Epilogue

.
.
.

Udara terasa hangat, sorak meriah terdengar di dekat api unggun yang cukup besar. Aroma kopi tercium, kau menyesapnya, memperhatikan sosok Yoichi yang tengah bercengkrama dengan teman-temannya. Senyum kau ulas, merasa senang bisa melihat ia tertawaー

Kau tersedak.

Oh, atau mungkin, memukul Bachira dan Kaiser dengan senyum yang terpampang lebar di wajah tampannya.

Lantas, kau mengambil napas, mencoba menenangkan diri, "Yah, benar, aku tidak melihat apa-apa tadi. Isagi Yoichi, milikku, tak mungkin sekasar itu pada orang lain."

Sudah terkena Isagi Yoichi impact sepertinya.

Lalu, ia berjalan, mendekatimu.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya seorang pemuda dengan helaian rambut hitam. Iris biru tua itu berpura-pura menatap takut-takut, merasa sungkan, membuatmu dengan cepat memasang senyum ramah. Tentu saja, meladeni tingkahnya setelah selesai menghabiskan waktu bersama-sama dengan temannya.

"Ah, silahkan, Isagi Yoichi-sama!" tuturmu bermain dengan kekehan kecil yang lolos dari bibirmu, membuat ia tertawa pelan sembari mengambil tempat di sampingmu. Kalian berdua terdiam, larut dalam keheningan masing-masing, meski suasana di hadapan mata terasa meriah. Walau begitu, kau sesekali melirik dari irismu, memperhatikan lekat rahang dan hidung mancungnya. Kau pun menawarkan secangkir kopi yang kini kau pegang, "apa kau mau?"

Sejenak, rona merah menjalar di wajah Yoichi. Ia berdehem, mengangguk kaku karena mulai berpikiran yang macam-macam, namun tidak ia utarakan karena pastinya akan kau urungkan niat berbagimu tersebut. Melihatnya yang meminum, senyum manis kau ulas, "Yoichi-kun, mengenai pernyataan cintamu yang sebelumnya ..."

Kini, giliran Yoichi yang tersedak.

Ia terbatuk-batuk, membuatmu panik dan segera mengelus punggungnya. Iris biru tua itu lantas bergulir, memberikan perhatian padamu sepenuhnya, nampak penuh akan harapan.

"E-eh, kau akan menjawabnya sekarang?" tanya Yoichi, panik. Bagaimana tidak? Ia belum ada persiapan sama sekali. Memang benar, kau sudah memberitahu, tetapi tidak dengan perkiraan waktu yang tepat. Situasi ini membuat dadanya bergemuruh kencang, pipinya memanas, serta pikiran yang terasa buyar. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa.

Jika diterima, Yoichi tentunya akan menjadi sosok yang paling bahagia sedunia. Baiklah, mungkin terkesan berlebihan. Namun, ia tidak berbohong. Baginya, dirimu dan sepakbola sama pentingnya. Tetapi, bagaimana kalau ditolak? Apakah Yoichi perlu memungut kembali pecahan hatinya yang berserakan nantinya? Membayangkan saja, ia sudah tidak mampu. Napas pemuda itu kian tercekat, suara tak sanggup untuk keluar.

Melihat dirinya yang nampak gugup, lekas saja kau menggenggam tangannya, "Sebelum aku memberikan jawaban, aku ingin bertanya padamu sekali lagi untuk memastikan."

Yoichi menegak salivanya.

"Apa kau benar-benar yakin ... memilihku?"

"IYA!"

Dengan sigap, ia mengeratkan genggamannya sembari berteriak kencang, hampir saja mengalahkan hiruk pikuk yang terjadi tak jauh dari posisi mereka berdua. Kau mengerjap, begitu pula dengan dirinya yang terkejut. Tak perlu berpikir sekali, dua kali, ia sudah pasti akan menjawab itu. Lagipula, mengapa kau terus-terusan saja terlihat gelisah?

Namun, beberapa detik setelah Yoichi menjawab, kau terkekeh. Membuat Yoichi terpana untuk sesaat, benar-benar ekspresi yang mampu membuatnya gila. Tetapi, mana berani ia mengungkapkannya di hadapanmu. Bisa saja ia tak lagi mempunyai muka untuk bertemu denganmu. Lantas, kau pun kembali melanjutkan kalimatmu, "Terkadang, aku merasa tidak pantas untuk bersama orang yang sebaik dirimu. Kau tidak masalah bukan, menerimaku apa adanya?"

Apa ini?

"[Name] ... apa barusan kau melamarku?"

"Hu-huh? Melamar? Apa maksudmu?! Ti-tidak, maksudku ... bukan begitu," jawabmu malu. Geram, kau memukul dadanya meski pelan, "kau meledekku lagi, ya, Yoichi-kun?!"

"Hei, mana berani aku! Tadi refleks saja!"

Kalian berdua terdiam, menatap satu sama lain, lalu tertawa. Tidak ada yang lebih menikmati momen ini daripada kalian berdua. Lantas, Yoichi mengulas senyum, mendekapmu dengan lembut, "Kalau bukan kau yang melamarku, tidak masalah. Gantian aku saja yang melamarmu. Tunggu aku menjadi striker terbaik di dunia, ya, [Name]. Kujaminkan world cup sebelum aku menghadapmu di masa depan."

"Hm, aku tunggu. Selamat menggapai mimpimu, Yoichi-kun."

Oh, jika saja kalian berdua tahu bahwa para anggota Blue Lock tengah menatap sinis dari balik mata mereka. Sekaligus, merasa prihatin akan diri sendiri yang masih juga melajang.

.
.
.

[END]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top