Empat
Assalaamu'alaikum
Happy reading
🍁🍁🍁
"Kau?" Seru Camellia, begitu melihat orang yang menerobos masuk.
Camellia langsung berdiri dan menatap sosok orang yang berjalan mendekat ke arah dirinya.
Sementara Yuri langsung berlari mendekati Camellia, begitu tahu siapa orang yang sudah membuka paksa pintu masuk.
Dada Camellia berdebar kencang dan ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya.
"Awan." desis Camellia, seolah tak yakin dengan penglihatannya.
Awan, laki-laki yang seminggu lalu memutuskan tali pertunangan mereka, sehari sebelum akad nikah di laksanakan. Dan sekarang dia kembali berdiri di hadapan Camellia.
"Awan," Camellia kembali menyebut nama laki-laki, yang kini sudah berdiri tepat, di hadapannya. "Ada ... ada apa ...?" Sedikit keraguan di dalam hatinya, untuk sekedar bertanya kabar atau sekedar menyapa.
Sorot mata Awan terlihat sinis, tidak ada sedikitpun tatapan penuh kasih di sana, yang ada hanya kebencian yang di perlihatkannya pada Camellia.
"Mau apa kamu ke sini?" Yuri yang sedari tadi berdiri di belakang Camellia, menatap saudara sepupunya penuh rasa curiga.
Dahi Awan berkerut dalam melihat Yuri, sepupunya.
Hanya sepersekian detik dengan cepat tangan Awa mencengkram bahu Camellia dan meremasnya dengan kuat.
"Dasar kamu perempuan picik, saya bersyukur karena kemarin membatalkan pernikahan dan tidak jadi menikah denganmu," kata Awan dengan suara berat, sarat akan emosi dan kemarahan.
Camellia meringis, sakit di bahunya belum seberapa di bandingkan dengan rasa nyeri di dalam hatinya.
"Ap apa maksud kamu?" Jawab Camellia dengan suara terbata.
"Jangan pura-pura bodoh!" Bentak Awan, dengan suara lantang. "Kamu, kamu sakit hati kan, karena sudah saya putuskan? Sampai-sampai dengan cara licik, kamu mempermalukan Ria di depan umum seperti itu." Lanjutnya, sarat akan tuduhan.
Duk
Awan melepaskan cengkraman tangannya di bahu Camellia, tangannya langsung memegangi perut, yang terasa sakit sampai ke ulu hati.
"Upss sorry, kaki gue gatel. Dasar banci beraninya cuma sama perempuan lemah. Kalau mau ribut, sini sama gue." Ejek Yuri, setelah menjejakan kakinya dengan benar ke lantai.
Awan masih membungkuk dan memegangi perut, nafasnya tampak tersengal, antara kesakitan dan juga menahan amarah.
"Sepupu laknat modelan kayak lo, emang pantesnya berjodoh sama wanita salome kayak si Ria. Sama-sama bejat dan tukang ngibul. Lo gak pantes banget dapetin sahabat gue. Tuhan emang gak pernah tidur dan gue sangat bersyukur, kalian gak berjodoh," sambung Yuri, membuat Camellia menatapnya tidak percaya.
Begitupun dengan Awan, laki-laki itu menatap sepupunya dengan perasaan tak menentu.
Awan mengangkat telunjuknya, dan menunjuk wajah Camellia yang masih terlihat pias.
"Ohh, pantes kelakuan lo barbar, karena keseringan main sama perempuan munafik kayak dia ini. Asal lo tahu, Yur, dia udah berani mempermalukan Ria di depan umum, bahkan sampai Ria di seret ke kantor polisi,"
Hahahahaaaa.....
Suara tawa Yuri menggema di seluruh ruangan.
"Gue udah gak heran, kalau si salome di tangkep polisi, dari dulu dia udah langganan keluar masuk kantor polisi, bawa mobil sambil mabok, ujung-ujungnya ke kantor polisi, ngajak ribut orang di tempat rame, terus di bawa polisi! Gue do'ain, semoga si salome jadi penghuni tetap di sana, aamiin." Sahut Yuri panjang lebar.
Awan bungkam mendengar perkataan Yuri, hatinya ingin membantah, tapi di sisi lain diapun jadi penasaran, apakah benar semua yang di ucapkan Yuri, atau hanya untuk menjatuhkan nama baik Ria saja?
"Yuri, jangan bicara seperti itu." Camellia menepuk pergelangan tangan Yuri, bukan tidak senang karena di bela, tapi dia tidak suka kalau sahabatnya berkata tidak baik. Apa lagi sampai mendo'akan hal-hal buruk. Sekalipun yang di do'akannya orang yang berbuat dzolim padanya.
"Empet gue, punya sepupu kok pekok bener, entah otaknya ketinggalan di mana."
"Wan, lu gak usah bengang bengong di sini deh, yang ada kesurupan lagi, lo tahu kan ini tuh bangunan tua, dan setan tuh paling demen sama orang bego macam lu. Udah sono minggat-minggat!" Usir Yuri.
"Lahh malah di usir, gue kan belum ngeluarin kata-kata mutiara dan siraman qalbu!" Ujar Aldo, yang sudah berdiri di samping Camellia.
Awan terkesiap begitu melihat Aldo.
Wajahnya yang rupawan serta tubuhnya yang tinggi tegap, membuat hati Awan sedikit meriang.
Baru seminggu dirinya meninggalkan Camellia, dan sekarang gadis itu sudah memiliki teman pria yang begitu tampan, bahkan melebihi dirinya, Awan tidak rela hatinya terasa panas membara.
Ada apa dengan hatinya?
"Nape lu liatin gue kek gitu? Naksir ya? Ah sayangnya gue manusia normal, gak suka batangan!" Aldo bersidekap dan menatap Awan.
Awan berdecih, nyalinya menciut. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Camellia tidak sendirian.
Tadinya Awan berpikir, mungkin Camellia tengah menangis dan meratapi nasibnya yang di campakan oleh dirinya menjelang hari pernikahan. Dan saat melihat dirinya datang pastilah gadis itu akan menangis meraung dan memohon kepadanya untuk kembali.
Namun apa yang ada di dalam ekspektasinya, sangat jauh berbeda dengan kenyataan.
Gadis itu terlihat santai dan biasa saja, hanya sorot kedua matanya yang tampak sendu dan menyimpan kesedihan.
Dan Awan tidak suka melihat itu, melihat kedua netra coklat si gadis yang memendam kesedihan, hatinya seperti tersayat pisau tak kasat mata sakit, sangat sakit.
Awan mundur selangkah dadanya bergemuruh. Bukan, bukan seperti seharusnya.
Tadi tujuan Awan datang ke rumah singgah tempat Camellia mengajar, untuk memberi gadis itu pelajaran, karena dia sudah berani mempermalukan Ria, kekasih hatinya.
Namun tiba di sana Awan malah mendapati gadis itu tengah bersama sepupunya dan juga seorang teman prianya.
Dan bukan Camellia yang terlihat menyedihkan, tetapi dirinyalah. Bahkan Awan harus menahan malu dan juga sakit karena tendangan sepupunya sendiri.
"Sekarang kamu boleh tertawa dan merasa menang, tapi lihatlah sebentar lagi penyesalan itu akan datang. Dasar perempuan munafik, baru seminggu yang lalu kamu saya tinggalkanvdan sekarang sudah berdekatan dengan pria lain, hebat yaa! Jangan-jangan selama ini kalian memiliki hubungan spesial?"
Camellia ternganga lebar, mendengar ucapan bernada ancaman yang keluar dari mulut Awan dan juga segala tuduhan yang di tujukan pada dirinya.
Camellia menggelengkan kepala, merasa tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Hatinya yang masih basah oleh luka yang lalu, kini bagai tersiram air garam, terasa sakit dan berdenyut nyeri.
Aldo yang berdiri di sebelah Camellia, melangkah maju mendekati Awan. Tangannya dengan cepat menarik kerah kemejanya.
"Dasar laki-laki bajingan, memang benar kata orang, manusia yang melakukan kesalahan kebanyakan, banyak alibi dan suka memutar balik fakta," dengan dorongan yang sangat kuat, Aldo mendorong tubuh Awan, sampai terjerembab di lantai.
Awan meringis merasakan sakit di punggung dan juga pantatnya yang bergesekan dengan lantai langsung.
Camellia dan Yuri berteriak, begitupun dengan beberapa anak asuh mereka. Suasana menjadi riuh melihat keributan mereka berdua.
Sialan, siapa laki-laki ini? Bathin Awan.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Awan berusaha bangkit dan berdiri.
"Mel, kamu gak siwer 'kan? masa iya laki modelan begini jadi dedeman sih." Ujar Aldo, tangannya menyentuh dagu, dan menatap Awan, seolah-olah sedang menilainya.
Camellia memutar bola mata jengah, mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut sahabatnya.
"Bukan siwer, Do, tapi si Mel kesambet," sahut Yuri, menanggapi ucapan Aldo.
"Mending kalau yang nyambet mahluk Tuhan paling seksi, lha ini mahluk Tuhan yang otaknya belum di upgrade," Aldo dan Yuri saling lempar omongan, tanpa mempedulikan Awan, yang masih berdiri di hadapan mereka.
Awan sampai jengah, mendengar setiap ucapan Aldo dan Yuri yang menggosipi dirinya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan di hadapan dirinya langsung.
"Ntar, gue mau nyuruh Om sama Tante gue, buat beliin otak baru aja sekalian, biar dia bisa mikir dengan baik dan benar."
"Sudah-sudah, kalian malah ribut." Ujar Camellia. "Wan, aku tidak tahu apa yang kamu tuduhkan sama aku, yang aku tahu, aku memang bertemu Ria di toko buku dan dia terus menerus berteriak di depan orang banyak. Soal dia berada di kantor polisi, kenapa kamu tidak mencari tahunya kesana, atau ke toko buku, malah mencari aku ke sini?"
Awan masih bungkam, tapi hati dan pikirannya membenarkan apa yang Camellia ucapkan.
Tadi, Awan yang mendapat panggilan telepon dari Ria, dan mendengar bahwa dirinya di kantor polisi. Di karenakan perbuatan dan fitnah yang Camellia tuduhkan.
Mendengar pengaduan Ria, Awan sangat marah dan tanpa berpikir dua kali, dia langsung menuju ke rumah singgah, tempat Camellia sehari-hari mengajar.
"Sono lo pergi, ngapain bengang bengong di mari? Kurang kerjaan banget." Hardik Aldo.
Dengan perasaan campur aduk, Awan meninggalkan bangunan tua, tempat Camellia dan kedua sahabatnya berada.
"Sabar ya, Mel!" Yuri mengelus bahu Camellia, tubuh ringkihnya tampak bergetar.
Hari berganti hari, seminggu sudah berlalu.
Kini Camellia hanya bisa melihatnya tersenyum dari apa yang dia lihat tiap Awan mengunggah gambar dirinya ataukah bersama teman, keluarga, bahkan dia yang kini selalu ada bersamanya.
Kadang Camellia harus memejamkan kedua matanya sejenak.
Karena, senyuman itu bukan lagi untuknya.
Apakah dahulu hanya Camellia yang berlebihan?
Hanya Camellia yang keterlaluan? Hanya Camellia yang terbawa oleh perasaan?
Apalah arti dari semua perhatian itu? Berkat itulah, Camellia tak ingin lagi memiliki rasa yang belum pasti bagaimana akhirnya.
Cukup Camellia diam, cukup Camellia bersabar, cukup menunggu, cukup menyerahkan dan cukup mengikhlaskan semua hanya kepadaNya.
Pada sang maha pencipta, pemilik langit dan bumi, beserta seluruh isinya.
Sebaik-baiknya cinta, adalah cinta sang pemilik cinta.
Sebaik-baiknya menggantungkan harapan, hanya kepada sang maha pencipta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top