Satu
Pemuda itu berdiri diam di balik pepohonan. Dia menatap lurus ke arahku, membuat tubuhku membeku.
Wajahnya tanpa ekspresi. Tidak ada senyuman di sana. Iris matanya yang berwarna abu-abu muda sama sekali tidak berkedip.
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Rasanya seluruh tubuhku terpaku. Anehnya, aku yang masih anak-anak tidak takut pada pemuda itu. Namun, siapa dia?
Dia mengenakan kaus polos berwarna hijau kebiruan. Kulitnya berwarna sawo matang dan rambutnya berwarna hitam; tipikal kulit orang yang sering terpapar mentari.
Tepukan di bahu membuatku tersentak. Aku menoleh ke samping. Di sana Ibu tengah berdiri sembari memegang roti lapis.
"Ayo makan ini dan masuk ke dalam. Tidak baik untuk kulitmu jika terpapar sinar matahari terlalu lama," ujar Ibu lembut.
Aku menganggukkan kepala. Kuambil roti lapis yang ibu berikan. Ketika aku menoleh kembali ke hutan, pemuda itu sudah menghilang.
Aku tidak tahu ke mana dia menghilang. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Namun, aku tidak bisa menemukan pemuda itu.
Aku masuk ke dalam van setelah cukup lama berjemur di lapangan. Kulitku kini rasanya terbakar. Ibu mengoleskan krim di bagian tubuhku yang tidak tertutup kain.
Menjadi berbeda sedikit menyusahkan. Aku tidak seperti anak-anak lain yang memiliki tubuh normal. Kulitku berwarna putih pucat hingga rambut dan alis mataku. Hal ini terkadang membuatku iri pada orang yang berkulit sawo matang karena mereka tidak perlu merasakan sakitnya terbakar mentari.
"Ibu, kenapa kita harus berkemah? Aku tidak masalah jika kita tidak berkemah di musim panas," ujarku sembari memperhatikan Ibu yang masih betah merawat kulitku yang terbakar matahari.
"Kemah lebih baik daripada pantai. Hutan tidak terlalu panas dan di sini teduh. Tidak begitu baik jika tugas bercerita musim panasmu hanya berada di rumah. Lagipula kamu bisa mengenal alam lebih jauh. Hanya saja, lain kali jangan lupakan melindungi kulitmu." Ibu mengomeliku.
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk. Kepalaku menoleh ke jendela van; menerawang ke kedalaman hutan. Apakah pemuda itu masih di sana?
Begitu Ibu selesai mengoleskan krim, aku kembali keluar van. Ibu berteriak memperingatkanku agar bermain tak terlalu jauh. Aku hanya mengatakan "iya" sebelum masuk ke dalam hutan.
Aku menyusuri hutan dengan sebuah kompas. Guru wali kelasku pernah mengatakan kompas adalah penunjuk arah jika kita ingin mencari sesuatu. Lalu sekarang aku ingin mencari pemuda itu.
Aku menunduk, menatap intens kompas. Tanpa sadar aku menabrak sesuatu dan terjatuh.
"Aduh," pekikku. Kuusap bokong yang agak sakit karena membentur tanah.
Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa yang kutabrak. Di hadapanku berdiri seorang anak laki-laki yang sepertinya seusiaku.
Dia mengulurkan tangan. Kuterima uluran tangannya dan kemudian dia menarikku lembut untuk berdiri.
Anak ini ... aku merasa tidak asing. Kulitnya sawo matang, rambutnya hitam, dan irisnya berwarna abu-abu muda. Dia mengenakan kaus polos berwana hijau kebiruan dan celana berwarna hitam. Wajahnya tanpa ekspresi dan matanya menatapku datar.
Ah! Apa mungkin dia anak dari pemuda itu?
"Hai!" Aku memanggilnya ramah.
Aku ingin melambaikan tangan, tetapi tanganku kini masih berada dalam genggamannya. Jadi, kuanggap saja ini sebagai jabat tangan perkenalan.
"Perkenalkan, namaku Entity 303. Siapa namamu?" lanjutku.
Aku tersenyum malu. Kadang memperkenalkan diri sendiri membuatku tidak begitu percaya diri. Aku tidak tahu kenapa orang tuaku memberikan nama yang aneh. Dahulu, setiap berkenalan anak-anak sekelas pasti akan tertawa secara tidak sadar. Apakah dia juga akan tertawa?
Tanpa senyuman, dia menjawabku singkat, "Herobrine."
-BERSAMBUNG-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top