Part 1
.
.
.
Sore mulai menampakkan dirinya, api unggun bersiap untuk dinyalakan, lalu suara obrolan yang memecah keheningan di alam. Jika saja, Bachira dan yang lain bersedia untuk membantu tugas Yoichi saat ini, maka waktunya agar bisa bersamamu tidak tersia-siakan. Lalu, apa ini yang berada di hadapannya?
Tenda yang runtuh, kayu kering patah, dan jejak kaki di atas tanah.
Iya, Yoichi paham perasaan Rin yang serasa ingin mencekik Bachira. Namun, ia urungkan karena kehadiranmu saat ini. Menjaga image di hadapanmu adalah hal yang terpenting. Bagaimana jika sisi baiknya rusak hanya karena terpengaruh oleh Blue Lock? Lantas, pemuda itu menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan panjang, berusaha menenangkan diri.
Ya, kalau yang berulah adalah Michael Kaiser, mungkin ini sudah jadi pembunuhan berencana yang dilakukan sejak tadi olehnya, sih.
"Yoichi-kun? Apa kau baik-baik saja?" tanyamu khawatir tatkala mendapati sosok itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Raut wajah itu nampak dingin, seolah mampu memukul siapa saja yang mendekati dirinya sekarang. Menemukan ekspresi tak mengenakkan yang kau pasang, segera Yoichi mengulas senyuman lembut, membuatmu ikut merasa lega, "apa ada sesuatu yang kau pikirkan?"
"Tidak, bukan apa-apa. [Name] tidak perlu khawatir. Aku hanya merasa tak enak saja, kau sampai perlu membantuku mencari kayu bakar, padahal hari sudah mau gelap," ujar Yoichi seraya menggaruk pipinya yang tak gatal.
Benar, kalian berdua kembali mengikuti titah Rin sebelumnya karena pengacauan tempat yang tak disangka-sangka. Mendengar ujaran tersebut, tawa kecil lolos dari bibir ranummu. Yoichi terdiam, menikmati lantunan suara merdu yang sudah lama tak didengarnya, "Haha, Yoichi-kun bicara apa, sih? Aku justru senang bisa membantumu saat ini. Kau cukup akrab dengan yang namanya Bachira dan Chigiri itu, ya. Hal ini malah membuatku senang!"
"Eh, kenapa?"
"Yah, tidak tiap hari kita bertemu. Lalu, kau juga fokus dengan menggapai impianmu. Sementara aku ..."
Kau menggantungkan kalimatmu, nada suaramu kian mengecil. Lantas, irismu segera mengalihkan pandangan, tak berani menatap pada pemuda tersebut. Buru-buru, kau membalikkan badan dan kembali mengangkat suara, "Ah, matahari sudah mau turun! Ayo, Yoichi-kun, kita segera menyelesaikan tugas kita!"
Iris biru tua itu menatap lekat dalam diam, berandai-andai.
Apa terjadi sesuatu di sekolah saat dirinya tidak ada bersamamu?
Kau adalah tipe yang selalu memendam sesuatu ketika ada masalah. Tentunya, Yoichi sadar akan hal ini. Ia sudah berada di sampingmu sejak lama dan akan selalu seperti itu. Meskipun saat ini, kalian berdua terpisah karena dirinya yang sibuk mengejar sesuatu. Tetapi, Yoichi tidak menyukainya. Ia membenci ekspresi murung yang kau pasang saat ini.
Jari-jemari itu mengepal dengan erat, lalu ia sembunyikan di belakang punggungnya, "Kau tidak perlu membawa yang beratnya, [Name]. Tolong serahkan padaku."
"Oh, ehーuhm, tidak masalah, Yoichi-kun!" balasmu dengan senyum canggung, bersikeras untuk membawa kayu-kayu tersebut, "kau tahu kan, kalau aku cukup kuat? Dulu, waktu kita masih kecil, Yoichi-kun selalu menangis dan aku yang menenangkanmu, kan? Hal seperti ini, sih, bukan apa-apa!"
Wajah Yoichi merenggut.
Memang benar, sedari kecil ia merasa sangat sensitif terhadap sekitarnya. Suara, warna, dan bau, ia bisa merasakannya lebih dari orang lain. Karena itulah sosok kecil Isagi Yoichi akan berakhir dengan tangisan, berusaha untuk melepaskan dirinya dari ketidaknyamanan itu. Namun, tiap kali bersamamu, entah mengapa hanya ada ketenangan.
Yoichi tidak tahu apakah karena terbiasa menghabiskan waktu bersamamu sejak masih bayi, tinggal di sebelah rumah dan bermain. Bahkan tak jarang, dirimulah yang melindunginya meski merasa takut.
Pemuda itu menghela napas, tak bisa membantah lebih lanjut, "Baiklah. Tapi, kalau aku lihat kau kelelahan sedikit saja, kayunya akan langsung kuambil, ya."
"Oke!" balasmu dengan kekehan kecil.
Sudut bibir Yoichi melengkung, membentuk senyuman tipis. Jantungnya berdetak cepat, sementara pipinya terasa panas. Benar-benar, ia tidak bisa menang darimu kalau terus seperti ini.
Mendengar senandung kecil yang kau keluarkan, Yoichi menikmatinya dalam diam. Sesekali, membantu mengumpulkan beberapa ranting kering. Tetapi, ketika kau terus melangkah ke depan, Yoichi bangkit dan berseru, langkahnya segera ia percepat, "Ah, [Name], awas! Di sana adaー"
Terlambat.
Segera, Yoichi merentangkan lengannya, memelukmu dari belakang. Alhasil, kayu yang kau bawa terlepas. Kalian berdua terguling jatuh, cukup dalam dan membuat beberapa goresan masing-masing di kulit. Pelukan itu sangat erat, seolah Yoichi takut dirimu akan terluka jika ia lepas barang sedetik.
Beberapa menit berlalu, kau mengerjap, masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Sontak, irismu membelalak tatkala mendengar Yoichi mengerang kesakitan dengan suara pelan.
"Yoichi-kun, kau baik-baik saja?!" tanyamu panik, melepaskan dekapan tersebut dan menatapnya dengan seksama. Kau menatapnya dengan teliti, mengecek satu persatu bagian yang tergores.
"Ah, bagaimana ini ... padahal kau harus latihan setelah camping selesai, bukan? Kalau terjadi sesuatu padamu, akuー"
"Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja, [Name]. Ini hanya luka kecil."
Yoichi tertawa pelan, bangkit dan menepuk kepalamu. Kau menggeram kesal, "Tenang?! Bagaimana bisa aku tenang kalau kau terluka seperti ini! Terlebih karena ... aku. Yoichi-kun, maaf. Aku tidak bermaksud membawamu terseret masalah."
"Pfftーhaha! Aku tahu kalau kau orang yang baik. Tetapi, mengkhawatirkanku seperti ini, itu berlebihan. Sudah kubilang bukan, aku hanya tergores saja. Tentunya, aku tidak akan menyerah dengan sepak bola hanya karena terluka kecil seperti ini. Lalu, ini bukan salahmu," tanggap Yoichi lembut. Ia melemparkan tatapan penuh kasih pada dirimu yang tengah menunduk. Lalu, jari-jemarinya bersentuhan dengan tanganmu, menggenggamnya perlahan, namun erat, "aku tidak suka kalau kau menyalahkan dirimu sendiri. Jadi, jangan begitu lagi, oke?"
Sejak kapan Isagi Yoichi mampu menatap seseorang dengan lekat dan tegas seperti ini?
Waktu berlalu, sosoknya semakin gagah dan tampan. Ia bertambah semakin dewasa, baik fisik maupun pikirannya. Kau memalingkan wajah, merasa aneh dengan situasi ini, "Ha-hanya lenganmu saja yang tergores, kan?"
"Hm? Oh, tidak, sepertinya wajahku juga sedikit tergores."
"Eh, yang benar?!"
Lekas, kau melotot kepadanya, berusaha mencari. Irismu dan iris biru tua Yoichi bertemu, saling bertukar tatap satu sama lain. Namun, kau tidak menemukan luka sama sekali di wajahnya, hanya terdapat senyum jahil yang bertengger.
"Akhirnya, kau melihatku juga, hehe."
Godaan itu membuat pipimu memerah karena malu. Kau memukulnya, meski Yoichi tidak merasa sakit. Ia tertawa, menikmati usikan jahilnya padamu. Tak butuh beberapa menit, dahinya lantas mengerut, memperhatikan langit yang telah gelap dan kicauan burung malam.
"Gawat, [Name], kita harus segera kembali," ujar Yoichi serius seraya mengulurkan tangan. Kau ingin bertanya mengapa nadanya terdengar berat seperti itu, tetapi segera kau urungkan dengan hanya menerima uluran tangannya dalam diam, mengikuti langkah pemuda itu sembari menggenggam tangan satu sama lain.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top