Bab 20: Mata-Mata Rahasia
Ares menunggu, dalam hatinya sangat berharap Adisti mau bercerita mengenai beban hatinya. Ares tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adisti, hingga dia tidak bisa berkonsentrasi saat latihan. Penghayatannya kurang. Suaranya gagal menembak nada dengan tepat. Sayang Ares tidak bisa menerka apa gerangan yang menyita perhatian Adisti.
Sementara di depannya Adisti tampak menghela napas panjang, berusaha mengurai masalah yang sedang dihadapinya. Tawaran pekerjaan untuk duet ini saja sudah membebani pikirannya. Beragam pertanyaan bermunculan. Bagaimana jika nanti penampilannya kurang prima? Apa penonton nanti akan menyukai suaranya? Bajunya? Rias wajahnya? Ternyata, tidak mudah menjadi artis. Untuk penampilan sepanjang beberapa menit saja perlu persiapan yang sangat panjang. Melibatkan banyak orang. Pelatih vokal, band pengiring, perancang baju, make-up artist, dan masih banyak lagi. Bisa dibayangkan betapa pusingnya mengatur semua itu. Adisti yang hanya tahu beres saja, hanya memikirkan latihan dan show, rasanya sudah seperti menanggung beban beberapa ton di pundaknya.
Ponsel Adisti berbunyi. Ada pesan masuk. Adisti mengeluarkan ponselnya dari tas. Dahinya berkerut melihat tampilan pesan di layar.
Hai ..., gimana? Sukses latihannya? Dari Isabel.
Adisti berpikir sejenak, lalu segera mengetikkan jawaban. Jika ditunda-tunda dan Isabel malah meneleponnya, bisa gawat. Jangan-jangan nanti dia curiga Adisti dan Ares tidak latihan dan malah sibuk berduaan.
Lancar, sih. Ini lagi break sebentar.
Break di studio? Baru beberapa detik chat LINE dari Adisti terkirim, balasan Isabel sudah muncul.
Adisti terdiam. Pertanyaan Isabel bisa menjebak. Isabel bakal curiga tidak, ya, jika Adisti mengaku sedang berada di kafe?
Enggak, ini lagi di kafe dekat studio. Adisti memutuskan berterus terang. Bahaya jika dia berbohong dan ketahuan.
Adisti menunggu. Kini, balasan dari Isabel tidak kunjung datang. Tuh, kan, jangan-jangan dia marah gara-gara Adisti dan Ares break di kafe. Meski Adisti tidak menyebut bahwa Ares bersamanya.
"Chat dari siapa, Dis?" Ares heran dengan perubahan ekspresi Adisti. Sebentar kelihatan serius, sebentar ketakutan. Ares penasaran siapa yang mengirimkan chat kepada Adisti sampai bisa bikin cewek itu kelihatan sangat cemas.
"Oh, dari Nafa," jawab Adisti cepat. Buru-buru dia menggeser letak ponselnya agar Ares tidak bisa melihat deretan chat di situ.
Ting! Oh, akhirnya balasan Isabel masuk juga. Adisti kembali mengecek ponselnya. Bukannya deretan kata-kata yang dikirimkan Isabel, melainkan foto. Ini foto kami waktu di London. Mesra, ya ..., tulis Isabel, mengiringi foto dirinya dan Ares berpelukan di depan Big Ben.
Ini waktu kami ke Jepang. Kali ini foto Isabel bergandengan tangan dengan Ares di depan patung Hachiko yang terkenal.
Sungguh, mereka berdua tampak mesra sekali dalam foto-foto itu. Cengiran Ares seperti memamerkan bahwa dia adalah orang yang paling bahagia di muka bumi. Dan, senyum Isabel membuat wajahnya tampak puluhan kali lebih cantik. Sungguh pasangan yang serasi. Sama-sama terkenal. Tampan dan cantik.
Tiba-tiba, ada nyeri di sudut hati Adisti. Ugh ..., padahal masih ada sepuluh foto lain yang dikirimkan Isabel. Mau tidak mau, Adisti jadi membandingkan foto-fotonya bersama Ares dengan milik Isabel. Tampak jauh berbeda. Dalam foto Isabel, Ares kelihatan lebih mesra dan penuh cinta. Hmm ..., tentu saja itu karena hubungan Adisti dan Ares hanya hasil proyek love scenario. Ingat, Adisti, katanya kepada diri sendiri, S-C-E-N-A-R-I-O. Berarti cinta yang diatur untuk keperluan peran. Bukan rasa yang datang dari dalam hati.
Oh, oke. Hanya itu. Adisti bingung harus merespons seperti apa. Dia tidak tahu apa maksud Isabel mengirimkan foto-foto itu. Jika maksudnya ingin membuat Adisti kesal, Isabel gagal. Adisti justru merasa sedih.
Tingkah laku Isabel menjadi tambahan beban yang harus Adisti tanggung. Terus terang, Adisti jadi serbasalah. Menuruti tuntutan skenario berarti wajib bermesraan dengan Ares di depan kamera. Aneh, 'kan, kalau sudah memproklamirkan status pacaran tetapi tidak kelihatan dekat? Terus terang, perasaannya juga sering terhanyut, terbawa skenario. Namun, berulang kali Adisti harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa Ares adalah milik Isabel.
Semua pikiran itu campur aduk dalam kepalanya. Memaksa benaknya bekerja keras memilah persoalan hingga pelipisnya terasa berdenyut. Cerita-enggak-cerita-enggak, begitu suara hati Adisti yang sedang bingung. Dia perlu bercerita untuk sedikit meringankan beban. Siapa tahu dia bisa mendapatkan saran untuk mengatasi persoalannya. Lagi pula, jika tidak bercerita, bisa-bisa dia dicap tidak profesional. Sudah beberapa kali latihan dan jadwal show sudah di depan mata, tetapi masih banyak kekurangan dari pihaknya. Suara sering fals, ekspresi dan rasa kurang nyata. Semua orang menuntutnya menunjukkan kesempurnaan di atas panggung nanti. Masalahnya setiap kali Adisti ingin menunjukkan penghayatan yang maksimal, maka bayangan Isabel langsung muncul di benaknya. Ekspresi marah dan sedih Isabel sukses membuat Adisti kehilangan keinginan untuk mendekati Ares, bahkan meski hanya untuk pertunjukan di atas panggung.
Seandainya saja dia bisa bercerita dan minta saran kepada Ares, mungkin cowok itu bisa memberikan jalan keluar. Mengingat jam terbangnya sebagai penyanyi juga sudah sangat tinggi. Adisti melirik cowok itu. Wajahnya tampak cemas memperhatikan Adisti yang bersandar lemas di sofa. Adisti menghela napas dan memejamkan mata untuk mengusir pusing yang datang tiba-tiba.
"Dis?" Ares berbisik, khawatir cewek itu mendadak pingsan. Bisa gawat. Tangan Ares meraba ponsel di saku celananya. Bersiap untuk meminta bantuan dari Karel, Anwar, atau siapa saja yang bisa membantu. "Dis?" ulangnya lagi. Kali ini sedikit lebih keras.
"Rasanya aku kurang sehat hari ini," jawab Adisti sambil tetap memejamkan mata. Dia memutuskan untuk tidak bercerita. Biarlah dia berusaha mengatasinya sendiri. Meski kini semua itu membuat kepalanya berdenyut, makin lama makin kuat, hingga wajahnya memucat menahan sakit.
"Astaga, kenapa enggak bilang?" Ares mengerutkan kening. Kecemasan terbaca jelas di matanya. Cepat cowok itu bergeser hingga duduk lebih dekat dengan Adisti.
Tiba-tiba, Adisti merasakan tekanan lembut jemari Ares di pelipisnya.
"Eh!" Adisti kaget dan berusaha duduk lebih tegak, tetapi tangan Ares lebih kuat menahan kepalanya. Jari-jarinya menekan di titik-titik yang tepat. Pijatannya meredakan sedikit rasa sakit di kepala Adisti. Godaan untuk menikmati pijatan Ares ditepisnya. Wajah Isabel tiba-tiba muncul di benak Adisti. Apa yang akan cewek itu katakan nanti jika menyaksikan adegan ini? Bisa-bisa dia histeris dan mendobrak masuk rumah kos Adisti pada tengah malam. Adisti merinding. Dia tidak mau mencari keributan. Jadi, perlahan disingkirkannya tangan Ares. Duh, seperti ada listrik mengaliri tangan Adisti kala bersentuhan dengan tangan Ares. Mengirimkan sinyal yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat karena kini tangan Ares menggenggam erat jari-jarinya. Terasa hangat mengaliri tubuhnya yang dingin dan gemetar menahan pusing.
"Aku ...." Adisti menarik tangannya. Agak sulit karena Ares justru menggenggam tangannya lebih erat sejenak, sebelum akhirnya melepaskannya.
"Aku cariin obat dulu." Ares memecah kecanggungan yang terjadi di antara mereka. Masing-masing berusaha menetralkan perasaan yang campur aduk karena sentuhan tadi. Ares memanjangkan lehernya, menoleh ke kanan dan kiri, mencari waiter yang bisa membantunya mencarikan obat. Seharusnya mereka memiliki simpanan untuk berjaga-jaga.
"Enggak usah, Res. Aku istirahat sebentar juga pusingnya nanti hilang."
"Yah, kalau gitu kita pulang aja. Biar kamu bisa istirahat di rumah."
"Pulang? Terus latihannya gimana?" Dia teringat Anwar dan anak-anak band yang masih menunggu di studio. Rasanya agak kurang bertanggung jawab jika dia langsung pulang.
"Tenang aja, biar aku kasih tahu Anwar kalau kamu lagi sakit."
"Tapi—"
"Yuk."Ares berusaha memapahnya. Tidak menerima penolakan dari Adisti lagi. Tidak mungkin juga meneruskan latihan jika kondisi Adisti sedang tidak fit seperti ini.
"It's okay. Aku masih bisa jalan, kok." Sayangnya, Adisti yang berusaha menghindar dari Ares tersandung kaki meja hingga sedikit terhuyung. Untung saja Ares dengan sigap menangkapnya. Memeluknya erat. Kepala Adisti bersandar di dada Ares. Dia bisa mendengarkan detak jantung cowok itu. Menghirup aroma parfumnya yang sangat maskulin. Membius.
"Maaf, maaf," kata Adisti terbata sambil berusaha menegakkan tubuhnya,
Ares tersenyum, tangannya kukuh menggenggam pergelangan tangan Adisti, membimbingnya keluar dari kafe. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa ada seseorang yang mengamati. Seorang pria berbadan tegap dan berkulit agak hitam. Pakaiannya rapi, dengan celana bahan berwarna biru gelap dan kemeja biru terang. Usianya sekitar akhir dua puluhan, dan memiliki garis wajah yang tegas. Sekilas, dia terlihat seperti pekerja di salah satu kantor di sekitaran sana.
Pria itu memilih tempat di sudut, yang terlindung dari pandangan pelanggan lain. Namun, dari tempatnya dia bisa melihat dengan jelas meja Adisti dan Ares. Dengan gerakan yang tidak mencolok, pria itu mengarahkan ponselnya kepada Ares dan Adisti, lalu mengambil beberapa foto. Sesekali, dia menggunakan fitur video di ponselnya untuk merekam kedua orang itu.
Sepertinya, dia bukan penggemar fanatik Ares yang termasuk kategori pemalu hingga lebih suka mengambil foto-foto idolanya secara sembunyi-sembunyi daripada meminta foto bersama secara langsung. Padahal, Ares terkenal paling tidak suka fotonya diambil secara sembunyi-sembunyi seperti itu. Dia lebih menghargai penggemar yang terus terang menghampiri dan meminta fotonya.
Kelakuan pria itu lebih mirip paparazi yang mengintai artis buruannya. Berharap bisa mendapatkan momen emas, seperti saat artis yang dibuntutinya melakukan hal-hal yang konyol.
Kegiatan pria itu baru terhenti ketika Ares dan Adisti beranjak meninggalkan kafe. Pria itu tetap duduk di tempatnya, sibuk mengirimkan pesan singkat kepada seseorang: Mereka pergi.
Jari-jari pria itu kembali bergerak di layar ponselnya. Foto-foto dan video yang tadi direkamnya segera terkirim kepada satu nomer telepon. Sent. Pria itu mengangguk dan tersenyum puas. Tugas sudah selesai dilaksanakan.[]
AUTHOR'S NOTE
Ternyata, di balik sikap cuek dan angkuh Ares, dia juga bisa perhatian sama Adisti, ya! Perlakuan manis Ares pasti bisa bikin setiap cewek meleleh, termasuk Adisti, eh?
Btw, siapa, sih, cowok yang nekat ngerekam Ares dan Adisti? Terus, cowok itu ngirim foto-foto dan video mereka kepada siapa, ya?
Ikutin terus ceritanya! Jangan lupa like dan komennya. Kiss-kiss dari Ares dan Adisti!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top