Dayung Tak Berkayuh

Dipeluknya Srintil. Tanpa nafsu birahi disesapnya kuat aroma yang melekat pada tengkuk Srintil. Perlahan dia dekatkan mulut ke telinga Srintil. Bergetar suaranya menyampaikan, “Tolong ingat aku sebagai lelaki pengecut.”

*****

Tiga hari sudah Srintil satu rumah dengan Rasus. Tak sekalipun Rasus berlaku layaknya suami untuk nafkah batin bagi istri. Memang belum menikah mereka. Apa yang dibicarakan seminggu lalu di rumah Sakarya—kakek Srintil—boleh jadi buah dari harapan Dukuh Paruk; Srintil akhirnya dikawini Rasus yang adalah tentara dari kampung mereka sendiri. Namun, apa yang terlontar kemudian memeras angan semua orang. Kabar itu merembet cepat dari mulut ke mulut. Rasus bukan ingin mengawini Srintil. Dia datang hendak menjadikan Srintil gowok.

Sejak jadi bekas tahanan, Srintil bukan lagi ronggeng cantik yang tersohor. Meski masih memiliki perhatian acap kali berjalan di pasar, sorot mata yang menangkap gerak-geriknya bukan berupa pemujaan. Srintil tahu, betapa mereka penasaran, takut, sekaligus curiga. Hanya perihal meronggeng,  lama dia dibawa jauh dari rumahnya, kampungnya. Sekujur tubuhnya dilumuri desas-desus sebagai pengkhianat pemerintah. Srintil hanya menjalankan tugas sebagai ronggeng. Diundang untuk memberi hiburan. Perkara pemberontakan dia tidak paham. Jangankan berurusan dengan politik, huruf saja dia dan warga Dukuh Paruk tidak mengerti.

Karena hal itu, mereka menjalani hidup dalam tempurung. Ronggeng yang membawa kesenangan kini memiliki kenangan yang menggerogoti seluruh rasa percaya dirinya. Srintil memang bisa kembali, tetapi tidak dengan pukulan calung yang dimainkan. Pun sampur yang dibiarkan tergantung.

Namun, Rasus datang. Masih lengkap seragam tentara melekat di tubuhnya. Pelan, disampaikan hajat yang membawanya pulang. Air mukanya tenang, walau tak dilirik sedikit pun Srintil yang duduk di hadapan. Ketika mengangkat gelas berisi kopi yang disajikan, getar dari tangannya ketahuan.

Srintil menangkap setiap gerak dari Rasus, termasuk hela-embus napasnya yang berat.

“Kamu sudah tahu, ‘kan, Cah Bagus. Aku hanya orang tua yang masih ingin melihat cucunya.” Seperti halnya Srintil, Sakarya terus menatap Rasus.

Apa alasan Rasus meminta hal itu tidak hanya menjadi tanda tanya besar bagi Srintil. Sejatinya, orang-orang berseragam akan menertibkan hal-hal yang dianggap tabu. Mungkin juga termasuk menyewa gowok.

“Saya ingin belajar,” Rasus mengambil jeda sebentar untuk menarik napas, “belajar menjadi suami yang baik.” Perlahan sorot matanya bergulir ke wajah Srintil. Mereka bertatapan hanya sebentar.

Srintil mengalihkan pandang. Harapnya untuk dijadikan istri oleh Rasus sudah pupus sedari dulu. Pernah dia mendamba memiliki anak dari Rasus. Menjadi wanita seutuhnya dengan membangun keluarga. Sayang, keinginan itu sirna lantaran Rasus pergi begitu saja. Srintil ditinggal dengan luka hati karena angan yang terlanjur meninggi.

Srintil tentu masih ingat bagaimana dia menyerahkan semua kepada Rasus kala bukak klambu. Tidak seperti lelaki lain yang berlomba-lomba membawa upeti yang dipinta hanya untuk melakoni tradisi itu; mencicipi keperawanan si calon ronggeng, tanpa ragu Srintil berikan semua pada Rasus. Dalam gelap samping rumah, Srintil berserah pada tuntunan alam guna memuaskan hasrat masing-masing.

Debar di setiap menatap Rasus dalam hati Srintil masih terasa. Begitu menenangkan sekaligus nyeri seperti dicubit. Rasus masihlah sama. Perasaan Srintil pun masihlah seperti dulu. Bedanya, Rasus sudah menjadi tentara sedang Srintil bekas tahanan.

“Tidak akan terjadi apa-apa pada Srintil, Ki.” Seolah tahu apa yang didebatkan batin Sakarya, Rasus memberi kepastian. “Saya akan menjaganya. Srintil dan sampeyan semua tidak akan ditangkap lagi.”

Sakarya mendengkus pelan. Ditatapnya Srintil yang juga melihat ke arahnya. Dalam sorot mata Srintil meminta. Kemudian, sesepuh Dukuh Paruk itu berdeham. “Jika begitu, aku serahkan pada Srintil. Toh, bukan ronggeng lagi dia. Sepenuhnya, keputusan ada padanya.”

Lagi, pandangan Srintil dan Rasus bertemu. Rasus adalah lelaki yang bisa memegang omongan. Begitu keyakinan dalam diri Srintil. Soal masa lalu, bukan sepenuhnya salah Rasus. Angan-angan itu ada dan kian menguat tanpa bisa Srintil cegah. Kepergian Rasus justru membuatnya tersadar akan hakikat jati diri. Dahulu dia adalah ronggeng yang dicintai sedangkan Rasus tidak lebih dari yatim piatu asal Dukuh Paruk. Jarak mereka jauh. Pun tugas yang diemban berbeda. Kini, mereka kembali bertemu dengan status tak sama.

Srintil menunduk. Diremas kuat jemarinya. Dapat dirasa jantung yang mulai berdetak kencang. Lebih cepat dari sebelumnya. Dia kembali mengangkat wajah. Menyelisik air muka Rasus. Penuh keyakinan, dia temukan di sana.

“Tiga hari,” Srintil memulai, “hanya tiga hari, Rasus. Dan aku mau tinggal di sini. Di rumahku.”

Rasus menyanggupi.

Srintil sudah menduga bahwa Rasus memahami seluk-beluk kewajiban suami. Mereka tumbuh bersama. Juga sama-sama yatim piatu. Sedari dulu Rasus giat bekerja. Meski dengan bayaran tak seberapa, dia tetap melakoni. Sepanjang mereka bermain peran suami-istri, saban pagi, setelah dilakukannya ibadah (Srintil sering memperhatikan bagaimana Rasus berdiri menghadap ke satu arah, kemudian sujud, berulang kali dengan gerakan yang sama) Rasus akan meneguk kopi, lalu ke pasar. Pulang ketika petang dengan membawa sayur untuk dimasak Srintil.

Jika Rasus sudah mahir, lantas mengapa dia menjadikan Srintil gowok? Gowok berperan layaknya ibu yang mengajarkan hal baru pada anak. Mengarahkan calon pengantin pria agar kelak dapat memenuhi kebutuhan istri. Tidak hanya soal makan, tetapi juga soal ranjang. Rasus jelas cakap tentang nafkah lahir. Untuk nafkah batin, memasuki malam ketiga, Rasus tetap enggan menyentuh Srintil.

Srintil tidak merebahkan diri seperti dua malam sebelumnya, ketika Rasus duduk termenung di dekat dapur. Dia beranjak, menyeduh kopi pahit, dan duduk di sebelah Rasus. Mereka saling berdiam diri, membiarkan kerik jangkrik dan samar suara tokek mengisi kekosongan kata di antara mereka.

Suara seruput pelan mengalihkan mata Srintil dari tungku tanah liat di dapur. Dia tatap Rasus yang tengah meminum kopi. “Besok hari terakhir.” Srintil memberitahu seraya meremas jemari di pangkuan.

Tiga hari yang mereka jalani tidak dapat ditampik Srintil bahwa ada kesenangan di sana, meski gairah seksual tak ada. Rasus memperlakukannya dengan amat baik; memanggilnya dengan suara lembut, menyalakan tungku untuk dia masak, menyediakan air buat mandi, bahkan disisir rambutnya. Bersama Rasus, dia merasa diratukan. Jika bukan karena menjadi mantan tahanan, sudah pasti angan itu dia tumbuhkan kembali.

“Setelah kamu memutuskan jadi ronggeng, aku memutuskan pergi dari Dukuh Paruk.”

Srintil menoleh. Apa yang hendak disampaikan Rasus? Air muka Rasus menyiratkan kesedihan.

Rasus mendengkus berat. “Aku ingin bawa kamu ikut pergi, tapi aku sadar bahwa itu sudah takdirmu. Toh kamu sendiri juga yang ingin jadi ronggeng.”

Srintil ingat bagaimana Rasus yang menahan dirinya untuk tidak kembali demi menjalani ritual bukak klambu. Dia juga ingat berkata bahwa memang itulah syarat menjadi ronggeng.

Rasus melanjutkan, dia mencegat dan memukuli satu dari dua pemuda yang meniduri Srintil di malam bukak klambu. Hatinya tercabik membayangkan Srintil yang digilir. Ketika itu dia belum mengerti. Masih gamang akan perasaan sendiri. Bingung, marah karena Srintil sudah menjadi milik semua lelaki atau kecewa karena kehilangan sosok ibu dalam diri Srintil.

Bertahun-tahun lalu, di hari yang sama banyak orang Dukuh Paruk kehilangan anggota keluarga. Mereka yang mati karena keracunan tempe bongkrek, banyak yang meninggalkan anak. Di antara yang anak-anak itu ada Rasus dan Srintil. Rasus yang diasuh sang nenek, selalu mendamba sosok ibu. Hingga diletakkan khayalnya pada Srintil. Bagi Rasus, melihat wajah Srintil bisa mengobati rindu akan ibu. Hingga beranjak remaja, dalam sorot matanya, Srintil tetaplah penawar rindu.

Perasaan itu semakin carut marut. Rasus belum berani menafsirkan, kalau dia suka pada Srintil. Di tengah bimbangnya, muncul kabar Srintil bakal jadi ronggeng. Konon, Srintil sudah dirasuki roh leluhur dan diberkati untuk menjadi ronggeng.

“Semua gembira, Srin. Tapi tidak buat aku.” Sebelum tatapan Rasus beralih, dapat Srintil lihat mata itu berair. “Setelah bertahun-tahun tidak ada ronggeng,” suaranya bergetar, “lalu kamu yang meneruskan. Semua senang, Srin. Kamu suka, tapi aku tidak.”

Rasus pergi dengan hati yang dipenuhi sesak. Mencari pelarian, lalu ikut gerombolan orang berseragam. Dijadikan kacung sebelum diberi kepercayaan memegang senjata. Otaknya dijejali segala hal yang tidak pernah Dukuh Paruk berikan, termasuk kepercayaan akan satu Tuhan.

Setelah enggan pulang di hati menyurut, Rasus kembali. Menemui neneknya yang jauh lebih tua dari terakhir kali dia lihat. Memandang Srintil yang juga banyak berubah. Tidak dapat dipungkiri, hatinya masih berdesir tiap kali bertemu Srintil.

“Lantas, kenapa dulu kamu menolak ajakanku, Rasus?” Srintil pernah secara gamblang minta dikawini Rasus.

“Aku bukan mandor atau priayi, Srin.”

“Tapi sekarang aku juga bukan siapa-siapa, Rasus.”

Pelan dan tenang Rasus menambahkan bahwa tak dapat dilihatnya lagi sosok ibu yang dia bayangkan, juga Srintil yang dikenal. Meski hatinya masih berdenyut seperti kala mereka bersama, pikirannya bukan lagi tertuju pada seumur hidup dengan Srintil. Kini, di antara kerik jangkrik dan sesekali suara tokek, terselip isak Srintil. Bekas ronggeng itu menutup wajah.

Suara Srintil tercekat. “Kenapa kamu melakukan ini, Rasus? Tanpa ini pun, kamu bisa jadi suami yang baik. Apa kamu mau pamer?”

Pertanyaan itu keluar sudah. Sedari awal Srintil hanya berpegang pada prasangka. Takut menanyakan langsung alasan Rasus. Takut mendapat jawaban yang panjang dari Rasus. Takut pada cerita Rasus soal si calon istri. Namun, yang dirasa justru kelegaan. Biarlah Rasus bercakap soal masa depan. Namun, alih-alih jawaban, pelukan yang didapat.

Rasus memeluk Srintil erat. Dapat dirasakan Srintil, tengkuk yang dicium Rasus. Tak lama, Rasus berbisik. Selepas itu, ditinggal Srintil. Rasus beranjak ke kamar Sakarya dan istri—tempat dia tidur selama tinggal di rumah Srintil—sedang Srintil makin terisak.

Rasus memang pengecut. Dia pergi dari Dukuh Paruk kala kabut masih melingkupi dan rumah-rumah masih sunyi lantaran yang punya masih terlelap. Hanya Srintil yang melihat bagaimana sosok tegap itu berjalan di pematang sawah. Bergerak menjauhi Dukuh Paruk dan Srintil yang berdiri di batas desa.

Semalaman Srintil tidak tidur. Menjelang sinar matahari muncul, Rasus masuk kamarnya. Derit dari ranjang menandakan lelaki itu duduk di pinggiran. Srintil masih memunggungi saat Rasus pamit. Baru, ketika Rasus mengatakan hendak ke luar pulau, Srintil membalikkan tubuh. Perlahan dia duduk dengan mata yang enggan menatap Rasus.

“Lusa aku berangkat, Srin. Maaf, aku sudah menyakiti hati kamu.”

Srintil bergeming.

“Jaga diri kamu baik-baik, Srin. Jika ada lelaki yang datang, perhatikan dulu tabiatnya. Entah itu bekas ronggeng atau bekas tahanan, aku harap lelaki yang kelak jadi suamimu bisa menerima dirimu sebagai Srintil.”

Gemuruh batin Srintil membuat air matanya kembali keluar. “Berapa lama, Rasus? Berapa lama kamu pergi?”

“Tidak tahu. Bisa sebulan atau bertahun-tahun baru bisa pulang.”

“Lalu, bagaimana dengan istrimu?”

“Aku tidak akan menikah, Srin.”

Srintil mendekati Rasus. Duduk di sebelah lelaki itu dan menatap dari dekat. Jika tidak akan menikah, kenapa Rasus memintanya menjadi gowok? Pertanyaan itu muncul dari suara yang terbata-bata. Namun, Rasus hanya memberi senyum dan elusan pelan di kepala Srintil. Tanpa menjawab, Rasus melangkah pergi meninggalkan rumah, meninggalkan Dukuh Paruk, meninggalkan Srintil.

Srintil menyeka air mata yang membasahi pipi. Sinar matahari mulai merangkak dan kabut perlahan menghilang. Begitu pula sosok Rasus yang sudah tidak terlihat. Tidak ada hasrat dalam diri Srintil untuk menyusul Rasus sebagaimana dulu pernah ingin dia lakoni. Banyak yang sudah terjadi. Dia sudah paham batas. Walau tidak tahu pasti alasan Rasus, Srintil yakin bahwa yang mereka jalani selama tiga hari adalah bukti Rasus sudah memenuhi angannya. Angan mereka.

****

Tamat.
Terinspirasi dari film "Sang Penari".

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top