannya, sekarang menghadap Nafa.

"Oke, sip. Keren banget!" Dua jempol Nafa teracung tinggi.

"Serius, nih? Bukan buat ngehibur gue doang?"

"Serius bingit."

"Thanks, ya, udah menemani gue."

"Ah, gue juga senang banget lo ajak ikut ke studio."Nafa melihat ke sekeliling ruang rias. Memanjakan pandangannya dengan mencuri-curi lihat bintang-bintang tamu yang lain. Dia bahkan bersorak kecil saat melihat presenter idolanya lewat.

Seorang kru datang untuk mem-briefing Adisti. Dia mendengarkan dengan serius. Sesekali mengangguk, tanda mengerti. Adisti berusaha merekam semua informasi yang diberikan oleh kru itu dalam ingatannya. Ini acara siaran langsung. Tidak ada pengulangan pengambilan gambar, jadi tidak boleh ada kesalahan sedikit pun.

"Ares mana, ya?" Kru cewek berambut pendek melongok dari pintu.

Adisti melongo sesaat, lalu baru sadar pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Rasa gugupnya makin menjadi. "Mungkin sebentar lagi datang," jawab Adisti pelan seperti berbisik. Untungnya, jawaban itu cukup memuaskan karena kru yang bertanya segera menghilang. Jelas Adisti tidak tahu di mana Ares. Mereka tidak berangkat bersama. Bahkan, kontak terakhir Adisti dan Ares adalah saat cowok itu mengantarnya pulang setelah berbelanja di mal. Adisti melirik jam yang melilit pergelangan tangannya. Hebat sekali. Sebentar lagi acara dimulai dan sang bintang utama belum kelihatan batang hidungnya. Nekat. Benar-benar nekat.

"Hai, Semua ...!"

Suara itu membuat Adisti menoleh ke arah pintu masuk, lalu mengembuskan napas lega. Orang yang paling ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.

"Mari, Kak. Sebentar lagi kita mulai." Kru TV meminta Ares dan Adisti mengikutinya ke stage.

***

Adisti dan Ares duduk berdampingan di sofa. Di samping mereka, duduk dua orang host acara. Lampu-lampu studio menyala terang. Beberapa kamera menyorot ke arah mereka. Ares menggeser duduknya lebih dekat dengan Adisti. Sampai bahu mereka saling menempel. Jantung Adisti berdetak sepuluh kecil lebih cepat. Jelas bukan karena sorot kamera. Adisti boleh jadi grogi bila berhadapan dengan wartawan di luar sana, tetapi jika sudah berada dalam set film atau studio seperti ini, dia justru enjoy. Bahu yang menempel di pangkal lengannya ini jelas penyebab hatinya berdebar.

Acara talkshow berlangsung mulus. Pertanyaan-pertanyaan standar seperti sudah berapa lama pacaran, bertemu di mana, hingga tempat kencan favorit, dijawab Ares lancar dengan ekspresi yang sungguh meyakinkan. Air mukanya tampak ceria berbunga-bunga, persis seperti orang yang sedang jatuh cinta. Sesekali, Ares juga memandang Adisti dengan tatapan mesra. Bahkan, di tengah-tengah acara, tangan Ares bergerak memeluk jemari Adisti. Genggamannya begitu hangat, sampai Adisti merasa lemas dan nyaris lupa bahwa semua ini hanya tuntuan skenario.

***

Di sebuah kamar hotel mewah di Singapura, seorang cewek mengamati siaran streaming dari Nusa TV. Dia baru saja keluar dari kehangatan air di jacuzzi. Badannya yang ramping hanya dibalut jubah mandi putih. Handuk besar dan lembut, juga berwarna putih, membungkus rambutnya yang panjang. Wajahnya yang biasanya dipoles make-up tebal, sesuai profesinya sebagai model dan peragawati, kini tampak polos. Garis-garis kecantikan perpaduan darah Indonesia dan Jerman tampak lebih menonjol pada wajahnya yang tak tersentuh riasan.

Suasana interior hotel yang memanjakan mata sama sekali tidak mampu menarik perhatiannya. Pemandangan kota Singapura dari lantai delapan kamar hotel itu juga tidak mampu mengalihkan pandangannya dari gambar Ares dan Adisti. Cewek itu menyimak dengan seluruh perhatiannya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir Ares dan Adisti yang luput dari perhatiannya. Sesekali, cewek itu meremas handuk kecil yang tadi dipakai untuk menyeka titik-titik air di pipi dan dahinya. Ekspresinya berubah-ubah, antara pucat karena sedih hingga membara terbakar amarah.

Begitu acara selesai, dia menyentakkan keluar ponselnya dari dalam tas. Jari-jari lentiknya menekan-nekan tombol di layar dengan kekuatan yang lebih besar daripada seharusnya, sementara matanya masih menatap tajam layar laptop. Dering nada sambung terdengar dari ponselnya. Satu nama muncul di layar ponsel itu. Ares.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top