Bab 1

Apakah kalian tahu soal doppelganger?

Itu adalah suatu peristiwa ketika kalian bertemu dengan diri kalian sendiri. Banyak yang bilang kalau itu tidak nyata; hanya sebuah desas-desus belaka; cerita rakyat.

Namun, ada pula yang menyakini kalau itu nyata. Ada saksi yang sudah bersumpah bahwa dia bertemu dengan doppelganger mereka.

Aku sendiri tidak percaya hal itu … hingga aku mengalaminya sendiri.

Di ujung jalan sana, berdiri aku yang lain. Bak melihat ke dalam cermin, aku terpukau.

Garis-garis wajahnya begitu kukenali. Rambutnya yang berwarna biru tua berkibar di bawah langit kelabu. Dia begitu mencolok, begitu memukau di tengah-tengah kubangan darah.

Iris sewarna aqua gadis itu menatapku dalam. Tubuhku terasa dikupas hingga menyisakan jiwa terdalam. Aku tak mampu bergerak maupun berbicara. Aku sangat terpana.

Cresave, Tahun ke-10 setelah kehancuran

Burung gagak hinggap di dahan-dahan pohon yang telah mati. Sudah 10 tahun lamanya dunia berada di ambang kehancuran. Namun, manusia masih tidak sanggup melawan. Mereka hanya bisa hidup dari hari ke hari dengan mengandalkan sisa makanan yang dikais.

Tanah tidak lagi subur. Hampir tidak ada tumbuhan yang dapat bertahan hidup. Semua pohon di hutan mati, menyisakan umbi-umbian keras dan beberapa jenis jamur yang hanya bisa mengganjal perut.

Manusia hampir tidak mengenal apa itu protein. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya susu dan daging. Makanan paling enak yang pernah manusia makan hanyalah umbi dan jamur yang dibakar.

Padahal dahulu dunia ini sangat makmur. Ada pepatah kuno yang mengatakan susu mengalir di sungai-sungai dan kerikil serta kayu dapat berubah menjadi tanaman. Namun, sekarang semua itu hanya terdengar seperti mitos.

Di antara pepohonan hutan yang telah mati, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun tengah mengais-ngais tanah. Dia memanen dua umbi yang telah beberapa minggu berusaha dia tumbuhkan.

“Ah!” Anak itu terpekik pelan. Jari-jemarinya tidak sengaja tergores batang umbi yang berduri. Darah segar berwarna merah mengalir dari jari-jarinya.

Dia buru-buru berlari ke sungai terdekat. Anak itu mencelupkan tangannya ke sungai hingga darahnya berhenti mengalir. Setelahnya dia kembali memanen umbi dengan lebih hati-hati.

“Aku akan membawa pulang ini untuk ibu,” ujarnya dengan senyuman yang merekah.

Anak itu berjalan dengan riang menuju gua tempat dia beristirahat. Di sana, seorang wanita yang tengah terbaring lemah menatapnya penuh rasa cinta ketika dia masuk.

“Soran, apakah kau sudah mendapatkan umbinya?” tanya wanita itu lembut.

Soran menganggukkan kepala. “Aku akan membakar ini dahulu. Ibu tunggulah sebentar lagi.”

Soran keluar gua kemudian menuju tungku sederhana yang dia buat. Di sana terdapat beberapa batang kayu yang sudah sepenuhnya mengering. Setelag menghidupkan api, Soran melemparkan kedua umbi itu ke dalam tungku. Dia menunggu beberapa saat hingga umbinya matang dan kembali ke dalam.

“Soran, kenapa dengan tanganmu?” tanya ibunya ketika wanita itu melihat telapak tangan Soran yang penuh goresan luka yang cukup dalam.

“Ah, tadi aku terluka saat memanen umbi. Jangan khawatir Ibu, sekarang sudah tidak apa-apa.”

Wajah ibu Soran memburuk. Tubuhnya yang keriput dan sangat kurus kini semakin buruk karena kehilangan warnanya.

“Cepat! Tutup pintu gua!” perintahnya.

“Ada apa Ibu? Kenapa tiba-tiba?” Soran mengernyit. Dia tidak memahami alasan perilaku ibunya.

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Cepat tutup pintu itu!” serunya. Dia mendorong Soran untuk segera menutup pintu gua.

Soran buru-buru berlari menuju pintu gua. Namun, semua sudah terlambat ketika dia sampai di sana. Tidak jauh dari padang tandus di luar gua, segerombol amogus datang. Soran gemetar. Dia kembali ke sisi ibunya dengan lebih terburu-buru.

“Kenapa? Kenapa tidak langsung kaututup?” Ibu Soran menatap dengan khawatir. Dia punya perasaan tidak menyenangkan soal ini.

“Amogus … di luar ada amogus. Kita harus melarikan diri, Ibu. Aku akan memapahmu, ayo kita pergi.” Soran menunduk. Dia membantu ibunya berdiri dan memapahnya. Mereka buru-buru meninggalkan gua berharap amogus di luar sana tidak melihat mereka.

Amogus … mereka adalah makhluk yang menyebabkan kerusakan di bumi. Tanah apa pun yang makhluk-makhluk itu pijak akan mengering. Pohon apa pun yang mereka sentuh akan teracuni dan mati.

Tidak ada yang tahu bagaimana mereka muncul. Namun, nyaris tidak ada manusia yang bertahan hidup ketika bertemu dengan mereka. Makhluk-makhluk itu akan berburu manusia dan membawanya ke sarang mereka yang entah di mana. Tidak ada manusia yang cukup berani untuk mencari hingga saat ini.

Satu-satunya cara manusia adalah menghindar. Tubuh mereka setinggi dua meter dan gigi mereka panjangnya sehasta. Mereka tidak memiliki leher. Di atas mulutnya terdapat satu mata yang besar. Bulu mereka berwarna biru tua yang sangat kontras dengan warna tanah yang telah tandus. Satu hal yang sangat jelas … mereka sangat handal melacak darah manusia.

Soran tidak repot-repot mengamati mereka sebelum meninggalkan gua. Tidak ada yang dia bawa selain tubuhnya dan ibunya. Namun, dengan kondisi ibunya mereka tidak bisa berjalan cepat.

“Soran, ibu sudah tidak kuat. Paru-paru ibu rasanya terbakar.” Wanita itu menahan dadanya dengan telapak tangan.

Soran memeluk ibunya dan membantunya agar tidak ambruk. Dia tidak bisa berhenti di sini. Para amogus sudah sangat dekat di belakang mereka. Jika mereka tidak bisa kabur, maka hanya dalam waktu hitungan menit mereka dapat segera ditemukan.

“Bertahanlah sedikit lagi, Ibu. Kita akan tiba di rawa sebentar lagi,” ujar Soran meyakinkan.

Wanita itu menganggukkan kepala. Dia menekan dadanya lebih kuat untuk menahan sakit yang menusuk dada. Hidung dan mulutnya menarik napas dengan rakus, berharap dengan begitu bisa mengurangi rasa sesak. Namun, tentu saja tidak berhasil.

“Ibu, tunggu sebentar lagi. Sebentar lagi saja.” Soran menguatkan pelukannya.

“Soran, ini sangat berat, ibu tidak kuat. Pergilah sendiri tanpa ibu.” Wanita itu menarik tangannya dari Soran. Dia sadar diri tidak mungkin melanjutkan perjalanan. Rawa sudah terlihat, tetapi masih harus menuruni lereng. Mustahil dengan kondisi seperti itu dia sanggup.

“Ti-tidak Ibu. Jangan katakan itu.” Soran menarik kembali tangan ibunya. Dia memeluk ibunya erat dan memaksa ibunya untuk terus berjalan.

“Soran, sudah tidak ada harapan. Mereka akan terus mengejar. Ibu akan ….” Perkataan ibu Soran terpotong oleh suara derap langkah kaki yang semakin mendekat.

Para amogus sudah tidak jauh lagi. Tidak akan ada waktu baginya untuk sampai ke rawa. Jika dia memaksa, mereka berdua akan mati.

“Tidak Ibu. Hanya sebentar lagi kita tiba di rawa. Lihatlah ke bawah sana, rawa sudah terlihat. Kita hanya perlu menuruni lereng sedikit dan bersembunyi di rawa hingga amogus menjauh dari sini.” Soran menggenggam erat tangan ibunya. Hanya sedikit lagi dan mereka akan tiba di rawa untuk bersembunyi.

Ibu Soran menggeleng pelan. Dia tidak akan sanggup. Mereka harus menahan napas di bawah rawa hingga para amogus pergi. Dengan kondisi paru-parunya, dia hanya akan membuat mereka tertangkap amogus … atau mati tenggelam. Di antara kedua hal itu tidak ada yang baik.

“Soran dengar! Ibu sudah tua dan tidak lagi sehat. Kamu harus tetap hidup, jadi jangan membantah apa yang ibu katakan. Apa kamu paham?” Dia menatap Soran dalam, menyelami irisnya yang berwarna cokelat.

Soran menggelengkan kepala. Air mata mengalir di wajahnya. Namun, pilihan sekarang bukan ada di tangan Soran.

Wanita itu menghela napas dalam. Dia mendorong Soran ke lereng di belakang anak itu, ke arah rawa yang berada di bawah sana.

Soran tidak memiliki gambaran ibunya akan melakukan itu. Pandangannya kosong menatap ibunya yang tersenyum dan melambaikan tangan di atas sana. Anak itu berguling dan berakhir tercebur ke dalam rawa berlumpur.

Ibu Soran tersenyum melihat anaknya yang telah masuk ke dalam rawa. Dia mengambil tusuk konde yang menahan rambutnya dan menusuk telapak tangannya sendiri.

“Akh!” Wanita itu merintih tertahan. Beberapa tetes darah mengalir dari telapak tangannya.

Suara derap langkah kaki amogus terdengar semakin dekat dan cepat. Dari dalam rawa, Soran menatap ibunya yang menodongkan tusuk konde kepada amogus yang telah tiba. Wanita itu menusuk-nusukkan kondenya ke amogus yang mengerubunginya.

Air mata Soran tak berhenti mengalir. Amogus-amogus itu membuka mulut mereka. Tidak peduli apakah ada rekannya yang tertusuk konde, mereka langsung melahap ibu Soran. Setelahnya mereka meninggalkan Soran yang masih mematung.

TBC~

SiriusInk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top