Surat Cinta Untuk Sena

Diva Nala Kejora menyibak rambut ikalnya setelah selesai membetulkan tali sepatu yang sebenarnya tidak perlu dieratkan simpulnya. Ia merasakan gelisah yang makin memuncak saat ia tidak juga melihat sosok yang dinantinya muncul. Ia  berharap rencananya akan berhasil kali ini, yaitu menemui Sena.

Gerbang sekolah pagi ini sudah ramai oleh siswa SMA Tunas Bangsa yang mulai berdatangan seperti rombongan lebah dengan suaranya yang berisik.
Diva berdiri di pinggir pembatas lapangan basket dengan jari saling bertaut dengan gerakan cemas. Ia merogoh sakunya untuk kelima kalinya, memastikan amplop mungil ungu itu masih ada di sana.

Pada akhirnya, berbulan-bulan menyembunyikan perasaan pada Avisena, ia punya keberanian untuk menyatakan perasaannya pada cowok itu lewat surat. Diantara pilihan yang lebih praktis dan cepat, Diva---pentolan cheerleader SMA Tunas Bangsa---malah memilih menyatakan cinta lewat surat.

Semua itu ia lakukan agar benar-benar mewakili perasaannya. Mungkin Sena sudah tahu perasaannya, tapi cewek ini butuh pernyataan secara terbuka dari Sena.

Ketika akhirnya Diva melihat Sena di ujung jalan berpaving itu, lagi-lagi ia harus galau. Sena tidak sedang berjalan sendirian rupanya, tapi dengan adik kembarnya, Aldino dan Kak Raina, si ketua OSIS yang terkenal galak itu.

Diva merutuk pelan merasakan tikaman kekecewaan. Ia berbalik badan membelakangi mereka bertiga, tidak siap dengan kenyataan bahwa ia harus memberikan surat itu di hadapan Aldino dan Kak Raina.

"Denger-denger, kandidat utama ketos berikutnya Aldino, ya?" Suara itu mengalihkan pandangan Diva.

"Beneran? Duh, aku mau jadi panitia apa aja klo gini caranya. Pasti lega banget mereka akhirnya Raina si macan nggak lama lagi harus pensiun." Segerombolan cewek di sebelah Diva terkikik geli, ikut mengawasi si kembar.

"Ah, kalo aku lebih demen Kak Sena. Cakep,  lucu, baik. Senyumnya bikin gemes."

"Iya, sama. Kak Sena lebih ramah sama cewek. Cuman ya itu, Kak Raina bikin usaha PDKT aku berasa basi."

"Gosipnya sih, Sena nggak pernah jadian sama cewek gara-gara Kak Raina yang suka ikut campur. Tukang hasut, kata temenku."

"Hah?! Serius? Ah, nggak percaya. Masa ketos tukang hasut?"

"Eh, tapi emang aku liat Kak Raina lebih deket sama Sena. Mereka kayak adek kakak gara-gara tetanggaan."

Diva mengolah apa yang ia dengar barusan. Kalau dia kukuh dengan rencananya, kemungkinan besar dia bakal di tolak oleh Sena. Itu pun di hadapan Kak Raina, Aldino, dan mungkin separuh murid di sekolah ini.

Tangannya gemetar saat meraba amplop di sakunya. Ragu antara pergi dari tempat ini atau malah maju menghampiri Sena. Kalau hari ini ia mundur, ia tidak akan pernah tahu apa jawaban Sena. Bisa saja Sena tidak mempunyai rasa suka, tapi bukan berarti dia juga akan menolak suratnya, 'kan?

Diva melangkah, membelah kerumunan cewek tadi yang sedang asyik bergosip. Mereka sontak minggir dengan gerutuan sinis, tapi ia tidak peduli. Ia membulatkan tekad hari ini untuk mencari jawaban Sena tahu ia harus melakukannya, jadi ia tidak akan membuang waktu percuma untuk menebak isi hati Sena. Tak ada lagi tempat untuk mundur. Ia tidak akan membatalkan rencananya.

"Mau ke mana, loe?" Sebuah tarikan tangan mencegah Diva untuk maju. Diva tahu, suara rendah itu milik Kevin.
"Jangan bilang loe mau kasih surat itu ke Sena," lanjutnya dengan wajah kaget.

"Emang iya." Diva kembali melanjutkan langkahnya, dan kembali dihadang teman kelasnya itu.

"Itu konyol banget, tau nggak? Loe ditolak, dan semua anak Tunas Bangsa bakal tau. Loe mau aib loe diomongin satu sekolah?!" Di balik kacamata cowol itu, tatapannya sangat menusuk penuh protes.

"Iya kalo ditolak. Kalo enggak?" Diva tersenyum gugup. Di selipkannya sehelai rambut ke belakang telinga dengan tangan gemetar. "Ayolah, Kev. Aku harus bilang sama dia. Aku harus tahu gimana responnya."

"Loe nekat, ya?! Segitu amat sampai rela mempermalukan diri," sembur Kevin. "Oke, mari kita lihat usaha loe."  Kevin bergeser ke samping, melepaskan Diva saat ia tahu bahwa tidak akan ada yang bisa mencegah keinginan si kepala batu ini.

"Doa in ya, Kev?" Diva melanjutkan langkah sambil mengerling pada Kevin.

Mereka bertiga masih ada di sana. Avisena dan Aldino yang sedang menuju kelasnya dengan bersendau gurau, sementara Kak Raina yang melangkah sendiri di belakang si kembar dengan tatapan seperti induk harimau yang sedang mengawasi anaknya bermain.

Diva berusaha tidak menghiraukan aura Raina yang dingin dan mendominasi. Ia hanya akan mengacuhkan Avisena.

"Pagi!" sapa Diva akhirnya. Mereka bertiga pun berhenti, terutama Sena dan Aldino yang tampak terkejut dan memasang wajah penuh tanya.

"Helo, Div." Sena menyahuti dengan senyum lebar. Siapa pun tahu, Sena punya sepasang mata tajam yang seolah mampu menembus isi hati, tapi Diva merasa tatapan Sena seolah hanya untuk dirinya.

"Eh, ini buat kamu." Diva segera merogoh amplop di saku rok seragamnya lalu mengulurkannya pada Sena yang tampak mulai kebingungan.

"Apa ini?" Sena mematung dan melihat amplop ungu itu seakan melihat benda yang menakutkan.

"Itu surat, Sen," sahut Aldino sambil berdeham.

"Kamu baca, ya?" Diva mulai gemetar karena Sena tidak juga mengambil amplop itu dari tangannya. Kali ini ia benar-benar berdoa dengan seluruh kekuatan hati, agar Sena mau menerima suratnya.

"Tapi ini surat apa, ya?" Sena menyapukan pandangan, mengawasi apakah ada yang sedang memperhatikan mereka saat ini.

Aldino dan Kak Raina tampak ikut mematung jengah di tengah keramaian suasana sekolah menjelang lima menit sebelum bel masuk.

"Namanya bukan kejutan kalo aku bilangnya sekarang," jawab Diva sembari tersenyum untuk menutupi kegugupannya.

"Kamu nggak ambil surat dari Diva?" tanya Raina dengan nada pelan dan Sena balik menatap pada Raina dengan ekspresi tegang.

Diva langsung merasakan sinyal penolakan dari Sena.  Lengannya sudah terlanjur kaku dan hatinya tertusuk rasa kecewa. Dengan lesu ia mengembalikan surat itu kembali pada saku roknya.

"Sini, biar aku simpen dulu." Tiba-tiba saja Raina sudah menyambar amplop itu. Diva terlalu shock untuk bereaksi, terlalu sedih untuk marah atas kelakuan seniornya yang kurang sopan.

"Jangan, Kak. Kembalikan!" sergah Diva sambil berusaha merebut kembali. Sayangnya tangan Raina terlalu cepat,   cewek itu mengangkat amplopnya tinggi-tinggi lalu menyelipkannya ke saku kemeja Sena dengan mulus.

"Apaan, sih kamu Rain?!" Sena mengeluarkan kembali amplop itu dengan wajah jengkel.

"Nah, selesai sudah drama pemberian surat cinta." kata Raina dengan ekspresi datar. "Sena udah terima surat kamu, Div. Tunggu jawabannya nanti, ya," lanjutnya pada Diva yang masih termangu.

Aldino terkekeh dan Raina tampak menahan senyum geli. Mereka meninggalkan Sena berdua dengannya, dan makin membuat Diva kikuk.

"Eh, aku balik ke kelas dulu ya, Sen? A--aku tunggu jawabanmu nanti malam, ya?" Sena tidak bersuara dan hanya mengangguk dengan ekspresi tak terbaca. Diva segera berbalik lalu beranjak.

"Diva!" Untuk pertama kalinya Sena memanggilnya, dan itu membuat jantung Diva kembali berdegup kencang. Apa Sena langsung memberi jawaban tanpa perlu membaca surat cinta darinya?

"Iya?" Diva berhenti dan menatap balik pada Sena yang saat ini tersenyum miring padanya. Senyum yang membuatnya sempat insomnia selama tiga hari. "Ada apa, Sen?"

"Bukannya situ arah ke kantin? Kelas kamu di sebelah sana, 'kan?"  Sena menunjuk ke arah barat dan suasana di sekitar mereka pun meledak oleh tawa anak-anak Tunas Bangsa yang sengaja bergerombol dan menguping moment tadi.

***

Raina akan menaiki tangga menuju kelasnya ketika Aldino---yang tadi menemaninya---akhirnya bertanya dalam kalimat yang aneh.

"Kakak, baik-baik aja?"

"Baik, emang ada apa?"

"Nggak ngerasa ada yang ganjal gitu?"

"Ngomong apaan, sih?"

"Amplop dari Diva tadi. Kakak, nggak ngerasa aneh sudah bantuin Diva?"

"Enggak, tuh. B aja."

Aldino tiba-tiba tersenyum lalu meninggalkan Raina. " Ya udah, kalo ntar ada yang ngerasa aneh. Bilang aja."

Raina mengerutkan dahi. Memikirkan kalimat Aldino. Apakah memang ia harus merasa aneh tentang Diva dan Sena? Namun kenyataannya, ia masih merasa baik-baik saja. Ia cuma tidak tega melihat Diva berdiri pucat sambil mengulurkan surat tadi. Apalagi melihat tingkah Sena yang pura-pura tidak peka. Ia khawatir cewek itu akan pingsan kalo Sena tidak segera menerima benda tadi.

Bel berdering tepat saat Raina tiba dalam kelas. Ia duduk di bangku dekat jendela. Tempat eksklusif, dimana tidak semua murid bisa mendapatkan bangku dengan pemandangan yang luas. Oh ya, Raina memang sibuk melihat pemandangan tapi pikirannya mulai bertanya-tanya kapan Sena akan menjawab surat tadi.

***

Bel berdering tepat saat Sena baru saja menempatkan pantatnya ke kursi kelas paling belakang. Dengan sebal di bantingnya ransel itu diatas meja. Ia merasa kesal karena Raina malah membantu Diva menyampaikan surat itu.

Sena tidak pernah menyangka pagi ini di mulai dengan sebuah drama yang memalukan. Kalau saja Raina tidak ikut campur, saat ini ia sudah menolak Diva dengan mudahnya.

Nyatanya Raina malah berulah. Merampas amplop tadi dan menjejalkan ke saku kemeja kotak Sena. Maka di sanalah sumber kejengkelan Sena saat ini. Pada akhirnya, Sena ada dalam posisi makin sulit menolak Diva karena menerima surat itu makin membuka harapan Diva bahwa ia akan ...

"Selamat pagi, Avisena!"  Sapaan guru walikelas membuat Sena sadar dari lamunan.

"Pagi, Pak!"

"Selamat ya, atas baru jadiannya," sindir pak guru dan disambut oleh tawa sekelas.

Sena yang dulu mungkin akan menggebrak meja dan menyuruh seisi kelas untuk diam, tapi Sena yang sekarang hanya menunduk dan tersenyum tenang, berusaha menikmati kerunyaman hidupnya yang terhitung dimulai dari pagi ini.

***

Tungguin lanjutannya 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top