Satu
Assalaamu'alaikum
Selamat membaca
Semoga kalian suka
Camellia menatap gaun pengantin berwarna gading dan satu stel pakaian pria berwarna hitam.
Camellia berkali-kali menghela nafas berat, seharusnya besok adalah hari bahagia dalam sejarah hidupnya, hari di mana dia akan melakukan ijab qobul bersama pria pujaan hatinya, yang beberapa bulan lalu melamarnya.
Namun, manusia hanya bisa berencana dan Allahlah yang maha mengabulkan segalanya. Camellia, gadis cantik berhijab itu harus menelan kekecewaan di saat pria yang akan menjadi suaminya esok hari pergi meninggalkan dirinya.
"Mellia," usapan lembut di bahunya, menyadarkan Camellia dari lamunan panjangnya.
"Mama, kenapa belum istirahat?" Camellia menatap wanita paruh baya yang di panggilnya mama itu.
"Mama belum ngantuk, Nak. Baju-baju ini apa sebaiknya ...
"Biarkan saja Ma, mungkin suatu hari nanti Mel akan memakainya," sahut Camellia dengan suara parau.
"Aamiin. Tentu saja sayang, satu hari nanti akan ada seorang pemuda tampan yang akan mempersunting dirimu."
Camellia tersenyum, lalu memeluk tubuh tua sang mama.
"Maafkan Mel, Ma, maaf sudah mengecewakan kalian, dan mempermalukan seluruh keluarga," suara Camellia semakin parau dan tersendat tanpa bisa di cegah, air matapun mulai berdesakan keluar.
"Ssttt kenapa minta maaf, hm? Bukan salahmu sayang, mungkin ini sudah kehendak dari yang kuasa, percayalah, di balik semua ini pasti Allah sudah menyiapkan sesuatu yang sangat baik untukmu." Sahut sang mama, membuat hati dan perasaan Camellia menghangat.
"Aamiin. Mel harap Mama tidak pernah berhenti mendo'akan Mel," kedua perempuan beda usia tersebut, berpelukan dengan sangat erat, saling menguatkan dan memberi dukungan.
"Do'a Mama selalu yang terbaik buatmu, Nak, kamu satu-satunya harta milik Mama di dunia ini!"
Camellia semakin tersedu mendengar ucapan mamanya, sungguh, hatinya sangat sedih dan sakit. Apa lagi jka mengingat, kegagalan dirinya.
Camellia menarik nafas lelah, apa salah dirinya? Apa kekurangannya? Sampai-sampai Awan, calon suaminya, membatalkan acara pernikahan mereka berdua, sehari menjelang hari H.
Sanak saudara sudah berkumpul, undangan sudah tersebar, gaun pengantin, mua, katering sudah siap semua.
Tapi dengan tanpa beban dan tanpa rasa bersalah, Awan datang ke kediamannya dua jam yang lalu, dan mengatakan bahwa dia membatalkan pernikahan ini.
Camellia hanya menatapnya semakin sendu, apa sesulit itu menjadikan pujaan hatinya menjadi sosok imam di dalam biduk rumah tangganya?
Masih jelas di pelupuk mata Camellia, saat Awan datang dan mengucapkan salam seperti hari-hari biasanya berkunjung.
Dengan kedua pipi yang basah oleh air mata, Camellia mengingat-ngingat kejadian tadi.
Yang meluluh lantakan seluruh hatinya.
Pukul 7 malam seorang pria muda berwajah tampan, memarkir mobilnya di halaman sebuah rumah. Pria muda itu keluar di tangannya tampak menenteng sebuah bungkusan.
"Assalaamu'alaikum," terdengar ucapan salam.
"Wa'alaikumus salam, lho mas Awan, bukannya kata Mama kita gak boleh ketemu dulu ya? Malah datang ke sini," sahut Camellia dari dalam rumah.
Awan tersenyum manis, lalu mengikuti Camellia masuk ke dalam rumah.
"Maaf Mel, pasti kalian sangat sibuk ya?" Jawab Awan, suaranya terdengar berat dan dalam.
Camelia menatap wajah Awan, yang sedari datang selalu menghindari tatapannya.
"Lumayan sih Mas, 'kan besok kita ijab qabulnya di sini, jadi pada sibuk. O iya mas Awan kenapa datang kesini, apa ada hal yang penting?" Camellia menatap wajah Awan, yang lagi-lagi membuang muka menghindar. "Kenapa sih mas, dari tadi kayak ngindarin aku gitu?"
Awan terkekeh pelan mendengar ucapan Camellia yang sedikit merajuk.
"Aku ambil minuman dulu ya Mas."
Tanpa menunggu persetujuan Awan, Camellia langsung berdiri dan masuk ke ruangan lain.
Tidak berapa lama, Camellia kembali muncul membawa nampan berisi minuman dan toples berisi camilan.
Di belakangnya tampak sang mama mengikuti dan seorang laki-laki dewasa.
"Nak Awan, ada apa malam-malam ke sini?" Sapa mama Camellia pada Awan.
Awan terlihat sedikit salah tingkah, dan kedua tangannya saling mengait erat, seolah tengah memikirkan hal yang sangat sulit.
"Ma, eh ... ada yang mau Awan katakan," suara Awan terdengar ragu dan terbata-bata.
Helaan nafas kasar dan berat, berkali-kali dia hembuskan.
Mama Camellia menatap putrinya dan juga pria dewasa di sebelahnya. "Ada apa Nak?" Sahutnya penuh tanya.
Awan meletakan barang yang di bawanya di atas meja.
"Loh mas, bukannya ini baju yang mau mas pakai besok ya?" Camellia meneliti laundry bag berisi pakaian Awan, yang ada di hadapannya.
Awan menatap wajah calon mama mertuanya dan juga pria di sampingnya.
"Ma, Om, Awan datang ke sini cuma kasih baju ini saja, sebelumnya Awan minta maaf karena, karena Awan tidak bisa melanjutkan pernikahan besok."
Camellia ternganga mendengar ucapan Awan yang begitu mudah keluar dari mulutnya. Begitu juga dengan sang mama, wajahnya terlihat pias.
"Maksud kamu apa sih Mas? Apanya yang di batalkan?" Seru Camellia, dia berharap kalau telinganya salah dengar atau Awan sedang bercanda.
"Sorry Mel, saya tidak bisa menikahi kamu! Karena jujur saja saya tidak bisa move on dari Ria, mantan pacar saya,"
Plak
"Kamu berpacaran dengan keponakan saya bertahun-tahun, dan sekarang bilang kalau tidak bisa move on dari mantan pacar kamu itu, hah?"
Wajah Awan langsung menoleh kesamping, tangannya memegangi pipi yang barusan di tampar dengan cukup keras oleh Om Camellia.
Camellia dan mamanya berteriak kaget. Mendengar keributan dari arah depan, anggota keluarganya langsung berdatangan dan menghampiri.
"Ada apa ini?"
Mereka melihat Awan yang di tampar bertubi-tubi, sampai sudut bibirnya berdarah.
"Om sudah, jangan di pukul lagi," Camellia berusaha menghentikan Omnya, yang terus saja melayangkan pukulan dan juga tamparan di tubuh dan wajah Awan.
"Diam saja kamu, laki-laki seperti ini tidak pantas kamu bela, dasar pecundang. Berani-beraninya kamu mempermalukan keluarga saya, mentang-mentang papa kamu orang kaya dan banyak duit seenaknya saja bertingkah."
Awan hanya mengernyit, menahan sakit di tubuh dan juga perih di wajahnya.
Melawanpun percumadia hanya seorang diri.
Camellia, gadis itu hanya menatapnya dengan sorot mata tak terbaca. Bukan sorot mata penuh cinta, seperti yang biasa Awan lihat, tapi sorot mata yang terlihat aneh dan biasa saja.
Hati Awan berdesir nyeri, melihat sorot kedua mata Camellia, kenapa, kenapa hatinya tidak suka melihat tatapan biasa-biasa saja dari gadis itu?
"Om sudahlah, mungkin kami memang tidak jodoh, maafkan Mel sudah mempermalukan keluarga kita!" Camellia memeluk erat lengan Omnya, dia takut, sangat takut, kalau Omnya akan bertindak brutal.
Bukan Camellia tidak merasa sedih, hatinya sangat sedih dan teramat sangat sakit.
Hanya saja Camellia tidak ingin membuat keluarganya semakin terpuruk, biarlah kesakitannya dia rasakan sendiri dan meredam air matanya sebisa mungkin.
Camellia hanya menatap Omnya yang menyeret Awan keluar dari dalam rumah, tanpa melakukan apapun.
Tok tok
Lamunannya buyar seketika, karena mendengar suara ketukan di pintu yang terus menerus.
Camellia mengusap wajahnya yang basah.
Dan menoleh ke arah pintu kama. Di ambang pintu tampak Omnya berdiri menjulang dengan wajah yang masih mengelam.
"Iya Om?" Camellia berdiri begitupun dengan sang mama.
"Bima, ada apa?"
Om Bima menatap wajah Camellia dengan lekat. "Jangan sesekali menangisi laki-laki brengsek seperti itu, hapus air mata itu. Seharusnya kamu bersyukur karena mengetahui kebejatannya sekarang, bukan sesudah kalian menikah."
Camellia hanya mengangguk pelan, ucapan Om Bima memang tidak salah, seharusnya dia bersyukur karena Allah telah memisahkannya sebelum ada ikatan halal terjalin.
"Di bawah ada orang tua Awan, sebaiknya kita turun Mbak dan kita selesaikan semuanya sekarang."
Camellia menatap mamanya, seolah meminta jawaban.
"Benar kata Om kamu, kita harus turun, Nak."
Camellia mengangguk, sebelum keluar kamar mereka membersihkan wajah yang masih sembab.
Mereka bertiga turun bersamaan, dan langsung menuju ruang tamu. Di sana tampak sepasang suami istri duduk dalam kegelisahan.
"Assalaamu'alaikum, Ma, Pa," Camellia menghampiri keduanya, meraih tangannya dan menciumnya.
"Wa'alaikumus salam." mereka menjawab salam Camellia bersamaan.
Camellia duduk bersebelahan dengan mamanya dan juga om'nya.
"Jeng Arimbi, kedatangan kami kesini untuk meminta maaf atas kelakuan Awan tadi," ucap mama Awan dengan penuh penyesalan.
Arimbi, mama Camellia hanya mendesah mendengar mantan calon besannya meminta maaf. "Mungkin sudah kehendak Allah Mbak, inshaa allah kami ikhlas menerima cobaan ini."
Bima mendelik mendengar jawaban Arimbi. "Kami sudah ikhlas, walaupun harus menaggung malu seumur hidup." Celetuk Bima, dia sudah sangat kesal karena kakak dan keponakannya terlihat pasrah lan nrimo dengan keputusan sepihak Awan.
Kedua orang tua Awan tertunduk lesu.
Malu dan juga merasa bersalah.
"Maafkan putra kami, inshaa allah, kami akan mengganti seluruh kerugiannya dan...
"Tidak perlu." Bima memotong ucapan papa Awan dengan cepat. "Kami memang bukan orang kaya seperti anda, bagi kami uang 1 sen pun sangat berharga. Tapi kalian tidak perlu mengganti uang yang sudah kami keluarkan, kalau kalian mampu cukup kalian gantikan kami saja menanggung malu dan cemoohan orang-orang di luar itu." Sambung Bima dengan geram.
Harga dirinya semakin terasa di injak-injak, keponakan satu-satunya di perlakukan layaknya seonggok sampah oleh orang luar.
Dan sekarang dengan seenaknya mereka berkata akan memberikan uang.
"Om," Camellia mengusap lengan omnya.
"Anda berdua pulang saja, tidak perlu repot-repot buang tenaga dan uang untuk datang kesini lagi atau mengganti kerugian materi kami." Bima berbicara dengan suara bergetar menahan amarah.
Sekuat tenaga dia berusaha meredamnya, supaya tidak melakukan kekerasan lagi seperti tadi.
Jangan lupa vote dan comment yang banyaaakkkk 💃💃💃
Tadinya mau namatin si brondong dulu, tapi gregetan pen publish yang ini
Semoga ada yang baca 😇😇😇😇
Maaf typo bertebaran
Menerima krisan & bingkisan ☺☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top