Bab 12: First Date
Wajah Adisti tampak begitu manis dan polos di mata Ares. Sejak awal bertemu, Ares sudah menganggap sosok Adisti sangat unik. Ares terbiasa bergaul dengan artis-artis cantik yang sering tampil dengan wajah berlapis make-up tebal serta perilaku penuh polesan demi menjaga citra. Kepolosan Adisti jadi tampak menarik bagi Ares. Itulah sebabnya, walau pada awal pertemuan Ares sempat menolak saat diminta membantu menaikkan nama Adisti, akhirnya dia menerima permintaan itu. Ares berpikir, tidak ada salahnya menolong Adisti yang cantik. Apalagi, saat itu dia sedang galau karena baru saja diputuskan oleh Isabel. Dan, semakin lama mengenal Adisti, hati Ares makin terpikat. Namun, dia tidak ingin terburu-buru. Bagaimanapun, proyek skenario cinta ini mengikatnya. Adisti akan mengira setiap kata dan perbuatan Ares berhubungan dengan skenario yang telah disusun. Ares harus bisa meyakinkan Adisti, tentang ketulusan perasaannya. Dan, itu butuh waktu.
Tatapan Ares membuat Adisti gugup setengah mati. Pesona Ares seakan menghipnotis Adisti. Dia tidak mampu mengalihkan tatapannya dari mata cokelat Ares. Saat pandangan mereka bertaut, Adisti merasa dunia berhenti berputar. Membeku. Semua masalah menghilang dan hanya ada Ares dalam benaknya. Adisti bisa merasakan pipinya menghangat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Bibirnya pun ikut terkunci. Adisti terpana. Sulit bagi Adisti mengartikan pandangan Ares. Apakah ini kemesraan atau hanya bagian dari love scenario? Atau....
Mereka berdua tersentak mendengar ketukan di pintu. Mereka menoleh saat Berto muncul.
"Halo ..., halo .... Udah selesai diskusinya?" tanya Berto dengan mata berbinar. Rupanya, sekilas dia melihat Ares dan Adisti berpandangan. Dari cara mereka bertatapan, Berto bisa mengambil kesimpulan masalah Isabel bisa diselesaikan. Apalagi, tampak jelas kecemasan telah menguap dari wajah Adisti. Dia kelihatan lebih tenang. Ares pun kelihatan santai.
Berto menarik kursi, lalu duduk di depan Ares dan Adisti. "Bagus. Kayaknya masalah di antara kalian udah beres," katanya sambil menggosok-gosokkan telapak tangan. Senyumnya jail, menggoda Adisti yang langsung tersipu. Ares hanya tertawa kecil.
"Oh ya, mungkin perlu kuingatkan lagi, kalian jangan mudah termakan gosip. Kita harus menjaga jangan sampai gosip-gosip yang belum tentu kebenarannya mengganggu performa kerja kita. Oke, Adisti?"
Adisti mengangguk. Berto melanjutkan kata-katanya, kali ini ditujukan kepada Ares. "Aku harap kamu bisa membereskan soal Isabel ini sampai tuntas. Jangan sampai berita negatif merusak nama kalian berdua. Kamu selama ini sudah dikenal sebagai bintang yang "bersih" dan aku mau nama Adisti juga naik dengan citra positif," Berto bicara sambil menatap Ares dan Adisti bergantian, seakan ingin menekankan dengan tegas maksud dari setiap kata yang diucapkannya. "Oke, sekarang kita bisa mulai ngomongin pekerjaan. Aku berencana mengadakan konferensi pers beberapa hari lagi, untuk menjelaskan kemunculan Isabel. Bagaimanapun, jangan sampai love scenario ini malah jadi bumerang bagi kalian berdua."
"Kapan kira-kira konferensi persnya, Mas?" Ares bertanya dengan paras serius. Isabel memang harus disikapi dengan serius. Tidak boleh main-main.
"Nanti aku infokan lagi kapan waktu dan tempat pastinya. Persoalan ini harus ditangani dengan hati-hati. Kita harus bisa membalikkan isu negatif ini menjadi pemberitaan positif."
Adisti dan Ares berpandangan, lalu mengangguk. Setuju dengan pendapat dan rencara Berto.
Berto menyodorkan beberapa lembar kertas. "Ini jadwal pekerjaan untuk kalian." Adisti dan Ares menerima berkas-berkas itu dan langsung membacanya. "Masih banyak tawaran untuk menjadi bintang tamu di talkshow," lanjut Berto. "Manajemen juga sedang membicarakan tawaran untuk film dan iklan buat Adisti. Dan—" Berto sengaja menahan kata-katanya untuk menimbulkan efek kejutan. Dia memandang puas ke arah Ares dan Adisti yang menunggu dengan tatapan harap-harap cemas. "—ada tawaran menarik untuk kalian berdua. Kalian diminta tampil di acara peluncuran ponsel terbaru. Konser musik besar dengan bintang utama boyband dari Korea. Kalian diminta bernyanyi duet." Senyum Berto terkembang lebar hingga wajahnya terlihat bercahaya. "Gimana? Oke, 'kan?"
Adisti menutup mulutnya yang menganga. Satu demi satu impiannya terwujud. Bernyanyi di panggung besar. Tawaran film dan iklan. Ah, tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Dia melirik Ares. Walaupun sering cuek dan ketus, tetapi jasa Ares sungguh besar untuk mengangkat kariernya. Adisti ingin mengucapkan terima kasih, tetapi cowok itu tampak serius membahas rencana duet tersebut.
"Ada permintaan khusus untuk lagu yang akan kiami bawakan, Mas. Atau, kami boleh pilih sendiri?"
"Aku udah konfirmasi, kalian boleh pilih lagu sendiri. Tapi, kalau bisa disesuaikan dengan karakter penonton dan penggemar boyband ini. Aku sarankan kalian memilih salah satu lagu Ares. Jadi, Ares bisa membantu Adisti mempelajari lagunya."
"Kalau lagu 'Aku dan Kamu' gimana, Mas? Aku rasa cocok. Lagunya simpel, musiknya dinamis, dan masih hit," usul Ares, menyebutkan salah satu single terbarunya. Lagu yang sukses bikin penggemar Ares baper berat. Tidak heran video clip-nya di YouTube sudah dilihat jutaan kali.
"Bagus, bagus. Aku setuju. Menurut kamu gimana, Dis? Oke enggak kalau kalian bawain lagu itu? Atau, ada lagu lain yang lebih kamu suka?" Berto meminta pendapat Adisti.
"'Aku dan Kamu' oke, sih, Mas. Aku juga suka lagu itu," jawab Adisti pelan. Benaknya masih mengolah usulan Ares. Mengingat-ingat lirik lagu yang disebutkan Ares. "Tapi, aku belum terlalu hafal liriknya."
"Gampanglah itu. Kalau soal lirik, aku yakin sebentar aja kamu bisa hafal." Mas Berto memang selalu yakin dengan kemampuan artis-artinya. "Siplah, berarti soal lagu beres."
"Tapi, lagu itu perlu diaransemen ulang, 'kan? Biar bisa dibawain secara duet," Adisti meminta penjelasan lebih.
"Pasti. Nanti aku minta tolong Mas Anwar untuk bikin aransemen barunya. Soal jadwal latihan, kita atur sendiri aja, ya, Dis?" Pengalaman Ares di dunia entertainment terlihat jelas. Dia tahu apa yang harus dilakukan untuk mengerjakan suatu proyek. Ares juga punya koneksi dan teman-teman yang bisa dimintai bantuan agar proyek berjalan lancar.
Berto melirik Adisti, yang kelihatannya tidak keberatan dengan komando yang datang dari Ares. "Baiklah, aku percaya kalian berdua bisa mengatur persiapannya. Termasuk pemilihan kostum dan jadwal latihan. Pokoknya, aku mau penampilan perdana ini tidak mengecewakan. Harus sukses dan cetar membahana."
"Pasti, Mas," Ares menjawab mantap.
"Iya, Mas. Kami akan berlatih habis-habisan supaya penampilan kami enggak mengecewakan," Adisti tertulari semangat Ares. Akhirnya, dapat pekerjaan juga. Adisti senang sekali. Datang ke talk show sebenarnya juga termasuk pekerjaan, tetapi bernyanyi pasti lebih asyik. Adisti akan menampilkan bakatnya. Dia seorang artis profesional sekarang, yang dibayar untuk menampilkan kemampuannya. Saat ini bernyanyi, mudah-mudahan tidak lama lagi datang tawaran peran utama film. Bagaimanapun, akting adalah cinta pertamanya di dunia hiburan.
"Nah, soal jadwal lainnya, enggak masalah, 'kan? Oke semua?" Berto meminta kepastian. Sekali lagi, tiga kepala tertunduk, meneliti kertas-kertas di atas meja.
"Aku, sih, oke aja, Mas," komentar Ares. "Enak, nih, jadwalnya enggak terlalu padat. Jadi, di luar kerjaan, aku masih bisa ngerjain hal-hal lain."
"Seperti mengerjakan skripsi?" Berto tertawa setengah menyindir.
"Tahu aja, Mas."
"Jelas tahulah. Udah waktunya kamu menyelesaikan studi kamu. Supaya enggak punya 'utang' lagi ke Pinus." Jemari Berto bergerak seperti membuat tanda kutip saat menyebutkan kata utang. "Aku juga ingin artis-artisku punya pendidikan tinggi. Bagaimanapun, pendidikan sangat penting untuk masa depan. Apalagi kalau nanti kamu bosan dengan dunia entertainment, pasti lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan di bidang lain."
"Yeah, oke, Mas." Ares tampak sedikit malu diceramahi di depan Adisti yang tersenyum maklum, merasa wajar jika artis sesibuk Ares mengalami kesulitan menyelesaikan kuliahnya.
"Mumpung ada Adisti, tuh. Pasti dia mau bantu kamu nyelesaiin skripsi. Ya, 'kan, Dis?"
"Eh ..., iya, Mas. Pasti," jawab Adisti cepat. Padahal, dalam hatinya dia kebingungan. Dengan cara apa dia bisa membantu Ares?
"Paling enggak, kamu bisa bantu ngasih semangat atau mengingatkan kalau Ares lagi malas. Ares itu perlu didorong-dorong, kalau perlu ditagih-tagih setiap hari supaya skripsinya cepat selesai," Berto seperti membaca pikiran Adisti. "Kamu sendiri oke, 'kan, dengan jadwalnya, Dis?"
"Oke, Mas. Jadwalnya enggak mengganggu jadwal kuliahku."
"Pasti, dong! Aku udah atur semuanya supaya berjalan mulus, kayak jalan tol yang baru dibuka." Berto membentangkan tangannya lebar-lebar. "Kalau gitu, cukup meeting hari ini. Aku duluan, ya, udah ditunggu meeting yang lain." Berto bergegas keluar ruangan.
***
"Pulang sama siapa, Dis?"
Adisti, yang sedang memasukkan berkas-berkas meeting ke tas, mengangkat wajah. "Pulang sendiri, Res," jawabnya sambil tersenyum kecil. Hatinya masih senang dengan banyaknya tawaran pekerjaan yang masuk. Sebagian pikirannya masih tertuju ke setumpuk jadwal yang diberikan Berto tadi.
"Yuk, aku antar."
Adisti mendongak cepat. Melihat Ares yang memandanginya dengan kalem, Adisti jadi ragu. Ini serius Ares mau mengantarnya pulang?
"Ayo," ajak Ares lagi.
"Makasih," kata Adisti saat Ares membukakan pintu mobil untuknya beberapa menit kemudian. Cowok cuek ini ternyata bisa berlaku gentleman juga, Adisti membatin. Atau, mungkin karena biasanya ada sopir atau bodyguard yang melayani hingga Ares merasa tidak perlu melakukan hal-hal kecil yang penuh perhatian seperti itu. Adisti diam-diam mengamati Ares yang berjalan memutari mobil, lalu masuk ke kursi pengemudi.
"Sopir kamu kemana?" tanya Adisti heran melihat sang bintang berada di belakang kemudi sedan mewah keluaran terbaru yang masih mulus bagian luar dan dalamnya itu.
"Aku suruh pulang duluan tadi," jawab Ares santai. Derum lembut terdengar saat mesin dinyalakan. Dengan ahli, Ares menjalankan sedannya keluar dari tempat parkir yang cukup sempit.
"Lho, kenapa?" Adisti menoleh, menatap profil wajah Ares dari samping. Garis rahangnya yang tegas, hidungnya tinggi, dan bibirnya yang tipis terekam dalam benak Adisti.
"Ganggu kalau ada sopir, enggak bisa bebas ngobrol sama kamu."
Tersipu, buru-buru Adisti melemparkan pandang ke jalan raya di depan. Adisti tidak melihat senyum Ares terkembang. Ares senang melihat setiap emosi yang terpantul di wajah Adisti. Setiap kali senang, sedih, apalagi tersipu, wajah Adisti tampak begitu polos dan menarik.
Sebenarnya, ada hal lain yang membuat pipi Adisti menghangat selain ucapan Ares barusan: sapaan aku-kamu yang mereka pakai sejak di ruang meeting tadi. Biasanya, Ares dan Adisti bebas ber-lo-gue saat sedang bicara. Namun, kini tiba-tiba berubah.
"Bodyguard kamu?" tanya Adisti, sekadar untuk memecahkan keheningan di mobil. Berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri yang jadi kurang fokus gara-gara Ares bolak-balik meliriknya sejak tadi.
"Aku suruh pulang juga."
"Emang aman kalau kamu pergi tanpa bodyguard?"
Mobil berhenti karena terjebak macet yang menyebabkan arus kendaraan sama sekali tidak bisa bergerak. Ares jadi lebih leluasa menatap cewek itu. Dia tidak hanya melirik sekarang, melainkan benar-benar mengarahkan tubuh menghadap Adisti untuk menatapnya secara langsung.
Alunan lembut musik dari speaker mobil membuat suasana menjadi santai. Seperti penawar stres dari kemacetan yang mengadang. Setiap sore menjelang, waktu jam pulang kantor di Jakarta adalah saat-saat ketika kemacetan menggila. Di luar, debu dan asap mengepul dari deretan kendaraan bermotor yang sedari tadi hanya bisa berjalan tersendat sedikit demi sedikit di jalan raya. Untungnya, embusan angin sejuk AC menjadi penawar suasana gerah di luar sana.
"Aman, dong. Aku bawa bodyguard cuma kalau perlu doang. Lihat-lihat situasi juga. Kalau emang aku mau pergi ke tempat keramaian atau ada acara di tempat terbuka yang dihadiri banyak penonton, pasti aku minta pengawalan. Tapi, kalau cuma jalan ke mal atau restoran ya enggak perlu."
"Enggak ada yang ganggu kamu di tempat umum kayak gitu?"
"Enggak, sih. Enggak ada penggemar yang heboh. Paling cuma satu dua penggemar yang datang minta foto bersama."
"Iya, kalau dalam jumlah banyak, penggemar kamu, tuh, agak ekstrim, ya." Adisti tersenyum kecil.
"Ah, lama-lama nanti kamu juga bakal punya penggemar heboh kayak gitu. Lihat aja nanti."
Adisti tertawa.
"Btw, macetnya parah banget, nih. Kita cari resto aja, yuk? Mampir makan sekalian nunggu macet berkurang."
"Boleh," Adisti setuju. Kasihan juga Ares harus menyetir menembus kemacetan. Walaupun menggunakan mobil matic, tetapi berkonsentrasi menyetir dalam kemacetan yang panjang pasti melelahkan. Apalagi untuk Ares yang sudah terbiasa menggunakan sopir. Lebih baik istirahat sebentar di restoran sambil santai, mengobrol ringan sampai kemacetan usai.
"Kamu mau makan apa?" Ares menyetir sambil menoleh ke kanan dan kiri. "Itu ada resto Jepang, steik, spageti, makanan Indonesia juga ada." Di sepanjang jalan itu memang berjajar berbagai macam restoran dan tempat jajan. Sebagian besar tampak penuh. Terlihat dari mobil yang berbaris padat di tempat parkir masing-masing resto. Sepertinya, banyak orang punya ide yang sama dengan Ares. Mampir di resto untuk makan, minum, dan bersantai daripada memaksa diri menerjang kemacetan.
"Apa aja oke, kok," jawab Adisti, sedikit ngeri melihat Ares sibuk menoleh hingga kurang memperhatikan jalanan di depannya. Tadi saja dia terpaksa menginjak rem mendadak karena ada sepeda motor yang melintas cepat memotong di depan mobilnya. Tubuh Adisti sampai tersentak, untung tertahan sabuk pengaman. Ares langsung meminta maaf, merasa bersalah karena kurang berhati-hati.
"Hmm ..., pilih, dong," Ares berkeras agar Adisti yang memilih.
"Oke .... Makanan Italia aja kalau gitu." Cepat-cepat Adisti menentukan pilihan supaya Ares bisa lebih berkonsentrasi dengan jalanan di depan sana.
"Oke, siap."
Sesuai pilihan Adisti, mobil Ares berbelok ke sebuah restoran Italia. Pengunjungnya lumayan penuh, tetapi seperti biasa Ares selalu bisa mendapatkan tempat duduk terbaik. Waiter segera mengantarkan mereka ke lantai dua restoran itu. Mereka duduk di sudut yang terlindung dari pandangan pengunjung lainnya. Di sebelah kanan, ada jendela besar yang menampilkan deretan lampu mobil yang menyala terang dalam perangkap kemacetan.
Mereka berdua memesan spageti, carbonara untuk Adisti dan bolognese kesukaan Ares. Sembari menunggu makanan disiapkan, seorang waiter mengantarkan beberapa potong garlic bread hangat dalam wadah bambu. Aroma lembut bawang putih berpadu dengan mentega segera tercium.
"Ternyata aku lapar juga," celetuk Ares sambil mengambil sepotong garlic bread. "Baru ingat dari pagi belum makan."
Hah? Adisti terbelalak. "Dari pagi belum makan?" ulangnya kaget. "Hati-hati, lho. Kamu bisa sakit lambung kalau terlalu sering makan enggak teratur."
"Tenang aja, lambungku sekuat baja." Ares tertawa sambil memasukkan potongan roti ke mulutnya. Tangannya kembali mengambil potongan roti. Adisti menggeleng kasihan melihat Ares yang tampak lapar berat. "Ayo, dong, kamu juga makan. Enggak enak makan sendirian dan dilihatin kayak gitu. Kalau mau nonton aku, lihat aja film-filmku."
Adisti tertawa, lalu ikut mencomot sepotong roti.
"Aneh, ya?" cetus Ares setelah menyesap jus campuran kiwi dan lemonnya.
"Apanya?"
"Uudah berapa lama kita pacaran, tapi baru kali ini pergi berdua."
Adisti tersipu. "Namanya juga love scenario. Ini kan kayak lagi syuting adegan pacaran. Yang penonton lihat di layar TV atau bioskop cuma kita berdua. Padahal, yang sebenarnya di lokasi syuting serombongan."
"Benar juga. Kita emang selalu pergi ramai-ramai."
"Ada Jon dan Nafa. Karel juga."
"Teman-teman yang berjasa meramaikan suasana."
"Betul." Adisti mengangguk setuju. "Lebih seru kalau banyak orang."
"Tapi, kadang-kadang jalan berdua gini juga menyenangkan. Bisa ngobrol santai tapi serius. Eh, bentar. Mas, tolong fotoin, dong!" Ares meminta bantuan dari waiter yang lewat.
"Yang enggak enaknya, harus minta tolong orang lain buat ngambil foto," canda Adisti setelah mereka selesai mengambil foto.
"Tenang, lain kali aku bawa tripod, biar bisa puas foto-foto tanpa ganggu orang lain."
"Emang kita masih perlu foto untuk upload, ya?"
"Yah, kita harus tetap punya stok foto untuk tetap upload teratur. Aneh, 'kan, kalau tiba-tiba kita berhenti upload foto berdua. Nanti dikira putus. Tapi, foto kali ini enggak bakal aku publikasikan."
"Lho, kenapa?"
Ares menggeleng sambil tersenyum. "Ini spesial untuk koleksi pribadi." Ares menggeser duduknya ke samping Adisti. Satu tangannya memeluk pundak Adisti, sedangkan yang sebelah lagi memegang ponsel. Dan, klik.[]
AUTHOR'S NOTE:
Yuhuuu ..., Teman-Teman. Siap-siap, nih, Adisti sama Ares dapat job nyanyi duet. Lagunya romantis banget. Bayangin, deh, mereka saling memandang mesra di atas panggung, latar belakangnya musik lembut. Siapa mau beli tiket konsernya Adisti sama Ares?
Eh, terus gimana, ya, reaksi Isabel kalau tahu Ares bakalan duet mesra sama Adisti?
Ikutin terus ceritanya, ya .... Ditunggu vomment-nya ...!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top