Bab 5: White Yacht
"Yeees ..., pantai ...!" Seperti biasa, Nafa menjadi orang yang paling bersemangat setiap kali menjalani love scenario ini. Begitu dikabari rencana pergi untuk foto-foto saja dia sudah tidak bisa tidur semalaman. Persis seperti anak kecil yang dijanjikan untuk pergi piknik.
"Ah, gara-gara pantai, gagal deh rencana nonton," Jon malah menggerutu dengan mata masih mengantuk. Dia memang paling malas pergi-pergi, apalagi piknik ke tempat yang agak jauh. Capek, katanya.
"Sori, ya, Jon." Adisti jadi tidak enak. "Gue janji, deh, besok kita jadi nonton."
"Iya, Jon. Tenang. Nonton itu bisa kapan aja. Kalau ke pantai kan jarang. Udah lama nih gue enggak mantai," Nafa membujuk.
"Terakhir kali gue ke pantai juga waktu SMP," balas Adisti. "Lo kapan terakhir kali ke pantai, Jon?"
"Ah tiap libur semesteran juga gue ke pantai. Kan rumah orangtua gue di Bali. Lo aja yang enggak pernah mau kalau gue ajak liburan ke rumah gue." Jon duduk bersandar di sofa dengan mata terpejam. Sumpah, jika bukan demi Nafa dan Adisti, dua sahabatnya ini, Jon pasti memilih melanjutkan tidurnya. Demi apa coba pagi-pagi begini dia sudah siap di rumah kos Adisti, menunggu Ares menjemput? Katanya mereka akan pergi ke pantai untuk keperluan pemotretan. Ck, pemotretan melulu, Jon berpikir setengah mengantuk.
"Kapan coba lo pernah ngajak kami liburan ke Bali? Yang ada begitu hari pertama liburan lo langsung ngacir pulang. Untung ada Ares yang ngajak kita jalan-jalan sekarang. Aduh, mimpi apa sih lo, Dis? Beruntung banget dapet cowok keren, terkenal, baik lagi."
Mata Jon terbuka lebar mendengar Nafa mengumbar puja dan puji untuk Ares. Dia tidak rela sama sekali artis itu mendapatkan pujian sebanyak itu. Memangnya Nafa tidak sadar apa bahwa selama ini Jon-lah yang menjadi sahabat terbaik mereka? Yah, walaupun dia tidak pernah mengajak Nafa dan Adisti jalan-jalan. Kan lebih enak di rumah. Rebahan sambil main ponsel.
Adisti tertawa kecil. "Inget, lho, Na. Ares itu bukan cowok gue. Ini semua cuma skenario yang dibuat Mas Berto demi mendorong karier gue di dunia hiburan."
Nah, kata-kata Adisti itu baru benar, Jon kembali memejamkan matanya. Memang Nafa saja yang terlalu silau dengan kebintangan Ares.
Adisti memeriksa tasnya, memastikan tidak ada yang ketinggalan. Peralatan make-up, sisir (rambutnya pasti lebih mudah berantakan ditiup angin pantai), beberapa blus ringan dan celana pendek, untuk jaga-jaga supaya bisa menyesuaikan dengan kostum yang dipakai Ares nanti.
Bunyi klakson terdengar di depan gerbang. Nafa yang sedari tadi terus-terusan mengintip dari balik tirai langsung melonjak. "Itu mereka datang!" Dia menyambar tasnya, lalu buru-buru membuka pintu dan berlari keluar, tidak sabar untuk bertemu Ares, sang bintang. Adisti mengikuti di belakangnya. Jon melangkah terakhir dengan langkah diseret.
"Hai ...!" Karel keluar dari mobil. Penampilannya segar pagi ini, dengan kaus putih dan celana Bermuda, serta sepatu santai.
"Hai, Karel ...! Ares mana?" Nafa melongok ke dalam mobil. Matanya mencari-cari, seakan Karel sudah menyembunyikan Ares di bagian tertentu dalam mobilnya.
Karel tertawa kecil melihat kelakukan Nafa. "Oh, sori, Na. Ares enggak ikut jemput. Kita ketemu Ares di lokasi langsung, ya."
Nafa mengangguk-angguk, berusaha menutupi kekecewaannya karena gagal berjumpa Ares pagi ini. Tapi, enggak masalah, pikirnya dalam hati, menghibur diri sendiri. Nanti mereka juga akan bertemu di pantai.
***
"Mana pantainya, Rel? Gue udah enggak sabar mau bikin istana pasir, nih!" seru Nafa. Dari tempat parkir mobil, mereka berjalan menyusuri dermaga. Jon memandang kagum beberapa yacht yang terparkir di situ.
"Yang bilang kita mau main pasir di pantai siapa?" tanya Karel dari balik kacamata hitamnya.
Lho? Adisti dan Nafa berpandangan heran.
"Tapi ..., tapi ..., Ares sendiri yang bilang kalau lokasi pemotreten kali ini di pantai." Adisti menggigit bibirnya. Bisa gawat kalau dia salah dengar. Baju-baju yang dibawanya sudah disesuaikan dengan tema pantai. Jika tiba-tiba lokasi berubah kan kacau. Bisa salah kostum dia! Tidak mungkin mengenakan blus tipis dan celana pendek jika lokasi foto-foto pindah ke pegunungan, misalnya.
"Tenang, Dis. Mungkin ada salah informasi sedikit. Kita bukan pemotretan di pantai. Tapi, di situ." Karel menunjuk salah satu kapal yang bersandar di dermaga itu. Yacht itu berwarna putih bersih. Kapal berukuran sedang itu mengapung tenang di atas lautan. Tampak gagah dengan ujung depan berbentuk runcing. Beberapa orang kru tampak sibuk di atas kapal itu.
Adisti dan Nafa berpandangan dengan ekspresi kagum.
"Kita mau berlayar pakai yacht?" Nafa berkata pelan sebelum menutupi mulutnya, menahan keinginan bersorak ditambah berjingkrak-jingkrak. Jangan sampai kelihatan norak di depan Karel. Padahal, kapan lagi coba anak kos-kosan bisa berlayar dengan yacht? Serasa jadi orang kaya baru. Kagum dan senang jadi satu. Bahkan, Jon sampai terpana dengan bibir terbuka. Adisti heran karena tidak menyangka Ares bakal seniat itu mencari lokasi untuk foto-foto.
Bertiga, mereka duduk di bagian depan kapal, menikmati pelayaran perdana mereka. Melihat ujung kapal membelah air laut yang kebirutan. Merasakan sejuknya angin membelai wajah dan rambut. Adisti mendesah gembira merasakan sensasi yang sangat menyenangkan ketika berada di tengah lautan seperti ini. Dia belum pernah berlayar sebelumnya. Kontak paling dekat antara Adisti dengan air laut adalah kala ombak membasahi kakinya di pantai.
"Gila, keren banget, ya, pemandangannya," gumam Adisti sambil memandangi langit biru yang seperti kubah raksasa pelindung dunia. Awan-awan putih berarak susul-menyusul di angkasa.
Nafa dan Jon mengangguk setuju. "Enggak nyesel kan lo batal nonton demi menikmati laut kayak gini?" Nafa menggoda Jon yang langsung menyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Sejauh mata memandang, terhampar air laut berwarna biru kehijauan. Menikmati pemandangan indah bersama sahabat-sahabat pastinya mampu menghapus semua beban pikiran di hati, menggantikannya dengan kedamaian.
Seorang waiter menghidangkan minuman dalam gelas tinggi dengan hiasan jeruk dan payung kecil. Fancy. Nafa membenturkan gelasnya dengan gelas Adisti sebelum mencecap minuman itu. Rasa manis dan dingin minuman mengusir rasa haus mereka.
Karel mendekat dengan senyum ramah. "Gimana, enjoy?"
"Banget! Makasih udah ngajak kami ke sini," Adisti menjawab. "Benar-benar tempat yang keren untuk foto-foto."
"Ini ide Ares. Aku cuma mengatur detailnya aja. Dia bilang untuk foto-foto kali ini lebih romantis kalau ngambil lokasi di laut. Dia emang enggak pernah tanggung-tanggung kalau ngerjain sesuatu. Selalu memilih yang terbaik. Harus menjadi yang terbaik."
"Ares suka laut?" Adisti bertanya ingin tahu.
"Suka sekali. Setiap kali dia merasa sumpek atau ingin melepaskan diri sejenak dari beban pekerjaan, dia pasti ngajak aku berlayar."
"Yah, berada di laut yang luas seperti ini memang bisa meredakan sesak di dada dan pikiran." Adisti setuju.
"Dis, aku enggak mau mengganggu, tapi kamu sudah ditunggu Ferry."
"Fery ...?" Adisti tidak mengenal nama yang disebutkan Karel.
"Oh sori, Ferry itu make-up artist yang akan bantu merias kamu."
"Aku perlu make-up artist? Kok kedengarannya serius banget, ya?"
Karel mengangguk. "Foto-foto kali ini akan menampakkan wajah. Jadi, menurut Ares lebih baik menggunakan jasa Ferry supaya hasilnya nanti lebih bagus."
Adisti menelan ludah. Grogi juga membayangkan wajahnya akan muncul di media sosial Ares. Untung sekali Ares punya ide membawa make-up artist. Rasa percaya diri Adisti terdongkrak sedikit.
Jon dan Nafa ikut menemani di kamar tempat Adisti dirias. Nafa masih cerewet mengomentari setiap hal yang dilihatnya: kapal yang bagus, ombak yang keren, tirai yang cantik, semuanya dikomentari, sambil asyik menyantap camilan yang disediakan waiter.
Kuas dan sisir Fery bagaikan tongkat ajaib yang menyulap wajah Adisti menjadi jauh lebih cantik. Benar-benar seperti ahli pelukis wajah. Berbagai warna yang tersedia di palet kosmetik berpadu dengan indah di wajah Adisti. Matanya kelihatan lebih lebar dan lembut. Lipstik yang dipoleskan di bibirnya memancarkan keindahan warna bibir yang alami.
"Ares mana, nih?" Jon berbisik kepada Nafa.
"Kenapa? Lo kangen? Sekarang ngefans sama Ares?"
Jon menarik ujung rambut Nafa dengan gemas. "Sembarangan! Gue cuma heran. Kita udah lama di atas kapal, udah santai-santai sambil minum, Adisti sampai selesai make-up, kok dia belum nongol juga? Jangan-jangan ketinggalan di dermaga."
"Ngaco aja. Ntar gue tanya."
Sebelum Jon sempat melarang, Nafa sudah setengah berteriak, "Rel, si Joni nanya, nih! Ares mana, kok enggak kelihatan? Jangan-jangan ketinggalan di dermaga!" Nafa cekikikan melihat Jon memelotot gemas.
Karel ikut tertawa. "Tenang aja, Ares ada di kapal ini, kok. Masih di kamar. Ada kerjaan sebentar, katanya. " Dia melirik jam tangannya. "Sebentar lagi dia ke sini."
Betul saja. Tidak lama pintu kamar terbuka. Ares muncul.
"Udah siap?"
Karel mengangguk. Mereka semua berjalan keluar kamar. Ares memilih bangku tempat mereka duduk-duduk tadi sebagai tempat pertama untuk mengambil gambar. Karel mengatur Adisti dan Ares berpose saling menatap seperti layaknya dua orang yang sedang jatuh cinta berat. Hal yang sulit bagi Adisti, bermesra-mesra dengan pria yang baru dia kenal. Dia mengerjapkan mata beberapa kali. Grogi melihat Ares yang menatapnya dengan penuh cinta.
"Dis, kurang mesra ...!" protes Karel yang berada di balik kamera sekaligus merangkap sebagai pengarah gaya. "Ini, sih, kayak orang baru kenalan! Bukan pasangan yang baru jadian."
Ketegangan merayapi seluruh tubuh Adisti, dan Ares pun merasakan.
"Ayo, Dis. Kamu pasti bisa ...!" Nafa berteriak menyemangati, mirip pemandu sorak di lapangan basket. Adisti melirik Nafa dan Josn. Ah, melihat Jon memasang ekspresi tidak suka malah membuat Adisti semakin gugup.
Ares berdecak melihat ketegangan Adisti. "Santai aja," katanya pelan, nyaris berbisik. "Anggap ini peran dari skenario yang harus kamu mainkan. Saat ini kamu bukan Adisti mahasiswa. Kamu Adisti pacar Ares."
Kata-kata Ares menembus pikiran dan hati Adisti. Ah, ya, benar. Ini bukan soal perasaan antara Ares dan Adisti. Pose-pose ini adalah bagian dari peran yang sedang Adisti mainkan. Adisti memejamkan matanya dan memusatkan konsentrasi. Adisti melepaskan diri dari kepribadiannya yang sesungguhnya, lalu memakai kepribadian baru sebagai Adisti, sang artis. Berusaha masuk ke peran sebagai Adisti, yang sedang menjalin hubungan dengan Ares sang bintang. Menghayati peran sebagai Adisti yang sedang jatuh cinta berat kepada Ares.
Oke, dia sudah siap. Adisti membuka matanya dan langsung menatap Ares dengan penuh cinta. Bahkan, Adisti menggeser duduknya sehingga lebih dekat dengan tubuh Ares. Begitu dekat, sampai tubuh mereka nyaris bersentuhan.
Sejenak, Ares terkejut melihat perubahan Adisti. Dalam beberapa detik saja, gadis itu telah berubah menjadi orang yang berbeda. Ya, secara fisik gadis yang duduk di sampingnya masih Adisti yang sama. Namun, dari sorot mata dan gerak lakunya terlihat jelas Adisti telah menghayati tokoh yang diperankannya. Ares menggeleng dengan kagum. Jika untuk pemotretan begini saja Adisti bisa berperan secara natural menjadi sosok yang berbeda, bayangkan betapa dahsyatnya bila gadis itu mendapatkan skenario yang hebat.
Segera Ares berpose menyambut kemesraan Adisti. Dalam jarak sedekat ini, Ares baru memperhatikan mata cokelat Adisti yang begitu indah. Jari-jari lentik Adisti yang menggengam gelas minuman. Rambut Adisti yang juga bernuansa cokelat alami membingkai lembut wajahnya yang oval. Ares mau tidak mau mengakui dalam hati kecantikan gadis di depannya ini.
Lokasi pengambilan gambar berganti beberapa kali. Pose diatur berbeda, tetapi tetap dengan satu tema: jatuh cinta. Ada pose Adisti bersandar manja di bahu Ares. Pose Ares membelai rambut Adisti yang sedikit berantakan ditiup angin. Senyum Adisti yang terkembang malu-malu. Mata Ares yang berbinar penuh kasih. Dua orang artis peran sedang mengeluarkan kemampuannya. Siapa pun yang melihat akan menyangka pasangan itu benar-benar dua orang yang sedang dimabuk cinta. Cara mereka saling memandang, senyum yang terpancar di wajah mereka, hingga wajah yang merona, semua memancarkan aura jatuh cinta yang sangat pekat.
Karel memanfaatkan semua momen itu. Dia menekan tombol kameranya berkali-kali. Mengambil puluhan gambar untuk dipilih nanti, sampai Ares merasa cukup dan puas dengan hasil pemotretan hari ini.
***
"Dis, bisa bicara sebentar?" Ares menghampiri Adisti yang sedang bersandar di besi pembatas kapal. Pemotretan sudah usai dan mereka sedang berlayar pulang.
"Tentu, ada apa?"
"Besok atau lusa foto-foto ini akan di-upload di media sosialku."
Adisti menarik napas panjang. "Ya, aku tahu."
"Sebaiknya, kamu bersiap. Reaksinya pasti lebih hebat dari foto-foto kemarin."
Adisti menatap wajah Ares yang tampak sangat serius. Entah mengapa, cowok yang biasanya cuek dan angkuh itu tiba-tiba tampak cemas. "Tenang saja, aku sudah menyiapkan mental."
"Serius?"
Adisti mengangguk. "Aku sudah membahas hal-hal ini berkali-kali dengan Nafa dan Jon."
"Aku senang kamu punya teman-teman yang sangat mendukung. Jangan lepaskan mereka. Kamu tahu, satu hal yang sulit didapatkan pada saat kamu berada di puncak ketenaran adalah sahabat sejati."
Adisti mengangguk, walau belum sepenuhnya mengerti kata-kata Ares.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top