RESAH

"Masih marah?" Aldino memecah keheningan saat mereka berjalan pelan menuju parkiran mobil.

Hari ini adalah giliran Raina yang jadi sopir mereka. Maka sudah bisa dipastikan, ketika giliran Raina tiba maka Aldino dan Sena harus mengosongkan perut mereka dulu supaya terhindar dari mabuk perjalanan. Bukan karena cewek itu payah dalam menyetir, tapi karena gaya menyetirnya yang terlalu nekad.

Menyangkut hubungan mereka dengan Raina, mereka lebih seperti hubungan sebuah keluarga daripada sekedar tetangga, saling menolong di saat saling membutuhkan. Dibalik sikap Raina yang cuek, bahkan ia tidak pernah keberatan mengantar dan menjemput adik bungsu si kembar.

Tante Rika---mamanya Raina yang juga wakasek di Tunas Bangsa--- terbiasa menitipkan anaknya pada keluarga si kembar di saat harus menghadiri seminar dan pelatihan di luar kota. Situasi macam ini akhirnya membuat mereka sering bersama hingga sekarang, bahkan kekompakan mereka sampai patungan untuk membeli mobil bekas untuk pergi ke sekolah. Aturannya adalah yang menjadi sopir hari itu dibebaskan dari biaya bensin.

Semua anak Tunas Bangsa menganggap mereka adalah pengawal Raina, si ratu hati yang kejam. Aldino sendiri heran, kenapa semua siswa di sekolah ini menganggap Raina sebagai cewek galak. Padahal kenyataannya, cewek itu nggak segalak yang mereka gosipkan.

Namun Aldino yakin bahwa aneka julukan galak itu muncul dari kejadian setahun yang lalu, di mana Raina pernah membuat seorang siswa dikeluarkan dari sekolah karena mengejek ibunya. Belum lagi ditambah dengan kejadian penggemar Sena yang melabrak Raina dan berakhir dengan pindah sekolah. Semua itu seolah menunjukkan bahwa bermasalah dengan Raina artinya sama dengan kemalangan.

Bukan salah Raina juga jika keadaan membuatnya lebih dekat dengan Sena. Karakter mereka saling melengkapi, jika dibandingkan dengan dirinya dan Raina yang sama-sama tipe pemikir. Seperti Sena yang ceroboh dan Raina yang perhitungan. Sena yang kekanakan dan Raina yang dewasa. Meski pada kenyataannya mereka selalu ramai dengan debat kecil, tapi selalu berakhir dengan tawa. Mata mereka selalu mewakili itu, dan saat momen itu datang Aldino hanya dianggap sebagai angin lalu.

Aldino mengamati Sena yang lebih pendiam daripada biasanya. Ia paham apa yang sedang berkecamuk di dalam hati kakak kembarnya saat ini. Secara tidak langsung, Raina telah membuat hati Sena remuk.

Sebuah sedan merah kuno, menunggu mereka. Raina mengeluarkan kepala dari jendela, memberi mereka isyarat untuk segera masuk ke mobil.

"Buruan, Gaes! Kita harus jemput Vita di penitipan!" serunya sambil memasang kacamata hitam.

Aldino menepuk keras punggung kakaknya lalu berlari mengambil tempat di jok depan.  Mobil pun berderu menunggu Sena menempatkan diri di kursi belakang dengan wajah mendung.

Setengah jam perjalanan, mulai dari menjemput Vita hinggai sampai di rumah, Sena sama sekali tidak bersuara. Hal itu tidak dirasakan oleh Aldino saja, tapi juga Raina. Cewek itu tertangkap oleh Aldino melirik beberapa kali ke arah Sena yang pura-pura sibuk dengan HP-nya.

Lima belas menit kemudian, setelah Raina memarkirkan mobil di garasi Bude Tanti, cewek itu pun pamit pulang sementara Vita sudah berlari masuk rumah dan meninggalkan Sena serta Aldino yang sedang melepaskan sepatu mereka di teras.

"Jangan lupa taruh seragam di bak cucian! Jangan dilempar sembarangan!" seru Sena dan dibalas dengan kata iya dari adiknya.
   
"Mending ngomong aja terus terang sama dia, daripada dipendem tar jadi bisul," celetuk Aldino dengan nada santai dan Sena membalasnya dengan mata melotot sambil melempar sepatunya ke pojokan.

"Jangan ikut campur kamu, ya?!" ancamnya dengan nada rendah.

"Vita disuruh rapi, tapi Kak Sena malah sembarangan lempar sepatu," protes Vita di ambang pintu. Gadis kecil itu tampak cemberut sambil menyimpan permen lolipop-nya di pipi kanan. Aldino menahan tawa saat Sena berbalik arah dengan wajah seram dan mengembalikan sepatunya ke rak di sampingnya. "Kak, Vita lapar," rengeknya kemudian.

"Bentar, aku gorengin ayamnya dulu," gerutu Sena sambil ngeluyur pergi ke dapur.

Sebentar kemudian, Sena sudah mulai menggoreng beberapa ayam untuk makan siang yang sedikit terlambat. Aldino muncul dan membantu menyiapkan piring dan nasi.

Avisena sedang malas membahas soal kejadian tadi pagi, tapi ia tahu Aldino bakal tetap mengungkit soal yang tadi. Pada dasarnya Aldino mempunyai tingkat kekepoan yang tinggi dibalik wajahnya yang dingin dan tenang.

"Ayo, ngebahas---"

"Iya, udah ngerti, kamu," potong Sena dengan helaan napas panjang. "pengen ngebahas Diva, 'kan?"

Aldino tersenyum lebar.

***

Raina berjalan tergesa kembali ke rumah si kembar setelah menyadari HP-nya ketinggalan di dashboard mobil tadi. Setelah mengganti seragam dengan kaos V-neck berwarna kuning pastel dan celana pendek khaki, ia segera menuju ke sini.

Beruntung pintu mobil belum sempat ia kunci, jadi ia bisa langsung mengambilnya tanpa merepotkan Sena ataupun Aldino. Setelah mendapatkan benda yang ia cari, Raina menutup pintu mobil dan mencium aroma menggoda dari ayam goreng.

Ia menebak pasti tiga bersaudara itu sedang makan siang. Sesuatu menyuruhnya untuk mengikuti aroma wangi rempah itu dan Raina tidak tahan untuk menolak. Suara desis penggorengan makin membuat aroma lezat tadi menguat. Raina berhenti di samping jendela dapur dan mengintip Sena yang berkaos hitam sedang memasukkan beberapa potongan ayam ke dalam minyak panas.

Air liur langsung terbit dan mengajak perut Raina bernyanyi dalam lagu tema kelaparan. Ia berpikir siang ini ia akan makan di rumah Sena saja daripada makan sendiri di rumah yang sepi.

"Kamu dah baca suratnya Diva blom?" suara Aldino muncul diantara suara minyak yang meletup itu.

"Sudah," jawab Sena sambil mengiris mentimun.

"Isinya apa, Sen?" Aldino tampak antusias. Jantung Raina mulai berdebar kencang ikut menunggu reaksi Sena. "Bener, 'kan selama ini Diva suka kamu?" lanjutnya.

Sena hanya menggumam dan tersenyum tipis sementara Al tertawa senang. Raina ingin pergi dari tempat ini, tapi kakinya seolah tertanam ke dalam tanah tempatnya berpijak. Mendadak ia bingung dengan  perasaannya sendiri. Antara ingin tahu tapi juga terasa meremas perasaannya.

"Oke! Jadi ntar mau kamu jawab apa?" Aldino mendekati Sena dengan ekspresi penasaran yang tidak ditutupi lagi.

"Positif," jawab Sena singkat. Raina gemetaran mendengar jawaban itu. Sesuatu tak kasat mata seolah masuk dan menusuk dadanya dengan sangat pelan. Tanpa sadar ia memegangi dadanya begitu jantungnya berdetak dengan liar di dalam sana.

"Serius?" Aldino pun tampak terkejut. "Bukannya kamu suka sama satunya?" lanjut cowok berambut ikal gelap itu.

Raina mencoba menerjemahkan ucapan Aldino dalam otaknya. Ternyata ada cewek yang di sukai Sena diam-diam?! Raina berusaha mengingat siapa, merasakan sengatan kecewa saat mencari alasan kenapa Sena tidak memberitahunya.

"Maksud kamu Rain?"

Dan waktu seolah berhenti untuk sekian detik. Pertanyaan Sena tersebut membawa suatu gelombang yang merusak keseimbangan Raina. Terpekur kaku oleh serangan shock, tidak mampu lagi menikmati aroma ayam goreng yang tadi begitu menggoda.

Sena tadi menyebut namanya! Raina bertanya-tanya di tengah pergolakan  hatinya, bagaimana bisa semua ini terjadi? Emosi-emosi yang rancu saling tumpang tindih, sampai-sampai ia sendiri tidak bisa membaca bagaimana perasaannya saat ini. Ragu tapi juga senang.

Gadis itu berbalik perlahan dan berjalan setengah sadar kembali ke halaman rumahnya. Ia tidak lagi selera untuk makan siang. Ia butuh waktu sendiri saat ini untuk menyaring dan mengenali perasaannya sendiri. Perasaan seperti apa yang ia berikan pada Sena selama ini.

***
Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top