Rahasia Om Arya

Sena sedang mencoba menghidupkan mobil untuk kesekian kalinya, tapi tetap aja gagal. Diva mulai geram dengan situasi ini. Inilah akibatnya kalau memaksa datang ke acara ulang tahun Sena. Lengkap sudah kesialannya hari ini.

"Ayo, dong! Nyala!" keluh Sena saat memutar kunci kontak mobil. Namun hasilnya nihil.

"Belom bisa?" tanya Diva. Sejak awal ia sudah khawatir mobil tua ini bakal mogok. Benar saja firasatnya, mesin mobil Sena tidak mau menyala di saat ia harus segera pulang.

Beberapa saat yang lalu ia sudah ijin pada orang tuanya tentang kemungkinan terlambat pulang, tapi ia membiarkan Sena berjuang menghidupkan mobil dalam kepanikan.

"Div, aq panggilin ojek aja, ya?" tawar Sena.

Diva sudah menebak solusi ini, tapi ia lebih memilih melihat Sena kepayahan dari pada cepat-cepat pulang. Setidaknya sakit hati Diva karena Sena sering mencuri pandang ke arah Raina sedikit terbalaskan.

Kata-kata ibunya Sena tentang ciuman makin menguatkan kecurigaannya. Ia yakin ada hubungan antara Sena dan Kak Raina di balik kedok sahabat itu. Untuk kali ini, Diva merasa harus berusaha untuk mempertahankan Sena menjadi pacarnya. Jika menyangkut cewek sombong bernama Raina, ia tidak akan tinggal diam.

"Biar Om yang antar Diva aja, gimana? Ntar keburu malam, loh." Om Arga melongok ke dalam jendela mobil.

"Nggak ngerepotin, Om?" tanya Sena dengan nada lega.

"Nggak apa. Rumah Diva daerah Kertajaya, 'kan?"

"Iya," jawab Diva ragu.

"Oke, tunjukin blok-nya aja."

"Mending kamu pulang sama Om Arga aja, biar nggak telat nyampe rumah." Sena membukakan pintu depan.

"Oke, deh kalo gitu aku pulang dulu." Diva bergerak mencondongkan wajah ke depan hendak mencium pipi kiri Sena tapi cowok itu langsung mundur dan menahannya untuk tetap menjauh.

Diva merasakan penolakan Sena, bukan karena malu tapi karena cowok ini seperti enggan dekat dengannya. Diva menatap mata Sena sekilas, berharap cowok itu benar-benar suka padanya. Sudah hampir sebulan, tapi Sena masih saja menjauh.

Kekecewaan makin menguat malam ini. Ia menyesal datang ke rumah Sena  hanya untuk mengetahui ada yang tidak beres antara Kak Raina dan Sena. Dengan berlagak santai, ia masuk ke dalam mobil.

"Oke, selamat malam Sena," pamit Diva lirih. Sena melambai singkat dan berbalik pergi. Kembali pada kotak mesin yang tidak berguna itu.

Selama perjalanan, Om Arya mengajaknya ngobrol, mengusir suasana canggung di dalam mobil. Diva tidak menduga ternyata pria yang di sebelahnya saat ini adalah calon suami dari bu Rika, mama Raina sekaligus wakil kepala sekolah SMA Tunas Bangsa.

Om Arya sangat ramah selama perjalanan. Ia mempersilahkan Raina memilih lagu di player mobil. Rasanya tidak heran kalo bu Rika sampai bucin dengan pria ini.

"Udah jadian berapa lama?" goda pria itu. Diva tahu maksud pertanyaan itu, ia hanya tidak menyangka Om Arya bisa menebaknya dengan akurat. Ia pun terkekeh.

"Kok, Om bisa tau?"

"Tau, lah. 'Kan, pernah remaja juga," jawabnya santai. "Jadi, kalian dah jalan lama?"

"Baru tiga minggu." Om Arya mengangguk-angguk. "Diva yang nembak duluan?"

Diva terkejut mendengarnya. Sesaat ia tidak bisa menjawab dan hanya melongo. Otaknya berputar mencari penjelasan bagaimana Om Arya bisa menebak dengan benar.

"Bisa jadi." Diva melempar pandangan ke kaca jendela. Rintik gerimis jatuh di kaca depan membuat pemandangan di luar mengabur. "Jangan-jangan Sena yang cerita, ya?!"

"Cuma mengamati aja. Kamu---"
Bunyi panggilan HP menghentikan kalimat Om Arga. Pria itu menerima telepon dengan mode loud. "Tunggu sebentar ya, Nik. Saya pulang terlambat."

"Pak, Nyonya kabur lagi. Saya cari---" Om Arga langsung mematikan menu loud speaker dengan wajah tegang.

"Sudah kamu cari di sekitar perum?" tanyanya. "Nanti saya cari di toko-toko terdekat. Sementara jaga rumah dulu, siapa tau dia pulang sendiri."

Diva tidak sadar terus mengamati pria itu. Mimik Om Arga langsung berubah tegang. Perempuan di sambungan telepon tadi menyebut nama nyonya dengan nada panik. Kelihatannya ibu dari Om Arga masih hidup dan menderita pikun sampai-sampai keluar rumah dan tersesat.

"Om nggak cari dulu ibunya? Ini sudah malam." Om Arya menatapnya setengah linglung.

"Oh, ehm ..., tapi kamu nggak apa?"

"Nggak apa. Sebenernya aku tadi udah telpon papa kalo mobil Sena mogok. Jadi kalo terlambat sebentar, kayaknya nggak apa, sih." Diva mengangkat bahu.

"Oke, kalo gitu kita mampir bentar, ya? Kayaknya Om tau tempat kesukaannya." Om Arya mengambil sisi lain jalan dan keluar dari rute rumah Diva yang tinggal 500 meter lagi.

Diva mengangguk dalam diam. Ia jadi ikut tegang melihat Om Arya yang tiba-tiba jadi pendiam.  Ia cuma berharap malam ini tidak tertimpa sial lagi.

Rasanya sudah cukup kecewa menyadari Kak Raina yang dikenal dewasa dan cerdas selama menjadi ketua OSIS, ternyata cewek munafik. Diva menyandarkan siku dan mengepalkan tangan di pangkuan, menahan bara api kemarahan yang makin panas.

Tidak sampai dua puluh menit kemudian, Om Arya menurunkan kecepatan mobil. Mereka berhenti di sebuah mini market dengan sepetak kedai kopi di terasnya. Pria itu keluar tanpa pamit. Melangkah dengan kaki lebar, masuk ke dalam.

Diva mencondongkan badan ke kaca depan mobil, mengikuti gerak gerik Om Arya. Kemudian suara HP-nya berbunyi. Dengan panik is segera mengeluarkan benda itu dari tas selempangnya.

Ternyata sebuah panggilan dari Kevin. Diva menghela napas lega karena ia mengira papanya yang tengah menghubungi.

"Ada apa?"

"Belum pulang?"

"Iya, aku lagi diantar Om-nya Sena. Skrg masih mampir di mini market."

"Mini market?" Kevin membeo dengan nada terkejut. "Eh, masa bodoh sama mini market. Gimana acaranya?"

"Nyebelin!" jawab Diva kasar. Emosinya meluap lagi. "Nyebelin banget tuh, si Raina."

"Ada apa sama si ketos kita?"

"Eneg banget liat mukanya! Tau nggak sih, Kev? Dia itu diem-diem jablay!" Pertanyaan Kevin benar-benar telah mengorek luka yang sedari tadi berusaha ia pendam rapi. Diva membiarkan kalimat kasar dan sumpah serapahnya keluar di dalam mobil yang sepi itu.

Kevin mengomentarinya sambil beristighfar berkali-kali mendengar cerita dan hujatannya untuk Raina.

"Masa, sih Kak Raina yang kita kenal serius itu ternyata munafik?"

Diva hampir saja akan melanjutkan curhatannya saat melihat bayangan Om Arya keluar dari toko itu. "Eh, Om-nya Sena datang, Kev."

"Ya gapapa lagi, ganti topik aja daripada dia denger kamu nyumpahin orang, bisa pingsan dia." Kevin tergelak keras di sambungan telepon. "Nggak tau aja kalo Diva dah marah, kelakuan kayak titisan setan."

"Papa aku setan, dong?! Yang bener aja!" gerutu Diva sambil mencari sosok Om Arya di luar sana.

"Sensi banget sih, hari ini."

Konsentrasi mendengarkan celotehan Kevin menjadi bubar ketika akhirnya ia menangkap pemandangan Om Arya sedang berjalan keluar mini market dan merangkul seorang wanita cantik. "Eh, gila! Kirain Om-nya Sena jemput ibunya yang sakit pikun," ucapnya dengan terperanjat di kursi jok tersebut.

"Ada apaan?" Kevin terdengar bingung.

"Aku sendiri juga bingung, Kev. Calon suaminya Bu Rika---"

"Hah? Bu Rika wakasek kita?! Gimana ceritanya?" potong Kevin dengan nada meninggi.

"Jadi Sena itu punya sodara, namanya Om Arya. Dia calon suaminya Bu Rika."

"Oh, kirain apa," gerutu Kevin.

"Dia ngajak aku mampir untuk jemput perempuan cantik, Kev! Itu masalahnya!"

"Adeknya kali. Jangan suudzon dulu. Dosa."

"Aissshh! Mulai lagi ceramahnya," gerutu Diva sebal. Saat ini ia sedang benar-benar malas mendengarkan nasehat Kevin. "Udah, ntar lanjut lagi!" Dimatikannya HP begitu Om Arya dan perempuan itu sudah dekat.

Diva benar-benar penasaran siapa perempuan ini. Dari dekat ia bisa melihat wanita itu berumur tidak jauh beda dengan om-nya Sena. Rambut yang diikat asal-asalan dan mengenakan piyama biru muda, memperlihatkan bahwa perempuan itu keluar rumah tanpa persiapan.

***







   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top