04

Besoknya, Manjiro datang kembali dan meminta untuk ikut berkemah. Kali ini tanpa pertanyaan, Ubi satu mengiyakan permintaan Manjiro.

Sekarang, mereka kembali tidur berhimpit di tenda kecil. Setelah percakapan kemarin, mereka berdua masuk ke dalam tenda tanpa berbincang dan sebelum Ubi satu bangun, Manjiro sudah pergi

Malam ini sama sepinya, dan entah kenapa terasa lebih canggung.

Tiba-tiba Manjiro memecah keheningan.

"Aku sudah lama mau bilang ini."

"apa?"

"Atap tendanya peyot."

"Tutup kembali saja mulutmu."

Manjiro kembali memutar otak.

"Aku rasa kakek sudah tidak marah. Ayo pulang."

"Kau ini sedang basa-basi atau serius?" Ubi satu mengernyitkan keningnya.

"tentu saja serius." Manjiro menoleh.

"Ubi dua depresi berat karena kau belum pulang," ucapnya lagi. "Bisa-bisa dia bunuh diri kalau tidak pulang."

"Kau—kau ini kenapa, sih??" tanya Ubi satu, merasa ada yang aneh dari anak laki-laki yang biasanya suka menindasnya.

"Kenapa kau tiba-tiba menyuruhku pulang?"

"Karena sudah tidak ada gunanya lagi. Kakek juga sudah tidak marah."

"Bukannya kau sendiri yang bilang tidak ingin aku pulang cepat?"

Manjiro tidak menjawab. Dia memilih untuk memalingkan wajahnya dan membelakangi Ubi, berpura-pura tidur memeluk selimut kesayangannya sebelum berbisik.

"Aku mau mengambil kembali tendaku."

Besok Ubi satu berjanji pada dirinya sendiri untuk mengusir Manjiro pagi-pagi buta.

Namun niatnya dibatalkan kedatangan Shinichiro yang menjemputnya pulang pagi-pagi buta.

"Maaf karena aku tidak segera mengejarmu waktu itu, ayo pulang," ajak Shinichiro. Pandangan memelasnya cukup membuat Ubi satu tidak berkutik, sehingga dia hanya bisa membalas dengan anggukan.

Di belakanganya, Manjiro keluar dari tenda sambil menguap.

Anak itu pasti biang keladinya.

Semua terjadi sangat cepat, sampai Ubi satu tidak dapat memproses apa yang terjadi.

Kedatangannya langsung disambut pelukan erat Emma dan Sachi. Keduanya menangis, terutama Sachi.

Di sudut ruangan, kakek Sano berdiri, menatapnya dengan pandangan yang sama seperti cucunya, sangat sulit diartikan.

Sekarang mereka duduk berhadapan, diam hampir selama lima menit. Entah karena sungkan atau ego keduanya terlalu tinggi.

Menit selanjutnya berlalu. Bosan, pandangan Ubi satu yang terus menunduk ia angkat, bertemu dengan pemandangan yang membuatnya terpaku.

"Vasnya ...." gumam Ubi satu. Melihat vas yang sebelumnya hancur menjadi kepingan kembali ke bentuk aslinya, tidak sempurna tapi utuh.

"Adikmu memperbaikinya." Mansaku menjawab. "Selama kau tidak ada di sini dia mencoba memperbaiki vas itu sendirian."

Ubi satu tersenyum tipis, menatap vas itu dengan pandangan sayu.

Mansaku membuka kembali mulutnya, namun Ubi satu mendahuluinya.

"Saya minta maaf, sudah bicara sembarangan, kek. Saya tidak tau kalau vas itu sangat berharga bagi kakek," ucap Ubi satu, kembali menundukkan kepalanya.

Terkejut, Mansaku menggelengkan kepalanya dan menyahut, "Tidak. Aku juga meminta maaf karena bicara sembarangan. Tidak seharusnya aku berbicara seperti itu pada kalian."

Ubi satu menaikkan kepalanya.

"Entah adikmu atau kamu, kalian adalah anak yang baik. Sakurako memintaku menjaga kalian, dan mau Shinichiro atau pun Emma. Mereka sangat menyukai kalian."

Ubi tidak tahu apa yang membuatnya emosional.

"Bahkan Manjiro."

Tapi air mata jatuh.

"Jadi jangan pergi kemana-mana dan tetap lah di sini. Ke rumah."

Lalu api unggun yang selalu menyala tiap malamnya, telah padam.

epilog → "Manjiro Sano."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top