Nasib Buruk

"Hei, Saroo, bangunlah! Ayo!"

"Kakak, aku masih mau tidur. Jangan ganggu aku!"

Stasiun sedang ramai oleh orang-orang. Sudah malam, waktunya pulang ke rumah setelah bekerja seharian.

Seorang remaja laki-laki dengan rambut ikal hitam menatap adiknya yang tidur di atas kursi panjang stasiun. Dia membuang napas. "Seharusnya aku tidak mengajakmu ke sini, Saroo. Kau tidak bisa bekerja malam."

Adiknya, dengan rupa tak jauh beda dengan kakaknya, meneruskan dengkur.

Si kakak mendengkus dan melihat ke sekeliling, kemudian membangunkan Saroo lagi. "Saroo, kalau kau masih mengantuk, tetaplah tidur di sini. Biar aku saja sendirian mencari pekerjaan di kota," katanya dengan berat hati. Dia harus segera mencari pekerjaan di kota. Ia tidak bisa menunggu adiknya bangun keesokan harinya. Mereka harus sudah dapat sesuatu untuk dilahap ibunya besok pagi.

Saroo yang tetap menutup mata hanya mengangguk kecil. Kakaknya kembali menatap sekitar, ia rasa akan aman-aman saja meninggalkan adiknya di stasiun sendirian.

"Jaga dirimu," ucapnya, menepuk bahu Saroo, lalu beranjak meninggalkannya.

Saat itu, Saroo bangun sejenak dan memanggilnya. "Bawakan aku jalebi nanti saat kembali!" pintanya.

Kakaknya berbalik dan tersenyum. "Kau masih sempat-sempatnya meminta jalebi?" Jalebi adalah makanan kesukaan Saroo. Kemarin hari, mereka menemukan pedagang yang menjualnya, namun uang mereka sudah habis karena membeli susu untuk adik perempuan mereka; Syakila.

"Bawakan aku jalebi." Tidak peduli, Saroo tetap meminta, tepat sebelum dia kembali terpejam. Kakaknya tersenyum dan mengangguk kecil. Dia kembali berjalan pergi, menuju permukiman terdekat untuk mencari pekerjaan.

Saroo tertidur sampai stasiunnya sepi.

***

Matanya terbuka, masih malam. Keadaan stasiun sudah hening, hanya dia yang ada di sana.

Saroo dengan mata bulatnya menoleh ke sana-sini. "Kak?" Ia mencoba memanggil, siapa tahu kakaknya sudah kembali. Tidak ada sahutan, kecuali suara jangkrik. Saroo pun turun dari kursi dan menoleh ke kanan dan ke kiri.

Lampu merah setinggi 10 meter di kejauhan berkedip-kedip, memperingatkan semua yang melihatnya bahwa ada rel di bawahnya dan kereta bisa melintas kapan saja. Saroo kemudian menemukan satu gerbong penumpang di rel tersebut.

"Kakak?" panggilnya sambil melongok ke dalam sana. Saroo memutuskan masuk dan mencari kakaknya di kursi-kursi penumpang. Siapa tahu dia sedang tertidur di sana. Rupanya, nihil. Saroo memutuskan untuk duduk di dekat jendelanya, menatap stasiun berharap kakaknya muncul dan masuk ke sana, lalu memeluknya seperti biasa.

Anak itu membatin, "Apakah Kakak sibuk bekerja untuk membawakanku jalebi?" Beberapa saat setelahnya, ia kembali mengantuk dan tertidur lagi.

Sampai akhirnya dia dikagetkan dengan bunyi keras dari gerbong penumpang dan langkah kaki orang-orang yang masuk. Gerbong tersebut sudah dikaitkan dengan kereta. Benda itu akan ditarik, mengantar para penumpang yang akan kembali bekerja.

Saroo buru-buru bangkit dan menuju pintu keluar, tapi banyaknya penumpang yang masuk membuatnya mundur dan terduduk di kursinya. Ia tidak bisa keluar karena jalannya menuju pintu gerbong dihalangi banyak orang dewasa.

Saroo mengeluarkan kepala dari jendela. "Kak! Kakak!" teriaknya. Saroo kembali memasukkan kepala, mengecek apakah kakaknya ikut masuk. Ternyata tidak. Bocah itu kembali meraung, berharap kakaknya mendengar, kemudian mengeluarkannya dari sana.

Namun, sampai gerbong penumpang bergerak pun, kakaknya tidak muncul.

Saroo yang ketakutan meringkuk di dalam kereta. Ia tidak pernah naik kereta tanpa kakaknya sebelumnya. Keringat dingin bercucuran disusul air mata, matanya memperhatikan ke luar. Dirinya akan dibawa ke mana?

Hanya satu hal yang Saroo pertanyakan; bisakah dia bertemu kakaknya lagi? Kali ini, Saroo tidak tertidur. Ia rasa gara-gara tertidur, ia jadi berakhir di keadaan sekarang. Saroo terjaga sampai kereta berhenti di daerah yang tidak ia kenal.

***

Saroo sudah turun di sebuah stasiun asing. Dia berusaha memanjat tiang-tiang stasiun untuk memperhatikan apakah ada kakaknya atau tidak. Ia memanggilnya, tidak ada sahutan, malah dirinya yang disuruh turun oleh orang-orang yang terganggu dengan teriakannya. Anak berumur 6 tahun itu berjalan menelusuri stasiun untuk mencari kakaknya.

Saroo bertemu dengan anak-anak lain yang sepertinya bernasib sama dengannya. Mereka mempersilakan Saroo untuk bergabung dan duduk bersama di sebuah kardus. Mereka semua berharap dijemput keluarga mereka yang sekarang entah ada di mana.

Beberapa waktu kemudian, mereka dikejar oleh pihak keamanan stasiun. Entah maksud mereka baik atau buruk, tapi Saroo berlari sekencang-kencangnya agar tidak tertangkap. Sayang sekali, teman-temannya tidak seberuntung dia.

Saroo berlari keluar dari stasiun, melangkah di jalan setapak, melalui padang ilalang dan permukiman warga. Anak itu baru berhenti setelah dirasa kondisinya sudah aman, kebetulan dia berhenti di atas rel kereta. Saroo menapaki rel tersebut, mengingatkannya akan kemarin hari saat ia dan kakaknya mencuri batu bara dari kereta tambang untuk dijual guna mendapatkan uang. Ia berjalan lesu di bawah sinar matahari, sebelum tanpa disadari, seorang wanita dengan tudung kain di kepalanya menyejajarkan langkah di sampingnya.

"Kau mau ke mana, Nak?" tanya wanita itu, lembut. Saroo tidak mengerti dengan bahasanya. Bahasa yang dia gunakan dengan bahasa wanita itu berbeda.

Tapi, dia tetap menjawab. "Aku mau pulang ke Ganashtalay.”

"Ganashtalay? Oh, aku tahu bahasamu." Wanita itu mulai berbicara menggunakan bahasa yang dipakai Saroo. "Di mana itu? Sepertinya jauh dari sini."

Saroo tidak menjawab. Dia memikirkan hal yang sama. Sepertinya ia sudah dibawa terlalu jauh dari kampungnya. Berjalan kaki menelusuri rel kereta api bukanlah hal yang aman untuk pulang.

"Mau pulang ke rumah Bibi dulu?" Wanita itu menawarkan. "Nanti kita ke kantor polisi untuk memulangkanmu."

Saroo berhenti. Dia menoleh pada wanita bertudung itu.

Senyumnya membuat Saroo akhirnya mengangguk dan Bibi mengajaknya untuk berbalik arah. Rumahnya ada di permukiman terdekat. Dia akan membersihkan tubuh kotor Saroo yang entah kapan terakhir dimandikan.

Sampailah mereka di sebuah apartemen. Salah satu ruangannya adalah ruangan Bibi. Sampai di sana, Bibi menyuruh Saroo untuk duduk di kursi makan. Bibi menyiapkan makanan sebelum menghidangkannya. Saroo berbinar karena akhirnya ia mendapat makan setelah seharian tidak melahap apapun.

"Makanlah." Bibi baik hati itu menyuruh Saroo makan. Saroo mengangguk. Dia memakannya sampai habis.

Setelah makan, Bibi memandikan Saroo. Badannya diberi sabun dan rambutnya dicuci. Saroo tampak lebih segar setelah keluar dari kamar mandi.

Malam pun tiba. Saroo dan Bibi tidur bersama di atas ranjang. "Akan ada orang yang akan membantumu pulang," kata Bibi. "Besok dia akan ke sini."

Saroo tersenyum kecil. Akhirnya dia akan kembali ke rumahnya.

Namun, apakah dia benar-benar akan pulang? Paginya, orang yang disebut datang. Dia merupakan pria brewokan yang dari cahaya matanya saja, Saroo tahu dia bukan orang yang beres.

Berbasa-basi dengan Saroo sebentar, pria itu menemui Bibi dan berbicara dengan bahasa mereka. "Kau benar-benar membawa anak yang tepat." Dia mengelus pipi Bibi. Saroo tidak tahu apakah pembicaraan mereka bagus atau buruk. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Ia merasa ada yang salah dengan Bibi dan pria itu.

Maka, saat menemukan kesempatan, Saroo lari keluar dari ruangan. Dia kabur.

Pria itu dan Bibi meneriakinya dan berusaha mengejarnya yang sedang menuruni tangga. Saroo terlalu fokus berlari sampai tidak tahu ada satu anak tangga yang basah karena air dari AC penghuni apartemen yang tidak tertampung ember. Hasilnya, Saroo jatuh kepeleset dan berguling-guling ke bawah dengan teriakan yang tertahan.

Saroo pun mengerang kesakitan. Dia berusaha untuk bangkit, tapi tidak bisa. Pria itu menuruni tangga perlahan-lahan. Saroo baru saja akan bangkit sebelum kakinya ditarik dan dirinya digendong. Saroo memberontak berusaha melepaskan diri.

Saroo dibawa lagi ke ruangan Bibi dan didiamkan. Saroo menangis dan berusaha memukul pakai kaki pria tadi yang kini menahan kedua tangannya. "Lepaskan! LEPASKAN!"

Bibi menyekap mulut dan hidung Saroo agar dia cepat diam. Saroo menangis, dia tidak tahu ia ternyata diselamatkan orang jahat. Saroo tak bisa apa-apa, dia menyerah menghadapi mereka sendirian.

Anak itu baru terbangun karena mendengar teriakan dan tangisan anak-anak yang menganggu indra pendengarannya. Ada suara besi yang dipukul, ada pula suara cambuk. Di dalam ruangan temaram nan panas itu, Saroo menyadari dia menjadi korban penculikan.

Saroo berusaha membuka kandang besinya, tapi tak bisa. Dia menangis ketakutan. Ia melihat teman-teman sebayanya menangis meminta tolong agar dilepaskan. Kandang-kandang mereka ditendang dan cambuk dihempas sebagai ancaman agar mereka diam.

Saroo tidak tahu lagi dia akan berakhir seperti apa. Penculikan anak di India bisa berakhir dua hal: dijual untuk jadi budak atau dibunuh untuk dijual organnya. Saroo memanggil keras-keras nama kakaknya, meminta pertolongan sebelum kandang besinya ditendang. "Diam kau!" teriak seorang pria dengan cambuk di tangannya.

Saroo tidak tahu bahwa sebenarnya kakaknya sedang dibawa ke kampung untuk dimakamkan. Kakak Saroo tak tahu ada kereta yang akan melintas, jadi dia tertabrak dan terlindas saat berusaha mencari adiknya yang hilang entah ke mana.

Ibunya di kampung menangis histeris saat menerima jasadnya, terlebih mengetahui si kakak tidak pulang bersama Saroo. Dia memeluk Syakila yang masih polos. Tak menunggu lama bagi si ibu untuk pingsan karena tak tahan dengan semua kabar yang ia terima.

Dan Saroo di tempat pengap penuh raungan menyayat hati itu hanya bisa menangis. Dia memohon agar bisa diselamatkan, ia masih ingin hidup dan bertemu kakaknya. Ia menyesal tidak berdiam saja setelah bangun tidur di stasiun malam itu.

Beberapa minggu kemudian, keamanan daerah menggerebek sebuah tempat yang diduga menjadi tempat disekapnya anak-anak yang akan dijual secara ilegal. Mereka berhasil menangkap beberapa pelaku, sisanya berhasil kabur. Mereka pun berhasil mengamankan beberapa anak, namun harus menerima kenyataan bahwa tidak semuanya bisa diselamatkan.

Termasuk salah satu di antara mereka yang telah terkapar tak bernyawa di dalam kandangnya. Bau busuk, pesing, dan kotorannya menyengat penghidu, keadaan pucat pasi, ulat daging menggeliat di tangan dan kaki. Pandangan kosongnya embuat hati para penyelamat teriris. Dia kemudian dikeluarkan dari kandang. Sepertinya, saking lamanya terkapar tak berdaya di dalam kandang, kulitnya sudah menempel ke besi kandang, menyebabkan wajahnya robek di beberapa sisi saat dikeluarkan.

Dia pun dibersihkan dan diistirahatkan secara layak. Anak malang yang tersesat itu telah mencapai akhir dari penderitaan hidupnya.

***

Tamat.
Terinspirasi dari film "Lion".

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top