threads that weave destiny

"Jadi ...," Yin memulai, "kalian pacaran sekarang?"

Melissa berpangku tangan, mengayunkan kakinya yang dicelupkan ke dalam sungai. Tampangnya bosan menunggu waktu hujan meteor di mulai. "Menurutmu?"

"Melissa, jangan duduk di situ terlalu lama!" Xavier bahkan tidak berpaling dari bukunya ketika mengatakan hal itu. Ia sama sekali tidak bergerak dari hammock yang ditidurinya. "Tunggu dekat api unggun saja. Jangan sampai demam."

"Iya, iya!"

Yin terlihat sangat tidak sabar. "Hei, jadi gimana? Iya atau tidak?"

Melissa melirik Julian lalu menggigit apel di tangannya, menandakan ia tidak mau menjawab. Julian yang paham, menjawab pertanyaan Yin alih-alih, "Iya. Tapi saat ini ... fokus pada tujuan kita."

Ekspresi Yin menunjukkan kebingungan. "Maksudnya?"

"Kita pacaran, tapi sekarang ini prioritas utama adalah tujuan kita." Melissa merapatkan jubah Xavier yang disampirkan di pundaknya ketika angin malam berdesir kencang. "Intinya kita sepakat untuk pelan-pelan saja menjalaninya, tapi yah, pokoknya kita pacaran."

Mereka berdua telah sepakat kemarin malam. Malahan, sebenarnya mereka jadian lebih cepat dari perkiraan Melissa. Awalnya cewek itu kira semalam dia hanya akan mengonfirmasi beberapa hal saja, memastikan kalau-kalau mereka berdua beneran pacaran, mereka tidak akan cepat putus juga karena perbedaan di antara keduanya.

Rencananya, Melissa baru akan menembak Julian setelah benar-benar yakin, tapi semalam berjalan sedikit di luar perkiraannya.


"Aku suka Melissa."

Melissa hanya bisa membelalak mendengar pengakuan tiba-tiba itu. Ia kira topiknya sudah ditinggalkan karena Melissa tidak membahasnya lebih lanjut dan Julian sendiri tidak berkomentar apa-apa selama beberapa menit. Melissa kira Julian peka kalau Melissa tidak mau melanjutkan obrolan soal itu.

"Hah?"

Tiba-tiba saja Julian bersiul rendah kemudian Melissa menutup mata karena angin bertiup kencang. Saat ia menutup mata itu, terdengar kicauan burung-burung dan kepakan sayap mereka di udara. Melissa refleks membuka mata saking terkejutnya.

Melissa hampir jantungan melihat sekelompok burung terbang menurun ke arahnya sembari mengicau berisik. Beberapa dari mereka terbang lebih pelan dari yang lain sebab paruh-paruhnya itu menggigit ... mahkota bunga?

Melissa tak sanggup berkata-kata ketika kawanan burung tersebut berhenti di hadapannya. Burung-burung yang bekerja sama membawa mahkota bunga itu perlahan menurunkannya di atas kepala Melissa, memahkotainya.

Setelah itu, mereka tak langsung terbang pergi, melainkan hinggap di sisi Julian.

Cowok itu tak membalas tatapan tak percaya Melissa. Ia mengelus seekor burung di pundaknya dengan lembut, membuat napas Melissa tersekat.

"Julian ... ini?"

"Aku suka Melissa. Sangat suka." Julian melambaikan tangannya dan satu persatu burung tersebut terbang menjauh. "Dengan Melissa ... rasanya senang. Ke mana Melissa pergi ... aku ikut."

Ke mana pun Melissa pergi, Julian akan berada tepat di belakangnya, mengikuti.

"Aku mau selalu bersama Melissa."

Melissa ingin menangis, karena terharu dan begitu senang. Ia yakin penampilannya sekarang sangat berantakan; rambut tak keruan karena tersingkap angin, wajah merah seperti tomat, mulut menganga tak bisa berkata-kata, ditambah Melissa bisa merasakan air matanya hampir tumpah.

Memalukan.

Julian tidak bisa memilih saat yang lebih bagus untuk menembak, ya? Seriusan dia malah bilang dia suka Melissa saat Melissa acak-acakan seperti ini? Cowok ini ... memang tak bisa ditebak.

"Iya." Kedua mata violet Melissa berkilauan seperti bintang ketika Julian memandangnya. Senyumannya manis seperti es krim yang Julian suka.

Melissa bak mimpi indah. Perwujudan dari semua mimpi-mimpi manis yang pernah Julian alami di masa kecilnya; sesuatu yang Julian hampir lupakan sepenuhnya.

"Ayo terus bersama ke depannya."


"Kyaahhh!"

Melissa memandang datar Yin yang bertingkah seperti gadis SMA baru jatuh cinta. Yin menangkupkan kedua tangannya di depan dada, kedua matanya berbinar-binar sehabis mendengar cerita Melissa.

"Yada, hazukashii!!"

Tangan Melissa bergerak melempar jubah Xavier ke arah Yin dengan kesal. Menyebalkan. Biasanya Melissa yang menggoda Yin tapi malam ini, Yin puas sekali mengejek Melissa mati-matian.

"Diam kau, Yin! Kusantet kau sini!"

"Melissa, jangan duduk di air!"

Usai menabok Yin habis-habisan sampai ia memohon ampun, Melissa duduk di dekat api unggun, persis di depan hammock Xavier masih dengan jubah pemuda itu di pundaknya.

Melissa kembali protes. "Kapan sih hujan meteornya dimulai? Perasaan sudah daritadi kita di sini tapi nggak mulai-mulai. Kita nggak salah tanggal, 'kan?"

"Harusnya nggak." Xavier menutup bukunya dan turun dari hammock miliknya, mengambil posisi di sebelah Melissa. Langit luas dipenuhi hamparan bintang yang gemerlapan.

Xavier mengusap kepala Melissa. "Selamat. Aku turut senang."

Muka Melissa yang tertekuk sejak awal berubah drastis. Ia tersenyum lebar pada Xavier, kedua pipinya merona merah. "Makasih, Xavier! Jadi, kau merestui kami, 'kan?"

Xavier balas tersenyum kecil. "Kalian berdua, tidak, kalian semua pantas bahagia."

Kemudian, pemuda itu hampir terjengkang ke belakang ketika Melissa memeluknya tiba-tiba. Dibenamkannya wajahnya pada bahu Xavier, kedua tangannya memeluk leher pemuda itu. "Xavier!"

Tangan kiri Xavier balas melingkari punggung Melissa. "Aku juga sayang kalian."

Melissa mengintip dari bahu Xavier, melihat Julian dan Yin berjalan ke arahnya. Yin duduk di sebelah kanan Xavier sementara Julian langsung menautkan jemarinya dengan Melissa begitu duduk. Melissa menarik Julian agar bersandar kepadanya dan Xavier merangkul Yin mendekat.

Di detik ini, saat ini, hanya ada mereka dan langit yang luas tempat harapan-harapan mereka tergantung, bersinar indah. Waktu seolah terhenti untuk mereka, membiarkan keempatnya menetap di momen ini lebih lama lagi.

Tepat saat itu, bintang-bintang nampak berjatuhan dengan gemerlap. Alih-alih membawa kehancuran, mereka membawa harapan untuk masa depan.

Melihat kejatuhan bintang-bintang di angkasa, Melissa berharap dengan serakahnya, Apapun yang terjadi nanti, kita semua harus bersama.

Persetan dengan takdir, Melissa tidak percaya takdir. Walaupun takdir punya akhir sendiri untuk mereka, Melissa pastikan mereka berempat selalu bersama.


Lagipula, Melissa adalah ahlinya dalam merajut takdir.


===

FINISHEDDDD AKHIRNYAAAA HUHUHUH YA ALLAH WHAT A JOURNEY (lebay)

this feels like the hardest project to finished because i just ... can't find the will to write it. though, writing them is much easier than writing amuro

OKEDEH SEGITU AJA AKU MAU MAIN GEM, THANK YOU FOR READING THIS 💞💞💞

DADAH SEMUA SEE YOU ON THE NEXT PROJECTTT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top