Semua Tentang Sena
Suara hatinya mengatakan malam ini Sena pasti akan datang lagi, tapi logikanya berkata sebaliknya. Dalam perjalanan pulang dan menjemput Vita---si bungsu---Sena lebih banyak diam, jelas ada hal yang membuatnya kesal setengah mati. Dan sekarang Raina baru sadar, dirinyalah sumber dari rasa itu.
Raina menghabiskan waktunya di kamar sejak Om Arya pamit sore tadi. Perasaannya benar-benar kacau. Ada sesuatu yang pelan tapi pasti, menguasai perasaannya di luar kendali. Semua itu tertuju pada satu orang, siapa lagi kalo bukan Avisena.
Ia berdiri di depan jendela dan membuka gordynnya kembali. Menatap jendela kamar si kembar di seberang sana. Berharap ia akan melihat sekelebat bayangan Sena.
Sejak kecil ia mengenal si kembar, hanya Sena yang selalu membuatnya jengkel. Lain dengan Al yang selalu jadi anak baik, Sena adalah bocah badung sekaligus kambing hitam keluarga. Didikan ayahnya yang kejam membuatnya menjadi sosok pemberontak. Lain dengan Aldino yang makin introvert, Sena melampiaskan rasa amarah dan protesnya dengan mencari gara-gara di luar.
Sifat Sena yang meledak-ledak akhir ini banyak berkurang sejak ayahnya pergi dari rumah. Hanya saja, hubungan mereka menjadi aneh. Seperti ada tabir pembatas tidak kasat mata, membuat mereka berada di ujung jembatan yang berbeda.
Bukan berasal dari Sena, tapi dari dirinya sendiri. Ia tidak lagi bisa menatap wajah Sena tanpa harus menahan desiran yang menguat di lubuk hatinya. Ia tidak tahu kapan rasa itu mulai muncul. Perasaan ingin bergantung pada Sena sekaligus ingin melindunginya.
Raina masih mengingat kejadian dua tahun yang lalu. Di sore hari kelabu dengan hujan deras yang lebat.
***
Saat itu Sena masih SMP kelas sepuluh, dan ia di bangku SMA kelas sebelas. Raina mendapati Sena sedang berjalan hilir mudik di depan rumah saat ia baru pulang dari rapat OSIS. Cowok itu basah kuyup, tidak menghiraukan derasnya hujan yang seperti dicurahkan dengan kencang. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu.
"Hei, lagi ngapain?" tanya Raina penasaran. Ia menempatkan payungnya di atas Sena agar cowok itu tidak kehujanan lagi. "Nyariin barang ilang?"
"Duit kembalian SPP ku ilang," jawab Sena setengah panik. "Brengsek!Alamat bakal kena pukul Ayah lagi ntar."
"Pinjam duitku dulu aja." Raina masih memayungi dan mengikuti gerakan Sena.
"Nggak usah, ntar juga ketemu."
Uang itu pada akhirnya tidak pernah ditemukan dan Sena menerima hukuman ayahnya tanpa protes. Raina ikut merasa gusar saat itu. Ia bisa mendengar suara samar hukuman pukulan saat ia di teras rumah.
Ketika malam makin larut, Raina bersiap untuk tidur dan menutup gordyn jendela ketika menangkap bayangan Sena sedang duduk menyendiri di teras belakang rumahnya.
Jantungnya seketika terasa diremas kuat saat melihat punggung yang tampak sendirian di keremangan malam. Tanpa pikir ulang Raina melompat keluar jendela kamarnya dan segera menghampiri cowok itu.
"Hei, lagi sendirian?" Sena menoleh mengikuti arah suaranya.
Lampu teras yang kekuningan menerpa sisi wajah Sena yang sudah babak belur. Pelipis dan pipinya bengkak kebiruan membuat Raina tercekat dan menutup mulutnya dengan spontan.
"Ka--kamu nggak apa?" tanya Raina cemas.
"Lumayan, bisa nebus duit tiga puluh ribu yang ilang," jawab Sena masam.
"Aku ... punya obat kalo kamu mau." Raina berlutut di depan kursi Sena untuk melihat lebih dekat luka-luka itu. "Ini bahkan lebih parah dari semua hasil geludmu," lanjutnya mencoba untuk tenang.
"Nggak perlu, ibu sudah obatin lukaku." Senyum tipis tersungging di sudut mulut Sena, menerbitkan rasa pedih di dada Raina.
Tidak ada yang menyadari bagaimana usaha cowok ini mencari uang yang hilang itu. Tidak ada yang bisa membaca bagaimana paniknya dia ketika uang itu tidak juga ditemukan. Pun tidak ada yang mengerti tatapan pasrah menghadapi kemarahan ayahnya. Hanya Raina yang tahu. Mirisnya, ia sendiri tidak bisa banyak membantu meringankan masalah Sena.
"Syukur deh, kalo gitu." Raina bergeser dan duduk di samping Sena. Sena menatap balik ke arah cewek itu dalam keheningan malam. Tatapan lelah yang seolah sudah begitu menguasai terlalu dalam.
"Temenin aku bentar, ya?" pinta Sena lirih.
"Iya," Perasaan bersalah bercokol makin kuat dalam diri Raina. Ia tidak bisa berbuat banyak, kalau saat ini Sena ingin menemaninya tentu saja ia akan bersedia kapan pun cowok itu mau. "Lama juga nggak apa."
Sena tidak menjawab. Ia hanya membungkuk lalu mengistirahatkan kepalanya di pundak Raina. Hal itu di luar ekspektasinya. Kontak fisik mereka yang pertama di momen yang sedih. Raina mematung dengan mata mengerjap kaget. Tubuhnya membeku saat beban kepala Sena sepenuhnya tepat bersarang diantara lekukan leher dan pundak. Butuh beberapa saat untuknya bisa menerima debaran jantung yang mengencang.
Mereka bersandar di kursi panjang dalam hening. Sesekali terdengar suara jangkring, lalu suara kucing yang sedang menggulingkan bak sampah. Raina menatap langit malam yang merah tanpa bintang lalu berkata, "sayang banget, malam ini nggak ada bintang, ya Sen."
Sena tidak menjawab. Raina menunggu dan menunggu, tapi Sena tidak juga bersuara atau pun bergerak. Suara dengkuran samar terdengar di helaan napasnya.
"Sen, kamu tidur?" Digoyangnya tangan Sena yang terkulai lemas. Cowok itu ternyata tertidur di pundaknya. "Ealah, tidur," gerutu Raina, tapi ia tidak tega untuk membangunkan Sena. Belum. Raina membiarkan cowok itu mendengkur pelan di pundaknya, meski saat ini otot lehernya mulai pegal karena bobot kepala Sena. Anehnya, ia sangat menikmati momen itu.
***
"Rain?!"
Raina mengerjapkan mata setengah sadar. Sebuah bayangan seseorang ada di atasnya dan menggoyang lengannya. Sontak ia bangkit dan menghantam dagu seseorang di depannya.
DUG!
"Aduh! Rain! Liat dulu, dong!" Raina tersadar bahwa ternyata ia baru saja tertidur dan Sena entah bagaimana sudah di dalam kamarnya, membungkuk memegangi dagunya. "Udah malam, jendelanya kenapa masih bukaan, sih? Bahaya, tau!" omel Sena.
Raina menghela napas panjang, berusaha memulihkan disorientasinya. Ia sempat mengira, ia masih di teras belakang rumah Sena.
"Rain?! Nah, loh, jadi bengong, 'kan?! Makanya jangan tidur sore-sore." Alis Sena berkerut, tanda ia sedang jengkel.
"Iya, iya, aku denger."
"Ya, udah aku mau balik. Kunci jendelanya, ya?"
Raina mengawasi Sena yang melangkah menuju jendela. Kemudian ia teringat sesuatu.
"Oiya Sen, kamu kenal Om Arga?"
Cowok itu mematung lalu berbalik. Ekspresinya tampak malas. "Om Arga ke sini?" tanyanya balik.
"Kok, kamu nggak bilang dari kemarin klo kenal dia? Kenapa nggak bilang klo kalian masih sodara?" selidik Raina.
"Ya soalnya kamu dah negative thinking duluan soal mamamu yang lagi deket sama orang lain." Kalimat itu menohok Raina tepat di titik kejengkelannya.
"Ya, tapi itu namanya kamu dah bohong sama aku." Raina menatap tajam penuh emosi.
"Eits, tunggu dulu! Aku nggak pernah bohong sama kamu, loh ya! Aku cuma selektif ngasih info mana yang penting dan enggak," kelit Sena sengit.
"Jadi ngasih info tentang siapa Om Arya itu nggak penting?" todong Raina dengan nada meninggi.
"Tergantung, Rain." Sena tersenyum pahit." Emang ada gunanya aku ngasih tau tentang Om ku?"
"Ada!" bentak Raina.
"Apa?" tantang Sena sambil berkacak pinggang. "Supaya kamu punya bahan lebih untuk ngejelekin Om ku?"
***
Cuzz ke bab selanjutnya ya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top