Insiden Futon
Kini kami berada di Desa Klan Iblis Merah, desa dari rekan kami, Megumin. Megumin yang meminta kami datang ke sini, karena kekhawatirannya terhadap pasukan raja iblis yang menyerang desanya, berdasarkan surat yang dibawa oleh Yunyun, sahabatnya Megumin. Perjalanan yang cukup melelahkan dan membuat trauma besar dalam hidupku, setelah hampir diperkosa kawanan babi berjalan yang haus akan kawin.
Aku sampai di rumah keluarga Megumin, di sana tinggal ayah, ibu, dan adiknya. Awalnya ayah Megumin menanyaiku banyak hal. Tentang kehidupan kami, tentang kisah, kabar, dan perjalanan kami. Beberapa kesalahpahaman membuatku harus melantunkan maaf, seperti saat Megumin menulis di suratnya bahwa aku menggendong Megumin yang dipenuhi lendir, padahal itu adalah lendir dari katak raksasa yang sedang kami buru. Megumin hampir dimakan olehnya.
Party-ku nyaris tidak berguna. Ada Darkness, kesatria pedang yang tidak bisa mengenai musuhnya, dan juga masokis. Aqua, dewi tidak berguna dan suka ngutang. Megumin, maniak ledakan, daya ledaknya cukup besar sih, tapi dia hanya bisa menggunakannya sekali dalam sehari, setelah menggunakannya dia akan jatuh lemas kehabisan tenaga. Karena itu, menjalani satu misi saja sulitnya minta ampun.
Kembali pada orang tuanya Megumin, Megumin yang seharusnya membantuku menjelaskan semua ini justru sedang tertidur pulas karena tadi di jalan baru menggunakan sihir ledakan. Aku tidak sengaja menyebutkan nominal tentang proyek yang sedang aku kerjakan dan juga memberi tahu kalau selama ini kami tinggal di mansion yang cukup besar. Seketika itu sikap orang tua Megumin semakin membaik, terutama ayahnya. Dia bahkan meminta istrinya untuk menyiapkan teh.
Aku, Aqua, dan Darkness diminta menginap di tempat Megumin. Aku pun mandi air hangat, rasanya seluruh trauma dan lelah menguap ke udara, hingga aku tertidur. Tak terasa hari sudah malam, tak sabar menunggu waktunya tidur. Namun, aku mendengar Darkness berdebat tentang Megumin dengan ibunya. Persoalan tentang Megumin sudah besar dan sudah cukup umur untuk menikah. Lalu, ibunya sambil tersenyum mengeluarkan sihir agar Darkness tertidur, ayahnya sepertinya juga diperlakukan sama. Aku merinding.
“Ah, Kazuma, sudah selesai mandi? Biar aku antar ke tempat tidur ya. Tunggu sebentar,” ucap ibunya Megumin.
“Eh, iya.” Aku melihat ibunya Megumin menggendong Megumin, beserta futonnya. Setelah itu, dia kembali untuk mengantarku ke kamar.
“Kamu tidur di sini ya,” ucap ibunya Megumin.
“Baik ….” Aku melihat Megumin sedang tidur di kamar itu.
Ibunya Megumin tersenyum padaku sambil mempersilakan untuk masuk ke kamar tersebut.
“Selamat istirahat ya, Kazuma.” Senyumnya tidak pudar.
“Ta … tapi ….”
“Sudah tenang saja.” Ibunya Megumin langsung menutup pintu kamar dan dengan sihirnya dia mengunci pintu dari luar.
Keadaan ini benar-benar menguntungkanku sebenarnya, tapi tidak, tidak! Aku harus berpikir jernih. Ibunya Megumin mengunci kami berdua di sini dan hanya ada satu futon saja. Apa ini kode kalau aku harus tidur satu futon? Tidak mungkin tidur di lantai, pasti kena paru-paru basah, ditambah cuacanya dingin sekali.
Aku semakin menggigil memikirkannya, juga karena dinginnya malam. Setelah sekian menit aku mematung, kadang mondar-mandir, kadang juga mengelilingi futon Megumin, akhirnya aku memutuskan untuk tidur satu futon dengan Megumin.
Sial, apa yang aku lakukan?
Aku berkeringat. Futon ini hangat, ditambah aku bisa merasakan embusan napas Megumin dari sini. Aku menoleh ke kiri, wajahnya yang imut terlihat pulas tidur. Tanganku gemetar, entah kenapa, rasanya gatal untuk memegang tangannya.
Hangat. Semakin hangat. Raut wajah Megumin berubah, seperti tidurnya mulai terganggu. Dia akan segera bangun. Ya, akhirnya dia terbangun. Dia menatapku datar, aku menyapanya, tanpa dosa, “Selamat pagi!”
Megumin membalasnya santai, “Selamat pagi.” Kemudian dilanjutkan bertanya, “Sudah berapa lama aku tidur?”
“8 jam,” jawabku singkat.
“Kenapa Kazuma bisa tidur satu futon denganku?” tanyanya dengan polos.
“Eng …, ibumu menyuruhku tidur di sini, dan sekarang dia mengunci kita berdua.”
“Ah, ternyata.” Dia masih terlihat santai. Lalu dia bangun dari tidurnya, tiba-tiba melompat menjauhiku.
“Hah! Apa yang sudah kau lakukan dengan tubuhku? Arrgh, kenapa ini?” Sepertinya dia baru tersadar.
“Aku hanya memegang tanganmu karena di sini dingin,” jawabku.
“Alasan! Kenapa harus tanganku?”
“Karena hangat.”
“Kau pasti berniat melakukan sesuatu, ‘kan?”
“Tentu saja,” ucapku santai.
“Tuh, ‘kan? Tidak! Argh, tolong!”
“Bercanda, sudahlah ayo tidur! Masuk angin kau nanti.”
“Berisik.”
Megumin terpaksa masuk kembali ke dalam futon. Dia menatapku penuh waspada. Aku melihatnya dan berkata, “Tenang saja.”
“Kepala kau, tenang!”
Aku tersenyum dan memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, aku membuka sedikit mataku untuk mengintip. Kulihat Megumin sudah tidur. Raut waspadanya masih tergambar di wajahnya. Sepertinya kurang nyaman tidurnya, aku pun menghadap ke kanan, memalingkan badan dari tatapannya. Berharap tidurnya kembali nyaman.
“Hai, Kazuma. Kenapa kau berpaling dariku?” Tiba-tiba suara pelan itu memecah kesunyian.
“Kau belum tidur?” tanyaku.
“Kau yang membuatku tidak bisa tidur,” jawab Megumin.
“Karena takut aku apa-apain? Tenang sa ….”
“Bukan, karena Kazuma membuat jantungku berdebar kencang. Jantungku terlalu berisik dan mengganggu tidurku.”
Aku kembali berhadapan dengan Megumin, “Kau mau aku berbuat apa agar bisa tidur?” tanyaku.
“Pegang tanganku lagi, sepertinya aku juga kedinginan,” jawab Megumin.
“Baiklah.” Aku menggenggam tangan Megumin yang hangat. Dia memejamkan matanya.
“Kau jangan tidur dulu, temani aku,” pintanya.
Aku mendeham tanda setuju. Menatap wajahnya kembali hingga sekian menit berlalu. Rasanya hangat meski aku tahu ini dari tangannya. Namun, raut wajahnya juga terasa hangat atau hatiku mulai memanas, nafsuku menggebu?
“Peluk aku.” Suara pelan Megumin kembali memecah kesunyian.
Aku diam sejenak. Memang kesempatan ini langka, tapi apa semudah itu?
“Kau sudah tidur?” tanya Megumin sambil masih memejamkan matanya.
“Kau serius?”
“Kau ini banyak tanya sekali. Ayo cepat, aku kedinginan,” pinta Megumin.
“Ba … baiklah.”
Perlahan aku memegang pergelangan tangannya, lalu ke pundak, kemudian perlahan telapak tanganku sampai ke punggungnya.
“Ayo, cepat!”
“I … iya, sabar.”
Setelah tanganku sampai pada punggungnya, aku dekatkan tubuhku pada tubuhnya hingga tubuh kami bersentuhan. Futon yang hangat ditambah hangat tubuhnya, membuatku sedikit berkeringat. Mungkin juga karena gelisah. Napas Megumin semakin menggebu, melebur bersama napasku. Menguap layaknya asap api unggun.
“Bagaimana rasanya sekarang? Masih kedinginan?”
“Mendingan, terima kasih,” jawabnya singkat. Senyum simpul mulai tergambar di wajahnya.
Malam semakin larut, aku tetap pada posisiku. Belum juga tertidur, meski mengantuk. Jantungku terlalu berisik saat ini. Namun, aku tetap mencoba memejamkan mata.
Keesokan harinya, aku terbangun di futon sendirian. Megumin sudah tidak ada, mungkin dia sudah keluar kamar. Aku menghela napas. Malam yang terasa seperti mimpi benar-benar terjadi. Rasanya begitu lama.
Setelah mandi, aku beranjak ke ruang tamu. Kutemukan Megumin yang sedang tersipu. Kurasa kehadiranku akan membuatnya canggung, aku memutuskan berjalan keluar rumah, mencari angin. Kemudian, aku bertemu ibunya Megumin. Dia bertanya, “Bagaimana? Apa dia sudah bisa hamil?”
****
Tamat.
Terinspirasi dari film "KONOSUBA -God's blessing on this wonderful world!- Legend of Crimson."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top