The Scent of You


Camaraderie.
Bab. 3 The Scent of You.

Sena membungkuk melewati jendela kamarnya sendiri dan mendaratLah kaki kanan itu dengan tangkas. Kamarnya tampak temaram dengan biasan cahaya lampu tidur kebiruan. Bunyi dengungan kipas angin di sudut ruang terdengar seperti nada yang melenakan.

Aldino, adik kembar Sena tampak sudah terlelap di kasur paling bawah. Maka, tanpa banyak suara Sena segera naik ke kasur yang ada di atas dipan tingkat. Ia menghela napas panjang penuh rasa syukur begitu bantal empuk dan sejuk menyambut kepalanya.

Kamarnya memang tidakk serapi dan secantik punya Raina, tapi setidaknya ia bisa puas memikirkan Raina. Entah sejak kapan, ia tidak lagi bisa melihat Raina dari sudut pandang seorang adik. Bertahun-tahun ia hidup bersebelahan dengan cewek pemarah itu, tapi pada akhirnya perasaan sukanya malah makin kuat pada Raina si ketua OSIS SMA Tunas Bangsa.

HP Sena yang tergeletak di rak buku atas tampak menyala dan bergetar. Dengan asal-asalan, ia meraih benda itu. Ternyata ada pesan dari Diva.

[Besok jangan lupa bawa kertas folio sama print out artikel yang diminta Bu Sari.]

Sena berdecak kesal. Ia lupa tentang print out artikelnya. Kemudian ia mulai mengetikkan jawaban pesan.

[Aduh, aku lupa artikelnya.] Lalu ia menambahkan emot menangis dan Diva menjawab dengan emot senyum lebar.

[Makasih dah ingetin aku. Kayaknya aku lagi lelah lahir batin.]

Diva menjawab dengan emot tertawa dan menangis. Ia mengetikkan sesuatu untuk Sena,

[Kamu mau kalo aku carikan? Besok kamu tinggal ngerangkum aja.]

[Serius?] Sena tak percaya Diva mau melakukannya. [Makasih, Va.]

"Sen, abis dari rumah mbak Raina, ya?" Pertanyaan itu membuatnya terkejut seketika. Kepala Aldino yang muncul di sisi samping dipan membuat bulu kuduk Sena sempat meremang.

"Buset! Apaan, si?!"

"Diva lagi?" Mata Gino berpendar usil.

"Gak perlu tau," tegas Sena dan cepat-cepat mematikan HP-nya.

"Oh, berarti itu tadi Diva," cibir Aldino. "Sampai kapan ngasih harapan palsu sama Diva? Kamu nggak bisa gini terus, 'kan?" lanjutnya setengah mengomel.

Aldino memang bukan adik kembar identik Avisena. Kemiripan wajah mereka hanya sekitar 70%, tapi ikatan batin mereka kuat. Emosi mereka terhubung dan bisa saling merasakan. Namun, untuk saat ini keterikatan itu jadi sebuah kutukan untuk Sena karena mustahil bisa menyembunyikan sesuatu dari Aldino, manusia sarkas.

"Enak aja, harapan palsu. Dia yang kirim pesan duluan," bantah Sena seraya melompat turun dari kasur.

"Aku tebak, kamu juga belum bilang masalah Ibuk yang comblangi mamanya Kak Rain sama Om Arga, 'kan?" Cecar Aldino.

Sena yang sedang menyiapkan buku pelajaran untuk besok terpaksa menghentikan kegiatannya gara-gara kalimat tadi. Ia merasa bingung harus menjawab apa. "Emangnya harus sekarang? Enggak, 'kan?" kilahnya.

"Makin cepet makin baik, Sen." Nada Aldino meninggi untuk pertama kalinya. Ia berdiri di belakang Sena seraya berkacak pinggang. "Aku rasa makin cepet Kak Raina tau keadaan yang sebenarnya bakal makin baik."

"Iya, ngerti. Tapi aku nggak bisa. Nggak sekarang. Dia curiga mamanya lagi deket sama seseorang aja dia dah parno setengah mati."

"Kamu itu nggak bisa, apa nggak mau?" cibir Aldino.

"Udah ya, Al. Jangan uji kesabaranku malam ini. Pusing, tau nggak?" Sena mengemasi buku-buku pelajarannya dan segera memasukkannya ke ransel.

"Paling juga pusing nyari petunjuk Raina suka kamu apa enggak."

"Sok tau!"

"Ya iyalah, hati kita 'kan terpaut."

"Norak banget kalimatmu." Sena melepas kaosnya dan bergegas memanjat ke kasurnya untuk tidur.

"Emang gitu, 'kan? Aku bisa baca perasaan kamu kayak baca komik. Jelas tapi konyol." Kasur busa dibawah sana terdengar bergesekan. Aldino sudah merebahkan diri di kasurnya sendiri. "Denger ya, Sen. Aku tau kamu suka Kak Rain, makanya sulit buat kamu untuk cerita tentang hubungan Om Arga dan mamanya Kak Rain."

"Nah, udah tau kenapa nanya?" gumam Sena lirih. "Aku aja nggak yakin dia bakal mau sama aku. Apalagi klo bilang tentang siapa Om Arga, tambah ancur pertemananku sama dia." Mendengar ucapan Sena, Aldino langsung terkekeh kencang.

"Eh, munyuk! Jangan bilang kamu jagoan tapi takut sama Kak Raina." Sena tak menanggapi Aldino, jadi saudara kembarnya itu pun melanjutkan. "Emang sih, Kak Raina itu cantik tapi judes banget klo pas kepanitiaan OSIS.  Yang berani jahilin dia cuma kamu, doang 'kan," lanjutnya santai.

Sena tersenyum sambil menatap langit-langit kamar. "Tapi kayaknya aku yang paling takut nggak bisa jadi teman dekatnya," ucapnya kemudian.

"Jadi, kamu nggak bakal ngomong suka ke dia?" tanya Al kepo.

"Mana aku berani," jawab Sena sendu.

"Jadi itu sebabnya kamu diem aja Diva deketin kamu?" tanya Al. Sena memilih untuk diam. Ia merasa enggan menjawab karena sebagian besar yang diutarakan Al persis dengan pikirannya dan pasti Al bakal terus nyerocos membeberkan analisanya. "Anjirr, jangan bilang kamu punya rencana mau jadian sama Diva." Aldino menendang kasur Sena dari bawah.

"Al, aku pengen tidur! Jangan ngajak ghibah mulu, kenapa, sih?!" keluh Sena.

"Aku bisa ngerasa, Sen. Kamu tuh, nggak ngantuk. Kamu lagi ngerencanain sesuatu antara Diva sama Kak Raina."

"Ya 'kan, katanya kamu bisa baca pikiranku. Baca aja, nggak usah nanya!" tukas Sena jengkel. "Lagian kenapa juga ngurusin masalahku, urus aja masalahmu sendiri. Bukannya kamu juga lagi punya banyak masalah?"

"Aku cuma kasihan sama Kak Raina. Sejak Ibuk ngenalin Om Arga ke tante Rika, aku ngerasa cara ini salah. Ini bakal berat buat Kak Raina," jelas Aldino.

"Pastinya bakal berat, tapi aku bakal nemenin dia," sahut Sena tegas.

Ia berjanji dalam hati, bahwa ia akan ada untuk Raina. Menemani saat-saat terberat Raina meski hanya sebagai sahabat. Hal itu sudah cukup untuk Sena. Persahabatan yang mereka punya, di sisi Sena berkembang terlalu liar tak bisa dikekang. Perasaan yang hadir di tempat yang salah, membuat Sena bingung. Ia tak lagi mampu mengenali emosi diri yang berubah asing saat di dekat Raina.

Berawal dari selalu bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang Raina lakukan di saat mereka sibuk dengan sekolah. Sena merasakan ada yang aneh dengan dirinya ketika tiap istirahat ia selalu mencari sosok Raina tanpa sadar. Dan saat ia menemukan sosok Raina dari kejauhan, ia pun menjadi tenang.

Tiba-tiba saja Raina terlihat cantik di mata Sena. Bukan karena dulu Raina jelek, hanya saja sejak Raina memotong pendek rambutnya, cewek itu membuatnya sulit terlupakan. Poni pendek Raina membuat matanya yang lebar makin jernih. Seperti kolam hitam yang membuat Sena tenggelam di dalamnya.

Sena memejamkan mata, tidak mempedulikan ocehan Aldino. Membiarkan dirinya tenggelam dalam bayangan netra Raina yang kelam.

Besok atau mungkin lusa, Sena punya satu kesempatan lagi untuk mencari tahu perasaan Raina. Mencari jawaban, adakah harapan untuknya menjadi milik Raina? Karena Sena sudah lelah dianggap hanya sebatas adik.

***

Maaf ya, terlambat posting bab ini. 🤭
JANGAN BOSAN IKUTI CAMARADERIE.
BESOK MALAM INSYAALLAH UP BAB SELANJUTNYA.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top