Bab 4: Menebar Sensasi

"Aku punya banyak fans. Dan, sebagian besar dari mereka enggak suka kalau aku punya pacar," Ares menjelaskan tanpa diminta. Dia bisa membaca raut heran di wajah Adisti. "Biasanya cewek yang dekat denganku bakal jadi sasaran empuk haters."

Adisti mengangguk paham. "Kalau melihat yang bakal diposting itu cuma tangan dan punggungku, aku ragu bakal ada yang ngenalin itu fotoku. Jadi, kalau ada yang komentar enggak enak, aku bisa pura-pura itu enggak ditujukan ke aku."

Ares meneguk ocha untuk mendorong potongan sushi yang selesai dikunyahnya. "Ini baru permulaan. Kita harus bikin netizen penasaran. Kalau langsung posting foto wajah kamu, enggak seru. Sensasinya kurang booming. Kita mesti bermain cantik. Merancang skenario yang rapi. Akan tiba saatnya nanti wajah kamu terlihat. Sampai saat itu tiba, kamu bisa menyiapkan diri.

***

Mereka berpisah di restoran itu. Ares menyuruh dua orang bodyguard-nya mengantar Adisti, Nafa, dan Jon pulang.

"Duh, seru banget, ya, pengalaman hari ini!" Nafa mengempaskan tubuhnya ke karpet yang terhampar di ruang tamu rumah kos mereka. Selain karpet lengkap dengan bantal-bantal besar, di ruang tamu itu juga tersedia sofa dan televisi. Fasilitas yang bisa dimanfaatkan anak-anak kos untuk menerima tamu.

Adisti dan Nafa tidak ingin beristirahat sebelum membahas tuntas keseruan hari ini. Berhubung Jon tidak bisa ikut ke kamar (pastinya ...), maka mereka memutuskan mengobrol di ruang tamu ditemani beberapa bungkus keripik kentang dari stok camilan Adisti dan Nafa.

"Emang rezeki enggak bakal ke mana," lanjut Nafa. "Gue enggak nyangka banget bisa ketemu Ares. Gayanya enggak angkuh, kok, Dis."

"Segitu menurut lo enggak angkuh?" Adisti heran dengan penilaian Nafa. "Gayanya kalau bicara itu, lho. Sok cuek banget."

"Yaaah ..., agak. Sedikit," Nafa berkompromi. Agak ngeri dia menerima tatapan tajam Adisti dan Jon yang tidak setuju dengan pendapatnya tentang Ares. "Tapi ..., berhubung dia artis ngetop, wajar, 'kanm kalau sedikit sombong?"

"Predikat artis terkenal enggak bikin lo bebas berlaku sesuka hati, Na," Jon menimbrung, mencoba mengembalikan logika ke benak Nafa yang dipenuhi kekaguman terhadap Ares.

"Iya, sih ...," Nafa mengakui kebenaran kata-kata temannya. "Tetap aja gue senang ketemu dia. Dapet tanda tangan lagi." Nafa memamerkan buku catatan kuliahnya yang kini berhias tandatangan Ares. For Nafa, with love, begitu tulisan di bawah tanda tangan itu. Membuat Jon bernafsu ingin melontarkan protes.

"Ngomong-ngomong, emang lo udah siap bikin sensasi kayak gitu, Dis?" Jon mengalihkan pandangannya kepada Adisti yang sedang memain-mainkan bantal.

"Hmm ..., siap enggak siap, sih, Jon. Gue enggak bisa nolak. Ini usulan dari Big Boss manajemen gue. Dia yang atur. Lagi pula, ini untuk kepentingan karier gue."

"Lo selalu bisa menolak semua usulan orang lain. Apalagi ini menyangkut kehidupan pribadi lo. Gue enggak bisa bayangin haters bakal nyerbu media sosial lo. Terus lo nggak bebas pergi ke mana-mana lagi. Diserbu fans kayak tadi Ares diserbu penggemarnya."

Adisti meringis. "Gue, sih, sebenarnya suka banget sama dunia akting. Tapi, kalau memikirkan risikonya, kok kedengarannya mengerikan banget, ya?"

"Aaah ..., tenang aja, Dis! Enggak seburuk itu, kok," potong Nafa sok tahu. Jangan sampai Adisti mundur dari proyek love scenario ini. Bisa bahaya. Kan jadi susah baginya untuk bertemu Ares lagi. "Jon, jangan lebai! Bikin takut Adisti aja! Gini, deh, semua orang itu pasti ada yang suka dan enggak suka. Sama saja dengan artis. Wajar. Itu bentuk keseimbangan dalam hidup. Enggak semua orang senang sama kita, 'kan? Bedanya cuma jumlah penggemar dan haters para artis itu lebih banyak. Dan, kehidupan mereka lebih terekspos."

"Bener, tapi lo tahu sendiri. Sekarang kan komentar netizen sadis-sadis banget," Jon membantah. "Gue cuma enggak mau Adisti sedih karena komentar-komentar kurang ajar dari orang yang enggak kita kenal."

"Resepnya menghadapi haters yang julid cuma satu ...." Nafa diam sejenak, mengawasi wajah sahabat-sahabatnya. "Enggak-usah-peduli. Ya, 'kan?"

Adisti mengembuskan napas panjang. "Lo berdua benar. Kalau mau maju terus di dunia hiburan, ada baiknya gue menyiapkan mental dari sekarang. Supaya enggak kaget kalau nanti baca komentar-komentar julid dari penggemar Ares."

"Eh, lihat, nih, Ares udah posting foto tadi!" Nafa mengacungkan ponselnya. Dia memang dari tadi tidak sabar menunggu hasil foto-foto hari ini, bolak-balik mengecek semua sosial media milik Ares.

Adisti dan Jon serentak mengecek ponsel masing-masing. Di Instagram, Ares terpampang foto tangannya sedang menggenggam jemari Adisti. Caption-nya: Akhirnya aku menemukanmu..., diikuti emotikon love.

"Wiiih ..., enggak nyangka kalau Ares romantis banget!" Justru Nafa yang tampak tersipu-sipu. Wajahnya memerah semringah. Imajinasinya melayang jauh, seakan tangannya yang sedang digenggam Ares.

"Ah, lo kan tahu kalau ini pura-pura. Yang bikin caption juga Karel," Adisti mengingatkan Nafa sambil tertawa.

Nafa cemberut. Kata-kata Adisti seperti jarum yang menusuk balon angan-angannya hingga meletus, membawa Nafa kembali ke dunia nyata. "Yah, tetap aja so sweet. Romantis. Eh, ini gila banget, baru diposting sepuluh menit, yang like udah tiga ribu. Kereeen ...!"

"Yang komen udah lima ratus, tuh," celetuk Jon.

"Nah, akhirnya lo mengakui kesaktian Instagram seorang Ares, 'kan?" Nafa meledek Jon. "Nama Adisti bakalan langsung ngetop, nih, begitu wajahnya tayang nanti."

"Mengakui apanya?" Jon protes. "Gue cuma menyebutkan fakta kalau yang komen di postingan itu udah lima ratus."

"Whatever. Emang beda, ya, kalau artis atau selebgram yang posting," kata Nafa, masih terkagum-kagum. "Coba gue yang posting foto, paling-paling yang nge-like cuma sepuluh orang. Komennya dua."

"Dari gua sama Jon," celetuk Adisti.

Mereka bertiga tertawa. "Iya, bener banget!" Nafa setuju. "Eh, lihat, nih, komennya oke-oke, kok!" Nafa membaca keras-keras. "'Selamat, ya, Kak Ares!' 'Ikut happy, deh!' 'Ih, tangan ceweknya kok ...,'" Nafa berhenti membaca.

Adisti melanjutkan dalam hati, kurus banget, sih?

Pasti nggak cocok sama Kak Ares.

Kak Ares buang aja cewek enggak jelas kayak gitu!

Makin ke bawah, semakinbanyak komentar-komentar negatif. Mulai dari body shaming, sampai ada yang mengeluarkan kata-kata tidak sopan.

"Heran, ya, ada aja orang yang bisa komentar enggak enak kayak gitu. Padahal kan mereka enggak kenal gue." Kening Adisti berkerut, masih tidak habis pikir membaca komentar penggemar Ares yang begitu kejam hanya karena melihat fotonya berdua Ares. Padahal, hanya tangannya yang terlihat, tetapi netizen-netizen itu merasa boleh memakinya, menghinanya. Wajah Adisti memucat.

"Udah, deh, ngapain juga bacain komentar-komentar enggak jelas kayak gitu?" Jon merebut ponsel dari tangan Adisti, lalu menaruhnya di atas karpet. "Kan tadi kita udah sepakat, cara menghadapi komentar negatif menurut Nafa adalah: jangan peduli. Mendingan kita ngobrolin yang lain, deh. Jadi, 'kan, besok kita nonton? Mumpung libur kuliah, nih!"

"Jadi, dooong ...!" Nafa selalu antusias dengan kegiatan ngemal, alias makan, nonton, dan belanja.

"Siiip ...!" Adisti pura-pura riang, meniru semangat Nafa. Padahal, pikirannya masih dihantui komentar-komentar para penggemar Ares.

***

Selepas senja, Adisti sendirian di kamar. Nafa sedang pergi membeli ayam goreng untuk makan malam di ujung jalan sana. Melihat wajah Adisti yang terlihat lelah, Nafa berkeras pergi sendiri membeli makanan untuk mereka berdua. Dia meminta Adisti untuk beristirahat. Kebetulan, Adisti sedang kehilangan nafsu makan. Dia juga sedang malas keluar kamar.

Adisti mencoba mengikuti saran Nafa. Dia berbaring di tempat tidurnya, memaksa tubuhnya untuk beristirahat, tetapi gagal. Fisiknya memang tidak melakukan apa-apa, tetapi pikirannya menolak berhenti bekerja. Kilasan-kilasan kejadian bersama Ares masih berganti-ganti mengisi benaknya. Bercampur dengan kecemasan soal haters, dan mengira-ngira bagaimana akhir dari skenario percintaan ini.

Tidak bisa memejamkan mata, tangan Adisti menjangkau ponsel di atas meja di samping tempat tidurnya. Berpindah-pindah dari satu medsos ke medsos lainnya. Melihat-lihat akun teman-temannya. Memberi like di status-status atau foto-foto yang disukainya. Berbalas komentar di sana sini.

Beberapa kali dia membuka akun media sosial milik Ares, tetapi belum ada foto baru yang diposting. Mungkin baru besok Ares akan mempublikasikan foto tampak punggung mereka. Adisti tidak berani lagi membaca komentar-komentar yang makin lama makin panjang itu. Komentar-komentar pedas bertambah banyak. Rupanya, benar kata-kata Ares, banyak penggemarnya yang tidak setuju cowok itu menjalin hubungan. Padahal, Ares termasuk artis yang sering digosipkan memiliki hubungan spesial dengan banyak wanita. Teman dekatnya datang dari sesama artis, model, dan selebgram. Mulailah para penggemarnya membanding-bandingkan foto Adisti dengan mantan-mantan Ares. Banyak pula yang penasaran dengan pemilik tangan itu, lalu mencocokkannya dengan foto tangan artis-artis lain. Hanya foto tangan saling menggenggam saja bisa memancing reaksi seperti itu.

Ponsel di tangan Adisti bernyanyi. Nomor tidak dikenal. Adisti tidak sedang mengharapkan telepon dari siapa pun. Tidak mungkin juga itu tawaran casting. Telepon yang berhubungan dengan pekerjaan biasanya datang pada jam-jam kantor.

Adisti menekan tombol reject. Dia tidak sedang dalam mood bicara melalui ponsel. Apalagi dengan nomor tak dikenal. Namun, orang di seberang sana mencoba lagi. Sekali lagi, Adisti menolak panggilan itu. Ternyata, peneleponnya ternyata termasuk orang yang pantang menyerah. Ponsel Adisti berbunyi lagi. Nomor yang sama. Adisti mengerutkan dahinya. Mungkinkah ini panggilan penting?

"Halo ...?" jawabnya ragu-ragu.

"Kamu udah lihat Instagram-ku?"

"Ares?" Adisti kaget, tanpa sadar terduduk.

"Iyalah, siapa lagi? Cepet simpan nomorku, biar kamu enggak kelamaan ngangkat telepon lagi. Sumpah, ya, selama ini belum pernah ada orang yang me-reject teleponku," Ares mengomel.

"Tapi, nomor ini beda sama nomor yang kamu pakai tadi pagi."

"Iyalah, aku punya lebih dari satu nomor telepon."

Ih, salah sendiri punya nomor telepon begitu banyak. Mana aku tahu ini telepon dari dia? Memangnya aku cenayang yang bisa menerka identitas penelepon yang masuk?

Namun, Adisti hanya mengucapkannya dalam hati. Dia tidak ingin berbantahan dengan Ares, apalagi di telepon. Biarlah kesombongan cowok itu dibalas orang lain. Bukan Adisti. Dia segera menekan-nekan tombol ponselnya untuk menyimpan nomor telepon Ares.

"Kamu belum jawab pertanyaanku," protes Ares.

"Yang mana?" Adisti menggaruk ujung hidungnya yang tidak gatal. Mungkin ini efek dari tubuhnya yang lelah, jadi otaknya juga segan diajak bekerja cepat mengolah informasi. Mudah-mudahan ini bukan karena grogi ditelepon Ares malam-malam. Adisti merasa jadi mirip Nafa yang kena star struck.

"Kamu udah lihat Instagram-ku?" ulang Ares tidak sabar.

"Oh, itu. Udah."

"Lalu?"

"Lalu ...?" Kenapa komunikasinya dengan Ares macet? Tidak lancar. Apakah karena Ares bintang di langit yang tinggi sementara Adisti orang biasa yang menjejak tanah, hingga kata-kata Ares sukar dimengerti?

"Iya, bagaimana tanggapan kamu?"

Ya ampun, ternyata itu maksud pertanyaan Ares. "Yah ..., okelah ...."

"Maksudnya okelah? Masa cuma oke?"

Duh, cowok ini memang banyak maunya. Semula, Adisti mengira Jon adalah cowok yang bawel, ternyata masih ada yang lebih cerewet dari sahabatnya itu.

"Maksudku bagus. Komen dan likes-nya banyak banget."

Ares tertawa bangga. "Itu belum seberapa. Besok aku posting foto yang lain. Pasti sambutannya lebih heboh lagi."

"Ng, oke. Tapi, Res ...." Adisti ingin menanyakan sesuatu, tetapi keraguan muncul di hatinya. Segan karena mengingat sikap angkuh Ares, tetapi cowok ini adalah tempat bertanya yang paling tepat.

"Kenapa?"

"Eh ..., itu ..., aku baca ada beberapa komentar yang enggak suka."

"Oh, itu. Bbiasalah. Aku udah memperingatkan kamu, 'kan? Namanya juga netizen. Mereka memainkan jari di ponsel kadang-kadang tanpa dipikirkan dan dirasakan. Enggak usah dimasukin ke hati.

"Kalau kamu baper, mendingan enggak usah dibaca," lanjut Ares. "Sebenarnya, bisa aja sih aku matikan kolom komentar, supaya enggak mengganggu kamu. Tapi, jadinya nanti kurang seru. Kalau mau pansos, lebih enak kolom komentarnya dibiarkan terbuka. Jadi, netizen bebas menulis apa saja di sana. Seru karena bisa memancing komentar netizen yang lain. Malahan, sesama netizen bisa berbantah-bantahan, jadi tambah ramai postingannya," Ares menerangkan panjang lebar dengan gaya seorang pakar. Adisti merasa seperti sedang mendengarkan ceramah dosen.

"Mmm ..., oke."

"Satu lagi, besok aku jemput kamu pukul enam pagi." Kata-kata Ares lebih mirip perintah daripada ajakan.

"Mau ke mana?"

"Foto-foto lagi. Perlu stok foto lebih banyak untuk menjadikan love scenario ini viral."

Adisti ingin mengajukan banyak pertanyaan. Foto-foto di mana? Konsepnya apa? Namun, sepertinya Ares tidak terlalu berminat menerangkan sesuatu secara jelas. Cowok itu terbiasa berkomunikasi irit kata-kata, tetapi mengharapkan siapa pun lawan bicaranya mengerti. Jadi, pertanyaan yang keluar dari bibir Adisti adalah, "Boleh ajak Nafa dan Jon?"

"Ajak aja," jawab Ares datar.

Yes! Adisti bersorak dalam hati. Kehadiran Nafa dan Jos memberikan rasa aman. "Res ...."

"Mmm?"

"Makasih, ya."

Ares terdiam. "Oke," jawabnya singkat sebelum telepon dimatikan.

Adisti terdiammemandangi ponsel di tangannya. Ini barupermulaan, batinnya. Akan ada tantangan yang lebih besar segera datang. AkankahAdisti kuat menghadapinya?[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top