PROLOG

Menjelang akhir Januari, cuaca makin tidak bersahabat di Seoul. Song Eun-Ji merutuki kesialannya. Hujan salju terus-menerus dan membuat jalanan susah sekali untuk dipijak, juga bus yang ditumpanginya untuk berangkat ke kantor malah mogok di Insadong. Tapi, semua itu belum mengalahkan hal buruk yang menimpanya semalam. Dia patah hati sesaat sebelum sempat menyatakan perasaannya pada Kim Seo-Hyeon.

"Aku baru pulang dari kencan buta. Tadinya aku datang hanya demi Eomeoni. Gadis itu anak temannya. Tapi setelah bertemu, gadis itu manis juga. Orangnya sangat menyenangkan!"

Eun-Ji masih ingat bagaimana cara Seo-Hyeon, pria yang dia sukai selama tiga tahun belakangan, begitu bersemangat waktu menceritakan 'gadis kencan butanya' itu. Namanya Soo Hana, seorang guru Bahasa Korea di sebuah sekolah menengah atas.

"Selamat, Seo-Hyeon~a, aku senang mendengarnya!" Eun-Ji berkata semanis mungkin, padahal sebenarnya dia ingin menangis saat itu juga.

Tapi, bagaimana mungkin dia menangis kalau Seo-Hyeon tersenyum bahagia seperti itu? Eun-Ji terpaksa manahan tangisnya dan baru menangis sepuasnya saat dia sudah berada di kamar, tidak lagi di toko roti milik keluarganya Seo-Hyeon.

Eun-Ji mengecek arloji di tangan kirinya—berusaha menyingkirkan sejenak kejadian tadi malam. Sekarang pukul sepuluh pagi. Dia menggigil. Kulit tangan dan wajahnya rasanya mau mengelupas karena udara yang sangat dingin. Di ponselnya, tertulis suhu saat ini minus lima derajat Celcius.

Eun-Ji mengembuskan napas. Asap keluar dari mulutnya berbarengan dengan dirinya yang menempelkan ponsel di telinga kanan.

"Yeoboseyo?" jawab seorang perempuan di seberang telepon.

"Ah-Na!" Eun-Ji kelewat keras memanggil teman baiknya itu. Dia berusaha mengalahkan suara mesin mobil yang lewat di jalan raya di hadapannya. "Bus yang kutumpangi mogok. Kurasa aku akan sekalian ambil cuti kerja hari ini. Tolong beritahu Han Seonsaengnim."

"Ya! Kau katakan sendiri padanya! Lagipula, dia tidak akan terima alasan seperti itu!" suara Ah-Na melengking naik. "Kau tidak ingin temanmu ini sengsara karena diteriaki pria galak itu, kan?!"

Eun-Ji menyeringai, tapi dia buru-buru mengulum kembali tawanya. Bibirnya perih karena udara dingin yang menyergapnya membuat bibirnya pecah-pecah. "Selain karena cuaca Seoul yang buruk, suasana hatiku juga buruk. Kau mau memahami kondisiku, kan? Katakan saja pada Han Seonsaengnim kalau aku sedang sakit. Diare atau apalah. Nanti aku akan mentraktirmu sundubu jjigae. Bagaimana?"

"Kau menyuapku dengan makanan? Hah, yang benar saja!" Ah-Na tersinggung.

"Memangnya kau tidak kasihan pada temanmu ini? Aku butuh menghirup udara segar agar bisa kembali fokus bekerja," bujuk Eun-Ji.

"Molla!"

Eun-Ji menarik napas panjang. "Aku sedang patah hati. Makanya aku perlu penyegaran. Kau masih tidak mau juga membantuku meyakinkan Seonsaengnim kalau aku benar-benar butuh cuti dadakan?"

"Jin jja?! Kau baik-baik saja?!" Suara Ah-Na berubah khawatir.

Dia tahu Eun-Ji menyukai pria bernama Seo-Hyeon beberapa tahun belakangan. Eun-Ji beberapa kali menolak ide ikut kencan buta darinya karena pria itu. Sialnya, Eun-Ji tidak mau mengungkapkan perasaannya pada Seo-Hyeon, atau membuat pria itu jatuh cinta padanya. Ah-Na gemas pada Eun-Ji. Temannya yang satu itu memilih untuk jalan di tempat. Benar-benar pilihan yang buruk.

"Nanti saja kuceritakan. Sekarang kau bantu aku bicara dengan Seonsaengnim."

"Arasso," jawab Ah-Na, menyerah. Suaranya melunak. "Tapi, kau kirim pesan juga pada Seonsaengnim tentang cutimu ini. Nanti baru aku katakan juga padanya."

"Ne. Gomawoyo, Ah-Na~ya" sahut Eun-Ji, lalu menutup telepon.

Mengikuti saran Go Ah-Na, Eun-Ji mengirimkan pesan untuk atasannya yang dikenal galak di kantor itu. Setelah selesai, dia mendongak. Langit masih agak gelap. Memang, bila sedang Samhansaon seperti hari ini, sinar matahari muncul lebih lambat, tapi nanti tenggelam lebih awal.

Merapatkan coat tebal berwarna biru dongker selutut yang dikenakannya, Eun-Ji menarik napas lagi. Matanya beredar, melihat hiruk-pikuk penumpang bus yang banyak di antaranya menunjukkan raut kesal. Banyak pula di antara mereka yang akhirnya memberhentikan taksi.

Eun-Ji bisa melakukan hal yang sama—naik taksi. Tapi hari ini, karena kondisi perasaannya benar-benar sedang buruk, dia memutuskan untuk jalan kaki sebentar. Entah ke mana. Semoga saja nanti hatinya agak lebih ringan setelah diajak jalan-jalan.

Sepuluh menit berjalan, pandangannya menangkap hal yang serupa. Salju yang menutupi bangunan, jalanan, pohon, semuanya. Beberapa kali menaikkan syal tebalnya sampai melewati dagu, Eun-Ji melihat sebuah toko berdinding abu-abu yang tampak tua di salah satu sudut jalan Insadong.

Toko yang sepertinya adalah toko oleh-oleh, pernak-pernik, atau semacamnya itu, sangat sepi, tidak seperti toko-toko lain di sekitarnya yang setidaknya ada satu pengunjung yang masuk. Bangunan itu terdiri dari satu lantai berukuran tidak terlalu besar dan di depannya ada sebuah kursi tua dari besi. Di etalasenya berjajar benda-benda yang tampak kuno dan sebagian kelihatan kusam, seperti jam dinding, lampu duduk, sampai tas yang warnanya agak memudar seakan usianya sudah belasan tahun.

Seonmul Gage. Eun-Ji membaca nama yang tertulis dalam huruf Hangeul dengan cat putih besar-besar di atas pintu.

Saat masih fokus memperhatikan etalase yang terbilang 'tidak biasa' untuk ukuran toko sejenis gift shop atau toko suvenir yang biasanya beratmosfer ceria dan berwarna-warni, seorang wanita tua menyapa Eun-Ji. "Agasshi, sepertinya kau mencari sesuatu." Wanita itu tersenyum.

Eun-Ji mengangguk kikuk. Wanita yang berdiri di bibir pintu itu membuat Eun-Ji agak gelisah karena senyumnya yang misterius.

Wanita tua yang sepertinya berusia enam puluh tahunan dan berambut pendek, mengenakan sweater bermotif bunga dan syal tebal berwarna oranye mengelilingi leher, masih tersenyum kala berkata, "Masuklah, kau akan menemukan barang yang kau butuhkan di sini. Percayalah."

Seperti ada remote yang menggerakkan kaki gadis berambut lurus sebahu itu, dia pun berjalan mengikuti sang nenek pemilik toko.

Ruangan di dalam Seonmul Gage beraroma rempah. Terbilang sempit untuk ukuran gift shop atau toko suvenir. Rak-rak kayu ditempel di dinding, bersama deretan lemari tanpa pintu yang tampak kuno namun tak lapuk dimakan usia. Semuanya masih mengilap seakan dibersihkan tiap saat oleh pemiliknya—beda dengan di bagian depan etalase yang kelihatan agak kusam. Di tengah ruangan, ada sepasang kursi kayu yang dipisahkan meja bundar.

Eun-Ji memperhatikan semua barang yang ada di sana. Seketika, dia merasa baru saja menembus mesin waktu saat melihat benda-benda yang seperti datang dari awal abad dua puluh. Dia menyusuri rak-rak yang ditempati figura, anting-anting, topi bulu, lalu beralih ke bagian sudut ruangan yang berpenerangan paling redup. Di sudut itu, dia menemukan benda-benda yang menyita perhatiannya: telepon, bola kaca, radio, dan... kamera. Semuanya adalah benda tua yang sepertinya dirawat secara khusus.

Eun-Ji lantas teringat janjinya pada Eun-Yong, adik laki-lakinya, beberapa waktu lalu. Kala itu Eun-Yong berulang tahun kedua puluh tahun.

"Jangan beri aku hadiah apapun," ucap Eun-Yong sambil memasukkan kimchi ke dalam mulutnya.

Han Ha-Yun, ibu Eun-Ji dan Eun-Yong, sedang libur kerja. Dia menyempatkan diri membuat kue ulang tahun dan memasak di rumah. "Kau kan berulang tahun, dan kami ingin memberimu hadiah," katanya.

"Kau bilang ingin kamera," sahut Eun-Ji tidak mau kalah. Mereka duduk mengelilingi meja di ruang keluarga.

"Setidaknya biarkan ibumu dan kakakmu ini memberikan kado sekali dalam setahun untukmu, Eun-Yong~a," Ha-Yun bicara lagi.

Laki-laki yang baru menginjak usia dua puluh tahun itu mendesah. Mengetuk jari-jari tangannya di pegangan kursi rodanya. "Kamera lama saja, kalau kau memaksa, Noona. Jangan kamera baru. Mahal. Lebih baik kau simpan uangmu untuk keperluan lain."

Eun-Ji mengerling pada ibunya. "Aku akan mencarikan sebuah kamera lama yang bagus, Eomma."

Ha-Yun menepuk pundak putrinya. "Arasso," katanya. Dia lalu menoleh pada Eun-Yong. "Kado apa yang kau mau dari Eomma, Eun-Yong~a?"

Eun-Yong menggaruk kepalanya. "Akan kupikirkan lagi. Nanti kuberitahu."

Ha-Yun tersenyum melihat anak bungsunya itu.

"Kamera, ya? Kau sedang mencari kamera." Nenek pemilik toko membuyarkan lamunan Eun-Ji.

Eun-Ji terentak kaget. "Mwo?"

Nenek pemilik toko itu mengambil sebuah kamera analog berwarna hitam dan abu-abu di antara barang-barang yang ada di atas meja di sudut itu. Dia mengulurkannya pada Eun-Ji, lalu berkata, "Ini benda yang kau butuhkan. Harganya tidak mahal. Kau bisa lihat harganya tertera di situ," tunjuknya ke bagian belakang badan kamera.

Eun-Ji melihat angka yang ada di sana, lalu berhitung di kepalanya. Dia membandingkan harga kamera itu dengan kamera yang pernah dia cari di toko online. Eun-Ji memang ingin membelikan kamera analog dan bukan kamera digital untuk Eun-Yong. Eun-Yong bilang, selain karena harganya bisa lebih murah, kamera analog bagus untuk dipakai bila ingin serius belajar fotografi.

Kamera yang ada di tangan Eun-Ji sekarang walaupun tampak tua, tapi kelihatan masih sangat bagus. Harganya juga terbilang murah dan bentuknya menarik.

"Masih berfungsi dengan baik, Halmeoni?"

"Dang-yeonhaji! Kau bisa mencobanya dulu sebelum membeli. Dan nanti bila ada kerusakan setelah membeli, kau bisa datang lagi kemari. Tapi aku yakin, kamera itu tidak akan rusak."

Eun-Ji kembali mengecek kamera itu. Tak lama kemudian, terdengar langkah seseorang yang baru masuk ke dalam toko.

"Permisi," ucap gadis yang baru masuk itu. Dia mengenakan coat berwarna cokelat dan sepatu bot.

Sapaan gadis itu membuat Eun-Ji dan wanita pemilik toko menghentikan perbincangan mereka sesaat. Mereka mengalihkan perhatian pada gadis yang memberi salam dengan agak membungkukkan badan itu—Eun-Ji dan Halmeoni membalas sapaan itu dengan anggukan kepala dan senyum canggung.

"Ah, mianhamnida silahkan kalian lanjutkan, aku akan melihat-lihat dulu," kata gadis itu pada Eun-Ji dan Halmeoni.

Eun-Ji pun kembali memfokuskan perhatiannya pada pemilik toko yang berdiri di dekatnya. "Aku akan mencobanya... dan aku harap garansi 'tidak akan rusak' itu benar-benar berlaku," ujarnya serius tapi diiringi senyum sopan.

"Tapi...." Nenek pemilik toko menggantung ucapannya. Dia memperhatikan lekat kamera tua itu. "Ada mitos yang beredar di sekitar sini."

"Mitos?"

"Mereka bilang, kalau kau membeli sesuatu dari tokoku ini, seseorang yang kau benci dari masa lalumu akan kembali ke dalam hidupmu."

Eun-Ji langsung tergelak. Matanya sampai berair karena tertawa, menganggap ucapan nenek pemilik toko sangatlah konyol. "Lucu sekali! Gosip seperti itu ada karena persaingan dagang saja, Halmeoni. Aku tidak percaya hal-hal tidak masuk akal seperti itu."

Wanita tua di hadapan Eun-Ji sekali lagi tersenyum. Tampak senang mendengar jawaban Eun-Ji. "Ya, bisa juga." Dia lalu melihat Eun-Ji lekat. Senyum tipis terurai di bibirnya—Eun-Ji tidak menyadari senyum misterius itu karena sibuk mencoba kamera di tangannya.

"Aku akan membelinya, Halmeoni," ucap Eun-Ji bersemangat setelah selesai mengecek. Kameranya masih bagus dan berfungsi baik. Dia sudah tidak sabar ingin memberikan kamera itu untuk Eun-Yong.

Halmeoni mengangguk, menunggu Eun-Ji mengeluarkan dompet dari tas dan menyodorkan uang padanya, kemudian berbalik badan dan berjalan menuju meja kasir. Dari balik mesin penghitung uang, sambil menyiapkan uang kembalian untuk Eun-Ji, nenek itu memperhatikan Eun-Ji yang masih terkesima dengan kamera 'baru'nya.

"Semoga kau menyukai kejutanmu, Song Eun-Ji~ssi...." ucap wanita tua itu lirih.

Suaranya sangat pelan hingga Eun-Ji tidak bisamendengarnya.


***

Catatan penulis:

Thankies buat para pembaca yang udah mampir ke sini. Semoga suka dengan kisah pembuka di "Camera's Eye" ;) Komen dan vote kalian sangat kunantikan, hehehe.

Btw, jangan lupa berkunjung juga ke "Prolog" seri Memento lainnya >>

#1 A Healing Scarf >> https://www.wattpad.com/428374299-a-healing-scarf-memento-series-1-prolog

#3 Phone s Reminiscence >> https://www.wattpad.com/428382128-phone%27s-reminiscence-memento-series-3-prolog

#4 Radio's Heart >> https://www.wattpad.com/428384786-radio%27s-heart-memento-series-4-prolog

#5 Snowball's Fate >> https://www.wattpad.com/428399489-snowball%27s-fate-memento-series-5-prolog

Dan, nantikan kisah selanjutnya dari Memento Series ini :)


Xoxo,

Pia




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top