CHAPTER 4 - Lembaran Baru (2)

Eun-Ji mampir ke toko roti milik keluarga Kim sebelum beranjak menuju halte bus. Seperti biasa, bila berada di toko itu, dia merasa nyaman. Rasanya bagai berada di rumah kedua bila dia sedang bersama Seo-Hyeon seperti sekarang. Pria itu duduk di hadapan Eun-Ji, sibuk dengan buku catatannya—merekap pesanan roti sepanjang pagi ini.

"Kau mau lagi rotinya?" tanya Seo-Hyeon saat mendongak dan menemukan roti Eun-Ji yang sebelumnya ada di atas piring, kini sudah habis.

Eun-Ji meneguk cokelat hangatnya lebih cepat sebelum menjawab, "Tidak usah, aku sudah sangat kenyang makan roti. Belum lagi, tadi aku juga sudah makan sarapan yang dibuatkan oleh Eomma," cerita gadis itu.

Seo-Hyeon mengacungkan jempol tangan kanannya, ekspresi wajahnya disetel serius. "Aku suka Eun-Ji yang selalu berenergi seperti ini!" katanya, lalu tertawa.

Suka.

Seo-Hyeon suka padaku...?

Eun-Ji lantas menelan ludah. Kerongkongannya tiba-tiba terasa gersang, padahal belum sampai sedetik yang lalu, dia baru saja minum.

"Ya! Kau meledekku karena aku suka makan, ya?!" pekik Eun-Ji berusaha menetralkan debar di dadanya. Wajahnya memanas dan bersemu merah. Gadis itu berharap Seo-Hyeon tidak menangkap basah isi kepala gadis itu barusan!

"Ibumu datang kemarin?" tanya Seo-Hyeon.

Untunglah dia mengalihkan topik pembicaraan, pikir Eun-Ji.

Gadis itu mengangguk. "Eomma akan jarang sekali pulang ke rumah, Dia mendapat promosi di tempat kerjanya, membuatnya jadi makin sibuk," cerita Eun-Ji. Gadis itu tidak bisa menyembunyikan raut sedih di wajahnya.

Seo-Hyeon yang memahami kesedihan dan kegelisahan Eun-Ji, mendekatkan wajah sambil menyipitkan mata. "Tak usah khawatir! Aku dan Eomeoni kan selalu ada untukmu dan Eun-Yong!"

Eun-Ji seketika tertawa lebar. Lagi-lagi merasakan kehangatan yang diberi oleh pria yang sudah tiga tahun dia sukai itu. Eun-Ji sangat berterima kasih pada Seo-Hyeon dan ibunya, Kim Min-Suk.

Kim Min-Suk dulunya adalah seorang perawat. Saat tahu Eun-Yong memerlukan perawatan khusus karena tidak bisa berjalan, wanita itu berbaik hati dengan bersedia untuk membantu. Dia merawat dan menemani Eun-Yong, tidak jarang mengajak pemuda itu berkeliling di area yang ramah bagi penyandang disabilitas. Seringkali, Min-Suk Ahjumma mengajak Eun-Yong berkunjung ke toko roti milik keluarganya.

"Kau tahu... aku sangat bersyukur sudah mengenal kalian," ucap Eun-Ji perlahan. Matanya memanas karena kesungguhan ucapannya barusan.

Seo-Hyeon bangkit dari kursinya, mengacak rambut Eun-Ji yag sebelumnya sudah sangat rapi.

"Ya! Kau membuat rambutku berantakan!" Eun-Ji mengerucutkan bibir, pura-pura marah.

Seo-Hyeon terkekeh. "Ayo berangkat kerja, nanti kau terlambat."

Eun-Ji langsung melotot kaget! Diliriknya jam tangannya. "Ya Tuhan! Kenapa tidak kau bilang daritadi kalau aku nyaris terlambat?!"

Seo-Hyeon mengangkat bahu sambil mencibir. "Bukankah kau sudah terbiasa datang telat ke kantor?"

"Kau senang sekali meledekku, Kim Seo-Hyeon~ssi," protes Eun-Ji, tapi kemudian dia tertawa dan berdiri dari kursinya. "Baiklah. Sampai ketemu nanti." Ditepuknya lengan Seo-Hyeon dua kali. Entah sejak kapan ritual itu Eun-Ji lakukan kalau berpamitan dengan pria yang disukainya itu.

Sebagai balasan, Seo-Hyeon mengacak lagi puncak kepala Eun-Ji. Kali ini dengan gerakan lebih lembut. "Semangat, ya...."

Senyuman Seo-Hyeon benar-benar menjadi eliksir bagi kesedihan yang sedang Eun-Ji rasakan karena kepergian ibunya. Gadis itu masih tersenyum bahkan saat kakinya sudah sampai di pintu toko yang terbuka.

"Eun-Ji~ya! Nanti malam mampir ke sini sebelum pulang!" Seo-Hyeon bersuara keras, lupa kalau tadi dia hendak mengatakan hal itu kepada Eun-Ji.

Tanpa berpikir panjang, Eun-Ji mengangguk senang.

***

Saat Eun-Ji sampai di kantornya, dia menghela napas lega. Untunglah dia tidak terlambat seperti yang dia khawatirkan sepanjang perjalanan tadi.

"Kau tampak ceria sekali hari ini," Soo-Ra tiba-tiba muncul di sebelah Eun-Ji, membuat Eun-Ji terperanjat.

"Kkamjakiya! Sejak kapan kau ada di sampingku?!" pekik Eun-Ji.

"Sejak kau masuk lobi sambil senyum-senyum sendiri," jawab Soo-Ra diiringi tatapan mata curiga. "Ada hal baik yang sedang terjadi? Ah, tapi mood-mu memang sering baik kalau hari masih pagi begini, ya?"

"Tentu saja, Soo-Ra~ya!"

Eun-Ji dan Soo-Ra menoleh bersamaan ke sebelah kiri. Ah-Na berada selangkah di belakang kedua gadis itu sambil membawa tiga gelas kopi. Hari ini memang gilirannya membelikan kopi.

"Gomawo." Eun-Ji menyambut uluran tangan Soo-Ra.

"Eun-Ji bahagia setiap pagi, karena setiap pagi dia pacaran dulu dengan Seo-Hyeon sebelum pergi ke kantor. Tapi, entahlah kapan mereka bisa benar-benar jadi sepasang kekasih," ucap Ah-Na pada Soo-Ra, pura-pura berbisik. Padahal suara Ah-Na sangat keras sampai berhasil membuat Eun-Ji cemberut.

"Ya! Bisa tidak kalian tidak bersikap menyebalkan seperti itu?" Eun-Ji mengomel.

Ah-Na dan Soo-Ra tergelak. "Makanya, ungkapkan perasaanmu padanya," ucap Soo-Ra.

"Sebelum dia direbut wanita lain. Mengerikan!" Ah-Na melengkapi kalimat Soo-Ra dengan mata melotot. Membuat wajah Eun-Ji makin berlipat.

"Sudah-sudah, jangan berisik. Ayo, liftnya keburu tertutup, tuh!" Eun-Ji mendorong kedua temannya masuk ke dalam lift, sementara kedua temannya itu masih cekikikan, puas meledek Eun-Ji.

Eun-Ji sudah terbiasa dengan ledekan kedua gadis itu. Dan dia tahu jelas, Ah-Na dan Soo-Ra hanya ingin melihat hubungan Eun-Ji dan Seo-Hyeon bergerak maju, bukan jalan di tempat seperti tiga tahun belakangan. Lain ceritanya kalau Eun-Ji mampu membuka hati untuk pria lain—Ah-Na dan Soo-Ra mungkin tidak akan bersikap seperti ini. Masalahnya, Eun-Ji hanya menyukai Seo-Hyeon dan tak mau berpaling pada pria lain, tapi gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat tentang perasaannya pada pria itu. Ah-Na dan Soo-Ra jadi gemas menonton bungkamnya Eun-Ji.

Saat memasuki lift, sudah ada tiga orang yang ada di dalamnya. Eun-Ji merapat ke pojok kanan belakang sambil menyesap kopinya. Dia tidak ikut Ah-Na dan Soo-Ra yang sedang asyik membicarakan diskon kosmetik di pusat perbelanjaan yang ada di dekat kantor mereka. Dia memilih menikmati kopinya sambil mengulang kembali senyum Seo-Hyeon pagi ini di kepalanya.

"Sebentar!"

Eun-Ji mendengar suara seorang pria yang terburu-buru menghentikan pintu lift agar tidak tertutup. Gadis itu tidak mendongak atau melihat ke arah orang yang baru datang itu. Dia memilih menyesap kopinya sambil lagi-lagi mengulang obrolannya dengan Seo-Hyeon pagi tadi.

Setelah pintu lift tertutup dan berdenting beberapa saat kemudian, Eun-Ji baru melihat ke arah depan—pada punggung dua orang pria yang tadi masuk paling terakhir ke dalam lift. Detik berikutnya, Eun-Ji tersedak kopinya sendiri! Salah satu dari dua pria itu, memiliki punggung yang familier di mata gadis itu!

Eun-Ji menggelengkan kepala keras-keras!

Tidak, aku tidak perlu melihat wajahnya untuk membuktikan bahwa aku salah orang. Tidak mungkin dia ada di sini....

TING!

Pintu lift terbuka di lantai tiga. Empat orang keluar, termasuk pria yang membuat Eun-Ji terperenyak beberapa saat lalu. Pria itu berjalan menunduk menatap ponselnya. Pandangan Eun-Ji terbatas karena pergerakan pria itu tertutup orang-orang yang juga hendak keluar dari lift.

Tidak mungkin pria itu adalah dia, mustahil! Eun-Ji berkata dalam hati, menertawakan kekonyolan pikirannya sendiri.

Lift pun tertutup kembali. Eun-Ji bisa menghabiskan kopinya dengan tenang. Apalagi membayangkan nanti malam dia akan bertemu Seo-Hyeon lagi, membuatnya tak bisa menahan senyum di wajah. Ah-Na dan Soo-Ra yang melihat tingkah Eun-Ji, geleng-geleng kepala.

"Kurasa dia sudah gila," komentar Ah-Na.

"Kuharap mereka segera menikah saja, biar kita tidak dipusingkan oleh kelakuan anak ini," tutup Soo-Ra.

Eun-Ji hanya terkekeh, memimpin langkah saat mereka bertiga keluar dari lift di lantai enam.

***

"Tahun baru sudah lewat, dan kau memasak manduguk buatku?" Eun-Ji bertanya setelah Seo-Hyeon meletakkan mangkuk putih di meja di hadapan gadis itu.

"Kau tidak suka? Kupikir kau menyukainya. Saat tahun baru lalu, kau menghabiskannya sampai tiga mangkuk," Seo-Hyeon memasang raut kecewa. Lalu dia mengulurkan tangan, berniat mengambilnya lagi.

Kedua tangan Eun-Ji langsung naik ke udara, membatasi pergerakan tangan Seo-Hyeon. "Ya! Siapa yang tidak suka?! Aku hanya tidak kepikiran malam ini kau memasak ini untukku," jawab Eun-Ji, pipinya bersemu.

Seo-Hyeon mungkin tidak tahu, bagi Eun-Ji, apa yang pria itu lakukan bukan sekadar memasak manduguk. Eun-Ji terharu karena pria itu mengingat apa yang Eun-Ji suka, bahkan mau bersusah payah membuatkannya lagi untuknya.

Saat pergatian tahun, Eun-Ji dan Eun-Yong memang merayakannya bersama keluarga Seo-Hyeon. Han Ha-Yun tidak bisa ikut saat itu. Seperti biasa, ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan oleh wanita itu.

Setelah menonton pesta kembang api di sisi Sungai Han, Eun-Ji, Seo-Hyeon, Eun-Yong, dan Min-Suk Ahjumma kembali ke toko roti. Tidak lama kemudian, Seo-Hyeon memasak manduguk untuk mereka semua. Rasanya nikmat sekali. Yang paling Eun-Ji suka adalah pangsit buatan Seo-Hyeon. Walaupun sehari-harinya pria itu membuat roti, tapi dia memang jago memasak juga. Poin yang makin membuat Eun-Ji makin kagum—dan makin menyukai—pria itu. Manduguk tahun baru itu benar-benar enak! Eun-Ji sampai makan tiga mangkuk. Untung saja perutnya sudah penuh, kalau tidak, dia mungkin akan meminta mangkuk keempat!

"Kau sudah memasaknya buatku, masa sekarang kau mau mengambilnya lagi?" protes Eun-Ji, lalu menepis pelan tangan Seo-Hyeon agar menjauh, membuat pria itu terkekeh geli melihat sikap gadis di hadapannya.

Hari sudah menjelang tengah malam. Toko sudah tutup. Eun-Ji hampir saja membatalkan janji mereka karena Han Seonsaengnim menyuruh dia dan beberapa temannya lembur sampai pukul sepuluh malam! Eun-Ji mengirimi pesan pada Seo-Hyeon kalau dia akan pulang larut. Namun di luar perkiraan, Seo-Hyeon bilang dia akan menunggu. Dan benar saja, saat Eun-Ji baru sampai di depan toko, Seo-Hyeon masih ada di dalam sana, tersenyum pada gadis itu dari balik kaca.

"Makanlah yang banyak. Energimu pasti terkuras banyak karena lembur hari ini."

Eun-Ji mengangguk, tidak menjawab karena mulutnya dipenuhi manduguk yang membuat perut dan hatinya bahagia! Gadis itu menghabiskan makanannya sambil tersenyum. Di hadapannya, Seo-Hyeon memandanginya juga sambil tersenyum. Senyum yang membuat jantung Eun-Ji berdebar hebat.

Mungkin Ah-Na dan Soo-Ra benar, pikir Eun-Ji. Mungkin lebih baik bila dirinya mengungkapkan perasaannya pada Seo-Hyeon lebih dulu. Pria itu terlalu banyak berbuat 'baik' pada Eun-Ji. Tidak menutup kemungkinan Seo-Hyeon juga menyukai Eun-Ji, kan?


***

Catatan penulis:

Hai, hai, hai, Chapter 4 udah diunggah, nih! :) 

Udah mulai nebak belum, apa yang akan Eun-Ji alami setelah ini? X) Waiting for your comment and vote. Thankies!


Warm regards,

Pia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top