Bab 7: Repotnya Jadi Artis
Kehebohan di dunia hiburan Indonesia makin meningkat. Ares dan timnya benar-benar serius menggarap proyek love scenario ini. Paling tidak, ada dua foto Ares dan Adisti yang diunggah di media sosial setiap hari. Publik semakin penasaran kepada sosok wanita di foto-foto itu, yang sampai saat ini belum diketahui identitasnya. Tidak heran jika para wartawan berebut mewawancarai Ares pada setiap kesempatan. Mereka meminta konfirmasi dan komentar Ares mengenai sosok wanita di fotonya.
Sore itu, Adisti dan Nafa menonton acara gosip artis di televisi. Sebenarnya, berita gosip di dunia hiburan bukanlah acara favorit mereka berdua. Hanya karena proyek love scenario-lah mereka sekarang menyempatkan diri menonton.
Acara Dunia Selebriti mengabarkan kehebohan yang terjadi saat Ares diundang ke Nusa TV untuk mendapatkan penghargaan sebagai Artis Terfavorit.
Sebelum acara selesai, Ares sudah diselundupkan keluar. Kru Nusa TV dan manajemen Ares sudah memperkirakan bahwa wartawan akan menyerbu Ares untuk meminta konfirmasi seputar foto-foto teman wanitanya. Dengan alasan keamanan, Ares "diselundupkan" keluar dari pintu samping, bahkan sebelum acara itu selesai. Ares dan semua bodyguard-nya memakai baju seragam dark blue khas karyawan Nusa TV, lengkap dengan topi serta name tag. Tindakan ini harus diambil karena tidak mungkin Ares bisa keluar lewat pintu utama atau belakang. Terlalu banyak wartawan yang menutup kedua pintu itu. Pintu samping lebih aman karena hanya ada beberapa orang wartawan yang berkumpul di sana. Namun, wartawan memang pintar, mereka tetap bisa mengenali sosok Ares. Begitu rombongan Ares keluar, sepertinya semua wartawan yang semula berkumpul di pintu masuk dan keluar langsung meluncur ke pintu samping. Puluhan wartawan berdesak-desakan, lengkap dengan kamera dan alat perekam yang diacungkan tinggi-tinggi. Semua berebut mendekat kepada Ares. Begitu banyak wartawan yang berkumpul, hingga bodyguard Ares tidak bisa menembus kerumunan itu. Rombongan Ares tertahan di pintu samping gedung Nusa TV. Dan, kelihatannya wartawan tidak berniat membiarkan para bodyguard lewat untuk membawa artisnya menuju mobil yang sudah menunggu sebelum Ares menjawab berondongan pertanyaan mereka.
"Mas Ares, kapan tanggal jadiannya?" tanya seorang wartawan dengan jenggot dan kumis lebat sambil menyodorkan mikrofonnya dengan sangat agresif.
Belum sempat Ares membuka mulut, wartawati dengan kacamata tebal yang berdiri di sebelah kirinya sudah bertanya dengan suara setengah berteriak, "Ares, siapa sih nama pacarnya?"
"Ares kapan nikah?"
Pertanyaan ini sukses bikin Ares terbahak. "Waduh, pertanyaannya kejauhan kalau tanya kapan menikah?"
"Jadi sudah confirm ya jadian, Res?" cecar mereka lagi.
Ares mengangkat tangannya. Kompak semua wartawan berhenti berteriak. Semua diam, menanti sepatah kata yang sangat berharga keluar dari bibir Ares. Kata-kata yang akan diturunkan menjadi berita di TV, koran, majalah, atau media lainnya.
"No, comment. Doakan saja yang terbaik untuk kami."
"Yaaah ...." Teriakan kecewa kompak keluar dari kerumunan wartawan. Tidak ada komentar dari Ares berarti tidak ada berita. Tidak seru jika hanya no comment yang dituliskan dalam berita.
"Komentar, dong, Res. Sedikit aja?" wartawati cantik dengan wajah oval berkata dengan nada memelas.
"Oke, sedikit saja, ya. Memang saya sedang dekat dengan seorang cewek. Namanya belum bisa saya umumkan sekarang. Sabar, ya. Nanti kami adakan konferensi pers. Biar enak tanya jawabnya. Sekarang saya harus buru-buru. Ada acara di tempat lain. Makasih, ya ...."
Komentar singkat dari Ares sedikit memuaskan para wartawan. Mereka pun menyingkir, memberikan jalan. Melihat peluang itu, para bodyguard Ares langsung bergerak menuju mobil, Ares mengikuti setengah berlari. Di belakangnya, masih terdengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para wartawan yang pantang menyerah itu.
Adisti menekan remote control. Layar televisi gelap. Dia berpandangan dengan Nafa.
"Sebentar lagi lo bakalan kayak gitu, Dis. Dikerubutin wartawan," komentar Nafa.
"Lo jangan nakut-nakutin, Na."
"Eh, bukannya itu risiko jadi orang terkenal, ya? Dikejar-kejar wartaman. Diikutin penggemar."
"Bisa enggak, sih, jadi artis tapi enggak dikerubuti wartawan?
"Bisa. Jadi artis di kutub bareng penguin."
***
"Na, ke kantin yuk," ajak Adisti setelah kelas Bu Mitha selesai. Kebetulan, sudah jam makan siang. Perut Adisti dari tadi sudah memberikan tanda berupa bunyi-bunyi khas perut yang kosong. Maklum saja, tadi pagi dia tidak sempat sarapan karena bangun kesiangan.
"Duluan, deh, gue mau mampir ke perpus bentar. Ngembaliin buku. Kalau telat, bisa didenda gue."
"Yah, denda dua ribu doang ini per hari."
"Ogah! Lumayan dua ribu, buat beli kerupuk. Udah, lo duluan aja, ntar gue nyusul."
"Oke, deh. Enggak lama, 'kan?"
"Enggak."
Kantin Universitas Pinus ditata mirip foodcourt di dalam mal. Setiap penjual makanan menempati kios tersendiri. Kontrol ketat diberlakukan pihak manajemen universitas untuk menjamin semua makanan dan minum yang tersaji di kantin termasuk kategori sehat. Pilihan makanan yang tersedia di kantin itu cukup lengkap. Ada makanan berkuah seperti soto dan bakso. Yang ingin makanan cepat saji yang praktis dinikmati di kelas atau taman Pinus bisa memilih burger atau kebab. Sedangkan para pencinta nasi bisa menikmati paket ayam goreng dengan nasi atau sate dan lontong. Pilihan minuman dan camilan juga lengkap tersedia. Ada jus, bobba, dan kopi. Pokoknya, jangan takut kelaparan dan kehausan jika kuliah atau berkunjung ke kampus ini. Semua harganya juga cocok di kantong mahasiswa.
Adisti mendatangi ke kios kebab. Dia sedang ingin makanan yang praktis saja. Kebetulan, Adisti cukup akrab dengan dua orang penjaga kios kebab itu. Yang satu masih muda. Mungkin seumuran Adisti. Namanya Farid.
"Kebab yang small—" kata-kata Adisti terhenti melihat ekspresi Farid. Mata cowok itu melotot, mulutnya menganga seperti melihat hantu pada siang bolong. Adisti merasa heran. Dia menoleh ke belakang, curiga jangan-jangan ada penampakan pada siang hari yang ceria ini. Namun, tidak ada apa-apa. Di belakang punggungnya hanya ada deretan kios makanan yang mulai ramai dikunjungi mahasiswa. Adisti pelan-pelan menoleh lagi dan Farid masih bertahan dengan ekspresi yang sama, seakan waktu telah berhenti beberapa detik.
"Farid?" Adisti memanggil pelan. Masih belum ada perubahan pada ekspresi cowok itu. "Farid!" Adisti memanggil lagi, agak keras.
Berhasil. Farid kaget, mulutnya langsung menutup dan matanya berkedip-kedip. Ekspresinya berubah agak malu. Telunjuknya menunjuk Adisti. "Eh, kamu kan ...."
Mata Adisti melebar, menanti kelanjutan kata-katanya. Namun, Farid malah mengganti bahan pembicaraan. "Satu kebab small, ya?" katanya, buru-buru menyiapkan pesanan Adisti.
Sekarang, gantian Adisti yang memandangi Farid. Adisti seakan ingin bertanya dengan nada tinggi, "Ada apa?!" tetapi itu tidak dilakukannya. Nanti malah membuat heboh di kios orang. Jadi, setelah menerima kebab yang disiapkan Farid, Adisti memutuskan untuk langsung duduk.
Adisti baru membuka kertas pembungkus kebabnya, merasa kurang nyaman karena para pengunjung kantin yang duduk di samping, depan, dan belakang berbisik sambil mencuri-curi pandang ke arahnya. Adisti mendongak, dan melihat cewek berambut pendek yang duduk di seberangnya langsung memalingkan wajah, pura-pura melihat ke arah lain. Padahal, Adisti yakin cewek tadi melihat ke arahnya Ah, Adisti jadi risi. Buru-buru Adisti membungkus kembali kebabnya. Tidak enak rasanya makan sembari menjadi pusat perhatian seperti itu. Nanti saja dia makan kebab bersama Nafa. Adisti masih merasakan pandangan para pengunjung kantin mengikuti di belakangnya.
Adisti mengeluarkan ponselnya lalu mengirimkan pesan kepada Nafa: Makan di taman aja, yuk! Tunggu aku, ya, aku mampir ke kios fotokopi dulu. Adisti melangkah ke kios fotokopi yang disediakan pihak kampus. Kemarin, dia meninggalkan beberapa bahan kuliah yang harus dibuat salinannya di sana. Hari ini pasti sudah siap.
"Mas, mau ambil fotokopi, ya."
"Oh, iya, silakan Mbak Adisti. Semuanya dua puluh ribu."
Adisti tersenyum mendengar sapaan ramah penjaga kios itu. Dia mengulurkan uang pas dua puluh ribu dan menerima kertas fotokopi yang dikemas dalam plastik transparan tipis. Dia berbalik dan baru terpikir. Eh, dari mana tukang fotokopi itu tahu namanya, ya? Adisti berhenti sejenak. Membolak-balik lembar-lembar fotokopinya. Namanya tidak tercantum di situ. Masa dari ribuan mahasiswa di sini, dia begitu terkenal? Adisti berbalik hendak bertanya. Mendapati tiga orang penjaga kios fotokopi itu sedang memandanginya, dia membatalkan niat. Dia langsung melanjutkan langkah. Berjalan lebih cepat daripada biasanya.
Sepanjang koridor kampus, Adisti merasa banyak orang yang menatapnya penuh selidik. Mahasiswa lain, petugas kebersihan, karyawan kampus, semua yang berpapasan dengannya memandanginya dengan rasa ingin tahu. Ini tidak normal. Hampir setiap orang meliriknya diam-diam. Bahkan, ada yang terang-terangan mengamatinya dari atas sampai bawah. Adisti berusaha mengusir perasaan itu. Jangan-jangan, ini hanya perasaannya saja karena mood-nya sedang kacau? Adisti seperti tidak bisa bernapas dipandangi seperti itu oleh banyak orang.
Dia baru merasa lega saat sampai di taman kampus. Di ujung kampus, terdapat lahan yang ditanami pohon-pohon dan bunga-bunga. Suasananya rindang, enak untuk duduk-duduk, apalagi disediakan juga bangku-bangku dan meja. Adisti memilih bangku yang terlindung pohon berukuran sedang. Seakan pohon itu menjadi benteng pelindung dari pandangan aneh orang-orang di luar sana.
"Dis!"
Adisti menoleh, "Jon!" Baru kali ini Adisti begitu gembira bertemu Jon. Tadi, Jon tidak ikut kuliah pagi.
Jon menghampirinya dengan langkah cepat. "Tumben sendirian. Tadi Nafa Line aku, katanya kalian mau lunch di taman."
"Jon, sini, gue mau curhat." Adisti menepuk bangku agar Jon duduk di sampingnya.
"Soal cowok, ya ...?" Jon tersenyum lebar.
"Bukan. Gini, tadi gue kan ke kantin dan tempat fotokopi. Aneh banget, deh."
"Aneh apaan?"
"Hei ...." Nafa sudah menyusul ke taman. Dia duduk di samping Adisti. "Wei, siang-siang udah ngerumpi. Kayak acara TV aja. Siang-siang Pasti Rumpi."
"Bukan ngerumpi. Ini Adisti lagi curhat. Katanya hari ini aneh."
"Iya, aneh. Semua orang kok kayak ngeliatin gue gitu, ya?"
Nafa mengamati Adisti dari atas sampai bawah. Dari bawah ke atas lagi.
"Iiih, apaan sih lo, ngeliatin kayak gitu? Ngeri, tahu! Mirip orang-orang tadi."
"Gue mau meriksa, jangan-jangan ada pakaian lo yang aneh, jadi orang-orang pada ngeliatin gitu."
"Jon, ada ide, enggak? Kok malah diam aja, sih?" Adisti terdiam sejenak. Benaknya mendapat pencerahan. "Na, jangan-jangan ...." Cepat-cepat Adisti mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya bergerak lincah di layar, lalu berhenti. Matanya terbuka lebar. Tangan Adisti bergerak perlahan menutupi bibirnya.
"Apa?" Nafa dan Jon bertanya serempak.
Adisti menyodorkan ponselnya. Di Instagram Ares, terpampang nyata foto-foto mereka berdua di atas yacht. Karel mengambil foto-foto itu dengan sangat bagus. Pada foto pertama tampak Ares dan Adisti sedang bertukar pandangan mesra. Foto kedua diambil dengan gaya candid. Adisti dan Ares memandang laut lepas sambil tertawa bahagia. Sebagian rambut Adisti dipermainkan angin hingga menempel di pipi Ares. Wajah Adisti tampak jelas. Rupanya inilah sumber segala keanehan yang Adisti rasakan.
Jon mengetik nama Adisti Milenia di mesin pencari di ponselnya, langsung keluar berita-berita dengan judul menghebohkan.
Sepuluh Foto Tercantik Pacar Terbaru Ares Marcello
Adisti Milenia Pacar Pansos Ares Marcello
10 Foto Mesra Adisti dan Ares
Adisti dan Mantan-Mantan Pacar Ares
Masih banyak berita dengan judul bombastis lainnya. Foto-foto dan berita itu langsung viral dan menghebohkan jagat maya dan nyata. Betapa cepatnya informasi menyeba, terutama informasi tentang Adisti. Tidak hanya wajah Adisti, tetapi juga semua identitasnya langsung diketahui publik. Entah siapa yang dengan sigap mengorek semua informasi itu. Nama, umur, bahkan nama kampus tempat Adisti kuliah sudah diketahui para netizen. Akun IG Adisti langsung diserbu. Jumlah follower-nya meningkat pesat. Postingannya (bahkan postingan lama) mendapat begitu banyak komentar.
"Wah, keren ...!" Nafa bertepuk tangan, bangga. "Sekarang, lo resmi jadi selebriti. Gue mau minta tanda tangan, ah, sebelum harus antre nanti."
"Nafa, jangan bercanda!" Jon menegur.
"Kok bercanda, sih, Jon? Ini serius. Temen kita ini udah jadi artis terkenal. Sebentar lagi, film dan sinetron Adisti pasti muncul berderet. Mantul banget."
Adisti masih diam dengan wajah pucat.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top