TEDUH
"Bukan, Bang. Makasih kalo gitu." Sena menjalankan lagi mobilnya. Berbalik arah sambil berpikir keras apa yang akan dirinya lakukan jika ia berusaha kabur.
Sena memperkirakan Raina pasti mengambil jalan lain. Jalan kecil yang rute menuju jalan utama lebih lama tapi aman dari pemabuk daerah ini.
Ia menemukan ide dan langsung tancap gas menuju belakang kompleks perumahan. Gadis itu pastinya lebih paham dengan lingkungannya sendiri karena ia tinggal di sini lebih lama daripada dirinya.
Raina bakal menerobos tembok pembatas perumahan yang rendah dan mengambil jalan setapak gelap. Cewek itu pasti mengira dirinya bakal tidak dapat terkejar olehnya jika mengambil jalan pintas. Namun kelihatannya hujan akan segera datang.
Gemuruh guntur terdengar makin jelas, menandakan hujan mungkin datang makin dekat. Sena berharap Raina sudah melewati jalan itu ketika hujan turun, karena jalannya akan sangat licin. Cewek itu bisa saja terpeleset dan tercebur ke sungai.
Dengan cekatan Sena segera berbelok kembali menuju jalan ke gerbang perumahan. Mengarahkan mobil ke jalan utama. Tidak butuh dari sepuluh menit ia sampai di jalan raya yang mulai lengang. Ia memakirkan mobil tidak jauh dari kelokan dan menunggu Raina muncul.
Titik-titik air mulai bermunculan di kaca depannya. Gerimis mulai datang. Ia mulai cemas Raina belum juga muncul. Sena memeluk setir mobil, memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang, berdoa semoga perkiraannya tepat. Ia akan makin panik jika gadis itu tidak muncul.
Belum sampai lima detik Sena selesai berdoa, sosok yang dicarinya akhirnya muncul tepat saat ia baru saja membuka mata. Raina sedang berjalan melewati mobil tanpa menyadari bahwa ia sudah ada di sana.
Sena langsung membunyikan klakson. Gadis itu tampak terkejut dan langsung menoleh dari arah depan mobil. Hujan luruh seketika, tapi tidak dengan pendirian gadis itu.
Raina melanjutkan langkah dengan cueknya menembus hujan. Sena mengikutinya dengan melambatkan laju mobil dr belakang.
"Rain, ayo masuk ke mobil!" Dibukanya pintu depan dan menyejajarkannya dengan langkah Raina.
"Pulang sana, Sen!"
"Ini hujan, kamu bisa sakit kalo kena hujan malam-malam."
"Biarin!" Raina terus berjalan meski saat ini jaketnya mulai basah dan topinya tidak lagi mampu melindungi kepalanya dari air.
"Aku nggak bakal antar kamu pulang! Kamu pengen kabur dari rumah? Oke, aku temenin, yang penting kamu mau masuk ke mobil sekarang juga!" seru Sena melawan deru suara hujan angin yang makin kencang. Raina berhenti dan menoleh ke arahnya seolah ragu.
Ia sudah tampak menggigil dan saat ini Sena sudah tidak sabar untuk menyeretnya masuk ke dalam mobil. Namun jika ia melakukannya, Raina akan makin membencinya.
"Tolonglah, Rain. Masuk, yuk!" ajak Sena sekali lagi. "Aku nggak ingin kamu masuk angin,"sambungnya lebih lembut.
Gadis itupun akhirnya masuk ke dalam mobil. Suara kerasnya hujan langsung teredam begitu pintu mobil telah tertutup. Raina membisu dengan tubuh menggigil.
"Ya, ampun. Kamu dah basah kuyup." Sena melepas topi Raina yang sudah seperti kain lap basah tidak berbentuk. "Lepasin jaketmu! Kamu harus kering."
Raina patuh tanpa bersuara. Hanya bunyi napasnya yang berkejaran berusaha mengatasi rasa dingin yang sudah menembus tulang. Ia kesulitan untuk melepaskan bagian lengan yang sudah terlanjur basah dan terasa lengket di kulitnya.
Sena melepaskan ransel gadis itu dan melemparkannya ke jok belakang. Ia segera membantu melepaskan jaket Raina. Dashboard mobil membuatnya sulit membantu melepas bagian lengan sebelah kiri.
"Hadap sini!" gumamnya. Raina memutar badan menghadap kearahnya. Kaos di balik jaket itu sudah lembab dan mencetak bra di baliknya. Sena membuang pandangan berusaha tidak berpikir aneh-aneh. Tangan Raina berpegang pada lengannya. Jemarinya yang dingin membuat Sena sadar bahwa gadis ini butuh segera mengganti baju yang kering dan minuman yang hangat.
Lengan kiri Raina belum bebas dari jaketnya. Gadis itu memajukan tubuh dan ia pun lebih mendekat. Bagian pergelangan tangan kiri pun akhirnya bisa lepas. Cewek itu menempelkan dahinya yang dingin ke bagian depan baju Sena. Tiba-tiba melingkarkan tangan ke sekeliling pinggangnya. Ia bisa merasakan tubuh dingin Raina mulai meresap melalui kain kemeja flanelnya.
"Sekarang kita cari kedai buat beli minuman hangat," bisik Sena sambil berusaha melepaskan pelukan Raina.
Gadis itu menggeleng dan makin menyurukkan wajah ke dadanya. Menolak untuk melepaskan pelukan. Sena menguatkan hati untuk tidak terpengaruh dengan bagaimana menggodanya Raina saat ini
"Enggak!" tegasnya ketika Sena berusaha mendorongnya menjauh. "Tolong, biarin aku peluk kamu sebentar aja," lanjutnya dengan nada memelas.
Sena terhenyak. Dadanya mulai berdebar keras. Ia mengira Raina masih marah padanya, tapi kali ini gadis malah memohon padanya. Kelihatannya cewek ini benar-benar telah putus asa.
"Mungkin bener, aku cewek murahan. Mungkin bener, nggak ada yang bener-bener peduli sama aku. Nggak ada yang peduli sama perasaanku," bisik Raina dengan nada bergetar menahan tangis.
"Sapa bilang? Buktinya aku nyariin kamu," hibur Sena. Dibalasnya pelukan Raina, memberinya sedikit kehangatan.
"Kenapa harus aku yang kejebak di sini? Kenapa?!" Raina mulai menangis hebat. Tergugu dalam pelukan Sena.
Sena hanya diam sambil memeluk Raina erat. Berusaha menyampaikan rasa dan perhatiannya lewat usapan lembut di kepala Raina yang lembab. Hujan telah reda meninggalkan sisa gerimis dalam angin malam yang sejuk tapi kaos Sena telah basah oleh air mata.
Tiga puluh menit kemudian, saat gadis itu akhirnya menjadi tenang. Sena melajukan mobilnya mencari pom bensin terdekat. Mata Raina tampak membengkak dan terpejam karena kelelahan. Namun ia berusaha membangunkan gadis itu tiap kali akan tertidur. Ia harus tetap menjaga Raina sadar agar suhu badannya tetap terjaga.
Mereka akhirnya sampai di pom bensin. Raina segera mengganti baju basahnya dengan baju kering yang ada di ranselnya, sementara Sena mengisi bahan bakar. Setelah semua selesai, ia mengajak gadis itu ke sebuah warung kopi dua puluh empat jam.
Raina mulai dapat tersenyum ketika teh hangat dan mie kuah dengan telur rebus akhirnya datang di meja mereka.
"Hm ..., enak." Raina menghidu aroma lezat mie dengan senyum gembira.
Sena langsung memegang dadanya, seolah jantungnya tertusuk panah melihat Raina dengan rambut basah acak-acakan dan senyum senang bertabir asap dari mie panas.
"Minum teh hangatnya dulu. Mie-nya masih panas," ucap Sena.
"Dada kamu kenapa? Sakit?" Mata gadis itu melebar tegang. Sena terkekeh mendapati Raina mengkhawatirkan dirinya.
"Nggak apa," jawabnya.
"Bohong! Kamu dah bohongin aku sekali, Sen. Jangan bohong lagi!" tukas Raina. "Kamu nggak punya sakit jantung, 'kan?" lanjutnya cemas.
"Enggak," jawab Sena tergelak.
"Kenapa? Masuk angin, ya?" Raina memberikan teh hangatnya pada Sena. "Ini, diminum dulu, ya? Lagian kenapa cuman pesen satu, sih?"
Sena meminum teh hangatnya. Membayangkan mereka segelas berdua membuat wajahnya memanas. Gadis itu tidak tahu bahwa uangnya hampir habis setelah membeli bensin tadi, dan sisanya hanya cukup untuk makan dan minum satu orang.
"Masih sakit dadanya?" tanya Raina dengan sorot menyelidik.
"Masih," jawabnya dengan senyum tipis.
"Kenapa ya, tiba-tiba dada kamu kerasa sakit? Padahal sebelumnya nggak pernah kek gini, 'kan?" Raina tampak begitu khawatir dan Sena hanya tersenyum untuk menikmatinya.
"Karena kamu cantik," jawab Sena disusul dengan batuk untuk menutupi malunya. Raina terpekur dan menatapnya dalam-dalam, lalu muncul sebuah senyum manis yang membuat dada Sena berdenyut cepat.
"Tapi rambutku lagi kayak landak." Pipi Raina bersemu sambil menahan senyum. Sena memberi isyarat pada Raina untuk memakan mie kuahnya, karena ia tidak tahan ditatap cewek itu lama-lama.
"Makan, gih! Keburu dingin."
"Mari makan!" Raina langsung menyerbu mangkuknya tanpa menawarkan mie-nya pada Sena. Kelihatan sangat kelaparan. Ia hanya mengamati dan menikmati bagaimana Raina menandaskan mie rebusnya. Dalam hati ia bertekad untuk menunjukkan pada gadis ini tentang duduk perkara Om Arya yang sebenarnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top