Tiga

Keesokan harinya aku bangun cepat. Aku sangat bersemangat untuk mengunjungi tempat tinggal Herobrine. Begitu aku keluar dari van, kulihat remaja itu sudah menunggu di samping pintu.

"Hero!" Aku memanggilnya antusias.

Aku tidak tahu dia sudah menunggu berapa lama. Aku bangun sangat cepat hari ini. Bahkan matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Namun, remaja itu telah menungguku di luar.

"Entity, kenapa kamu berteriak?" tanya Ibu dari dalam van.

"Tidak apa, aku bertemu temanku. Ibu, aku akan pergi dulu. Aku akan sarapan bersama temanku, jadi jangan khawatir! Sampai bertemu nanti!" Setelah mengatakan itu, aku berjalan mendekati Herobrine.

Dia mengangkat tangannya. Aku menerima tangan Herobrine; menggenggamnya dengan kuat. Setelah itu dia menarikku ke dalam hutan.

Kami berjalan untuk beberapa waktu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Semakin jauh kami melangkah, semakin tinggi pula pepohonan. Aku melihat berbagai jamur yang tumbuh di sekitar jalan setapak.

"Kita sampai," ujar Herobrine begitu kami keluar dari hutan.

Aku terpukau. Di hadapanku terdapat pemandangan yang sangat indah. Sebuah tebing menjulang tinggi dengan air terjun dan sungai kecil yang mengalir.

Aku membungkuk; mencelupkan tanganku yang bebas ke sungai. Ketika kurasakan airnya yang agak panas, aku kembali menarik tanganku.

"Di atas ada sumber air panas, jadi air di sini tidak dingin." Herobrine memberikan penjelasan.

Aku semakin antusias. Kutatap tebing yang menjulang di atas sana. Jika ada sumber air panas di sana, bukankah tempat ini juga bagus dikunjungi ketika musim dingin?

"Apakah kita bisa ke atas?" tanyaku bersemangat.

Herobrine menganggukkan kepala lalu berujar, "Mungkin saja, tetapi untuk sekarang jalannya cukup berbahaya. Aku akan membuatkan jalannya jika kau memang ingin ke sana."

Tentu saja aku ingin. Jika pemandangan di bawah sini sangat bagus, lalu bagaimana dengan pemandangan di atas sana? Aku tidak sabar untuk mengunjungi tempat itu.

Aku mengedarkan pandangan. Tak jauh dari tepi sungai, sebuah rumah kayu berdiri kokoh. Rumah itu indah walau tidak begitu besar. Rasanya memberikan nuansa hangat.

Kami menyebrangi sungai melalui jembatan di sana. Begitu sampai di depan rumah Herobrine, aku merasa tertarik. Rumahnya mengkilat dan berwarna kemerahan.

"Kayu apa ini?" tanyaku berbasa-basi.

"Jati. Aku menggunakan kayu dari hutan hujan tropis, jadi itu sangat kuat. Kau suka warnanya? Aku mewarnainya agar sama dengan warna irismu. Tidak terlalu mirip, tetapi ini yang terbaik yang bisa kulakukan." Herobrine menjelaskan dengan panjang lebar.

Aku terharu. Sangat jarang untukku mendengarkan Herobrine berbicara sepanjang itu. Sepertinya bersama denganku memberikan peningkatan untuk sifat pendiamnya.

"Iris mataku? Apakah kamu begitu terobsesi dengan iris mataku, Hero?" Aku tertawa ringan.

Aku mendekatkan diri ke arah Herobrine. Kutatap wajahnya yang masih tanpa ekspresi; berusaha menemukan rona merah di sana. Namun nihil, tidak ada perubahan pada warna wajah maupun ekspresinya.

Herobrine mengangkat tangan lalu menangkupkan pipiku. Dia mengelus pipiku dengan ibu jari. Aku membatu.

"Cantik. Kau sangat cantik dan irismu juga cantik," ujarnya masih dengan ekspresi yang datar.

Aku tersipu. Ini curang namanya. Aku selalu menggodanya dan menjahilinya sepanjang waktu. Namun, apa pun yang kulakukan tidak pernah berhasil membuatnya tersipu. Sekarang hanya dengan pujian singkat ini, aku sudah merona.

"Ayo masuk ke dalam. Kau berkata ingin sarapan bersamaku, 'kan?" Herobrine menarik tanganku lembut.

Aku mengangguk malu. Awalnya aku mengatakan hal itu hanya agar Ibu tidak khawatir. Aku tidak menduga Herobrine benar-benar sudah menyiapkan sarapan untuk menjamuku. Aku jadi penasaran. Jam berapa dia bangun hari ini?

Di atas meja tersaji makanan yang belum pernah kulihat. Ibu biasanya membuatkan roti isi untuk sarapan. Sedangkan yang ada di hadapanku sekarang dua mangkuk yang entah apa isinya. Namun, aku suka aroma manis yang menguar dari sana.

"Itu bubur kacang merah. Cobalah," ujar Herobrine mempersilakanku makan.

Aku mengangguk. Kuambil sesuap bubur. Begitu melewati tenggorokanku, ada rasa yang sulit dijelaskan. Rasanya hangat dan nyaman di tenggorokan. Makanan ini enak. Kenapa Ibu tidak pernah membuatnya?

"Enaaaak, buburnya sangaaaat enaaaak. Jika aku dewasa nanti, aku ingin memakan ini setiap hari."

Aku menggoyangkan kepala. Di hadapanku, Herobrine mematung. Tangannya yang menggenggam sendok menggantung di udara. Pandangan remaja itu terlihat kosong.

"Hero?" Aku memanggilnya sembari melambaikan tangan di depan wajahnya.

Remaja itu berkedip. Seperti biasa, dia menggenggam tanganku dan mengusapnya lembut.

"Aku di sini," ujarnya.

"Ayo kita menikah ketika dewasa nanti," ujarku sembari menatapnya dalam.

Herobrine tidak langsung menjawab. Dia mengelus punggung tanganku cukup lama. Tiba-tiba dia menarik tanganku lalu menciumnya.

Aku terpaku. Ini kali pertama Herobrine menciumku. Pikiranku kosong.

Remaja itu tersenyum. Senyuman yang kuduga membuatnya menjadi sangat tampan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari bibirnya yang masih menciumi tanganku.

Herobrine menatap mataku dalam seraya berujar, "Tentu, ayo kita menikah, Sayang."

-BERSAMBUNG-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top