Part 3

.
.
.

"Uh, soal itu ..."

Kau terdiam, melirik ke arah lain karena tak mampu menatap iris birunya yang nampak mengkilat dalam kegelapan. Helaan napas panjang terdengar, merasa tak tahan lagi sebab terus-terusan berada dalam keheningan, kau pun membuka mulut, "Sepertinya aku kesusahan mencari teman semenjak kau pergi. Saat Yoichi-kun jadi tambah terkenal, banyak yang berusaha meminta untuk dikenalkan padamu. Jadi, aku kesal sendiri dan berakhir bermusuhan dengan mereka."

"Karena kau satu-satunya temanku, nampaknya aku semakin kelihatan jadi orang yang tidak punya teman, deh," jelasmu, melanjutkan dengan perasaan yang down, menggaruk pipimu yang tak gatal.

Mendengar hal tersebut, entah mengapa Yoichi menjadi sangat senang. Artinya kau peduli, pada dirinya yang dulu sama sekali tak dipedulikan oleh siapapun, namun mereka berusaha memanfaatkan ketenarannya setelah masuk Blue Lock. Pemuda itu tak dapat menahan seringai kecil.

Ia tertawa lebar, menggenggam dirimu erat, lalu memelukmu. Dahimu mengerut, wajahmu tertekuk, merasa tengah diledek karena cemburu yang kekanak-kanakkan, "Tertawakan saja aku sepuasmu. Ugh, padahal aku tahu, kalau kau ingin berteman dengan siapa pun, itu adalah hakmu."

"Hm, tak masalah kalau kau melarangnya! Karena, kalau kau tidak suka, berarti itu tidak baik untukku, bukan? Aku selalu tahu hal itu, karena ... aku selalu melihatmu," ujar Yoichi tulus.

Isagi Yoichi paham, ia selalu memperhatikanmu.

Selera kalian terhadap orang lain cukup mirip. Misalnya, kau tidak menyukai Michael Kaiser dan senang pada Bachira Meguru, begitu pula Yoichi. Tumbuh bersama, membuat kalian tahu akan niat yang lain. Ia tidak tahu apakah dirimu mencium aroma yang sama dengannya. Yang pasti, ia merasa senang.

Lantas, Yoichi mengepalkan tangannya kembali, berujar dengan kuat, "Yosh, tunggu di sini, ya, [Name]! Jangan ke mana-mana!"

Irismu melotot sempurna kala melihat dirinya berjalan menuju pohon, memanjatnya perlahan. Kau berusaha menghentikannya, namun sosok lelaki itu tak kunjung mendengarkan.

"Eh, kau mau ke mana, Yoichi-kun? Kakimu kanー"

"Sssh, sedikit lagi aku sampai!"

Iya, memang benar, pemuda itu telah sampai pada dahan yang cukup besar untuk menopang tubuhnya. Ia melihat ke langit, memperhatikan dengan seksama, mengedarkan seluruh pandangannya pada malam kelabu penuh awan yang tengah menaungi mereka berdua saat ini. Ia juga mencoba mempertajam pendengaran dan indra lainnya.

Bau asap, aliran air, dan secercah cahaya di langit. Arah dan kilauan itu, tidak salah lagi, Yoichi memperkirakan bintang utara. Goresan kecil seperti ini tidak membuatnya kesakitan, tetapi berlama-lama dengan ekspresimu yang menatap ke arahnya khawatir, ingin segera ia akhiri kegiatan ini.

"Yoichi-kun, turunlah, nanti aku saja yang memanjat ke situ!" serumu, cemas.

Iris biru itu melirik, wajahnya menoleh, mengulas cengiran kecil, "Oh, apa kau yakin ingin naik ke sini juga? Bagaimana kalau kita berdua jatuh karena terlalu berat?"

Rona merah memenuhi pipimu, menunjuk ke atas, tak terima, "Maksudmu aku berat, begitu?!"

"Haha, bukan begitu maksudku. Toh, bukan aku juga yang bilang, kan? [Name] sendiri yang beranggapan. Tapi, tenang saja, aku sudah tahu jalan pulang, kok!" balasnya, sesekali menggodamu.

Blue Lock merubah drastis sosoknya, menjadi penuh percaya diri. Sebuah perubahan yang bagus, tetapi cukup mengesalkan karena kau tidak memperhatikan dirinya secara penuh, hanya berdasar pada layar yang ditunjukkan oleh kamera project. Kau mengembungkan pipimu, mendecak sebal, lalu menghela napas pasrah detik selanjutnya.

Tidak ada yang lebih penting dari kebahagiaan Isagi Yoichi dan kedatanganmu ke sini adalah untuk memastikan bagaimana dunia barunya. Kau menunduk, menggenggam erat pakaianmu sendiri. Lantas, kau melemparkan pertanyaan.

"Apa kau sudah menemukannya?"

Pemuda itu lompat dari dahan, turun dengan tergesa-gesa. Perawakannya yang cukup berantakan, daun di atas helaian rambut hitam legam tersebut, dan iris birunya yang terpancar cahaya sekilas, membuatmu semakin cemas. Yoichi menepuk-nepuk kepalanya, membersihkan dengan perlahan.

"Iya, kurasa kita bisa mengikuti arah ke sana!" ujarnya antusias seraya menunjuk ke arah ke mana bintang utara tertuju.

Kau mengernyit, "Bagaimana bisa kau lompat seperti itu?! Dahan tadi ... cukup tinggi."

Pandanganmu teralihkan, menatap kakinya, hendak menyentuh untuk mengecek apakah baik-baik saja. Namun, tangan Yoichi menahanmu, senyum tipis ia ulas. Dan kau tahu, bahwa itu adalah tanda agar kalian segera berjalan. Hari sudah malam, berlama-lama di hutan tanpa makanan dan kehangatan, bukanlah hal yang baik.

"Kau benar. Tapi, kalau ada sesuatu, kau harus memberitahuku, ya! Kalau memang perlu, aku akan berusaha menggendongmu!" serumu polos.

Wajah Isagi memerah, ia mengerjap panik, lalu memalingkan wajahnya. Tangannya menyembunyikan rona merah yang menjalar tersebut. Lalu, ia mengulurkan tangan, meminta dengan malu-malu, "Ayo, kita kembali."

"Baiklah ...."

Tangan kalian berdua kembali saling tertaut, langkah demi langkah menuju perkemahan. Iris biru itu sesekali melirik ke arahmu, memastikan bahwa dirimu tak kedinginan. Tangan Yoichi hangat, namun tanganmu masihlah terasa beku, layaknya es. Meskipun ini adalah musim panas, tetap saja malam tak menampakkan mentari.

Apakah kaki Isagi Yoichi terasa sakit?

Memang benar, tetapi tidak sesakit perasaan di dalam dadanya kala melihatmu menyalahkan diri dan penuh akan kecemasan. Lantas, lamunan itu terhenti saat suara gema yang familiar terdengar di indra mereka berdua. Irismu membelalak, cahaya kembali pada mata yang Yoichi sangat sukai tersebut.

"ItuーYoichi-kun, itu pasti suara mereka!" serumu antusias, genggaman di tangan semakin erat. Membuat Yoichi tak mampu menahan senyum kecil di wajahnya.

Yoichi memejamkan matanya, sudut bibirnya membentuk lengkungan tipis, "Iya, kau benar, [Name]ー"

Hap!

Belum sempat pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, kedua kakinya tak lagi merasakan sentuhan tanah. Yoichi mengerjap, berusaha memproses apa yang sedang terjadi. Ia menoleh, mendapati dirimu tengah menggendong dirinya layak seorang pengantin.

"Eh ... eh? EH?!"

Yoichi lupa satu fakta, bahwa kau juga cukup kuat. Meski ia berlatih untuk menjadi lebih hebat di Blue Lock, bukan berarti kemampuanmu ikut menurun juga, bukan?

Ingatkah ia, bahwa yang mengusir semua penindas selama hidup dan sebelum masuk Blue Lock Project adalah dirimu seorang?

"Apa yang kau lakukan, [Name]?! Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri dan menuntunmu ke tenda!"

Rencana Isagi Yoichi kacau, kalang kabut.

Mengabaikan rasa panik Yoichi, kau berlari menuju sumber suara sembari membawa pemuda itu dalam dekapanmu. Yoichi melotot tatkala berbagai teman-temannya di Blue Lock telah menampakkan diri, bahkan lebih terkejut dari ia sendiri. Kau berteriak, "Isagi Yoichi terluka! Tolong segera pastikan dia baik-baik saja, terutama kakinya!"

"Huh? Ah, ba-baik!" balas Anri, tak sempat bertanya lebih jauh untuk memuaskan rasa penasaran akan dirimu yang mampu mengangkat pemuda lebih tinggi darimu tersebut. Sementara, Ego menggertakkan giginya, kesal. Ia ingin marah karena harus mengeluarkan tenaga lebih dalam situasi seperti ini. Namun, segera ia urungkan saat melihat keadaanmu dan Yoichi.

Yoichi masuk ke tenda untuk diperiksa, menahan malunya, terlebih lagi saat Bachira terus-terusan saja menggodanya.

Kau duduk di luar, tak berani berada di samping temanmu tersebut. Kedua tanganmu saling menggenggam, berdoa kepada Tuhan, semoga tidak terjadi hal yang buruk.

"Kalau kau datang ke sini untuk mengacau, lebih baik jangan mendekati anak itu," sahut seorang pemuda dengan wajah negara asing yang khas, helaian rambut pirang bersama shade biru, serta tatoo mawar biru. Ia berbicara dalam bahasa Jerman, tetapi kau paham akan artinya karena sudah memasang earphone khusus saat registrasi. Kau mengenalnya, sudah pasti siapa lagi, kalau bukan Michael Kaiser?

Lantas, setelah berucap sinis, Kaiser pergi begitu saja ke tempat Ness dan yang lainnya.

Bibirmu membuka, ingin membalas, tetapi tak mampu.

Temanmu satu-satunya hanyalah Yoichi. Kau kesepian, hanya ingin menghabiskan waktu bersama dan mengecek suasana barunya. Meski sosok yang dekat denganmu itu mengatakan tak perlu khawatir. Tetapi perkataan menyebalkan Kaiser ada benarnya. Membuatmu menunduk, mencengkram bangkumu dengan erat.

Mimpi indah Yoichi tak boleh kau hancurkan oleh tanganmu sendiri.

"[Name]? Apa kau menunggu lama?" tanya sebuah suara familiar, membuatmu mengerjap gugup. Kau menatapnya yang tengah tersenyum senang dan memperlihatkan kakinya, "sebelum kau bertanya lebih lanjut, aku akan memberitahumu duluan. Tada! Sudah kubilang bukan kalau aku baik-baik saja?"

Hanya ada kapas dan plester, yang tandanya benar-benar murni luka gores. Rasanya lega.

"Kakimu tidak terkilir, kan?" tanyamu, kala mengingat ia yang lompat dari pohon.

"Tenang saja, tidak ada yang parah. Kau sendiri, bagaimana? Kau ... masih kedinginan dan tidak ke api unggun? Hei, kenapa kau selalu saja tidak memperhatikan dirimu sendiri?"

Iris birunya menelisik dalam, membuatmu tersentak. Kau memperhatikan tanganmu, jari-jemari yang bergetar, badan menggigil. Semua itu tak kau sadari karena terlalu fokus akan sodok di hadapanmu saat ini. Kau mengerjap, kembali menatapnya. Tawa kikuk kau pasang.

"Ah, benar juga! Kalau begitu, aku akan kembali ke tendaku," ujarmu. Lalu, kau berlari, meninggalkan Yoichi.

"Eh, tunggu! [Name]!"

Tak sempat menjangkaunya, punggungmu telah pergi jauh dari pandangannya. Yoichi mengerutkan dahinya,  iris itu nampak gelap. Ia menyipitkan mata, melemparkan tatapan maut pada Kaiser yang tengah bercengkrama bersama Ness. Ia mendengkus kasar, napasnya terasa berat.

"Benar-benar, hah ... apa dia berniat menjauhkanku dari [Name]? Kalau besok pagi, [Name] berencana untuk pulang, aku yang kerepotan. Camping bahkan belum lewat sehari."

'Apa kubunuh saja, ya?'

"Astaga, tidak, tidak. Tidak di lapangan atau luar lapangan. Rasanya aku ingin melayangkan tinjuku padanya."

"Mau dibantu?"

"Diam dulu, Bachira. Sebaiknya, jangan gegabah."

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top