Kemarahan

"Dia pembantu kita yang baru, ya?" tanya wanita itu setelah perjalanan lima belas menit penuh kebisuan.

"Bukan, Mel," jawab Om Arya datar. "Ooya, tolong lain kali kalo mau keluar jalan-jalan ajak Ninik sekalian." Wanita yang dipanggil Mel tadi langsung cemberut seperti anak kecil. "Ini sudah malam, 'kan bahaya kalo keluar jauh sendirian."

"Nggak suka aku! Ninik cerewet. Nggak boleh ini, nggak boleh itu!"

Diva baru sadar ada yang aneh dengan wanita yang saat ini sedang duduk di jok belakang. Perilakunya seperti anak kecil yang lugu, padahal umurnya sudah sangat matang. Rasa ingin tahu mulai menggelitik makin kencang. Ia yakin wanita itu bukan adik Om Arya, karena wajah mereka tidak mirip sama sekali.

"Itu karena dia peduli sama kamu," sahut pria itu dengan tenang.

"Aku cuma pingin kinderjoy," celetuknya lalu menguap lebar. "Bangunin aku kalo sudah sampe rumah, ya?" lanjutnya seraya bersandar lebih dalam dan memejamkan mata.

"Oke, Bu Bos," kata Om Arya datar.

Diva makin gelisah. Ia ingin sekali bertanya pada Om Arya, tapi bingung untuk memulai. Hingga akhirnya,

"Sodaranya, ya, Om?" tanya Diva setelah mobil mulai memasuki gerbang perumahan menuju Diva. Hujan mulai deras memukuli kaca depan mobil, suara wiper yang monoton mulai membuat matanya berat.

Pria itu terdiam dan menoleh sebentar ke arahnya lalu kembali menghadap ke jalanan lengang. "Bukan, sebenarnya dia istri, Om."

Mendengar itu Diva terpekur, rasa kantuk hilang dalam sekejab. Ia mengerjapkan mata tak percaya,

"Jadi sebenarnya Om sudah punya istri?"

***

Diva bergegas menutup pintu kamar, tak menghiraukan rentetan interogasi ayahnya di ruang tengah. Pikirannya bekerja dengan tenaga penuh saat ini. Gelombang ide yang akan sangat bagus untuk membuat Raina hancur.

Tiba-tiba saja hatinya gembira. Diva duduk bersila di tengah hamparan bed covernya yang berenda. Tersenyum lebar dengan tatapan menerawang. Usai sudah kekecewaannya hari ini dan di tutup oleh sebuah cerita rahasia yang akan menggoncang seisi SMA Tunas Bangsa.

Rasanya sakit melihat bagaimana cewek itu selalu membuat sorot mata Sena menjadi sendu. Tidak satu pun tatapan memuji dari Sena atas penampilannya hari ini. Padahal ia berjibaku memilih pasangan baju yang paling cocok untuk acara malam ini. Namun ia akan membuat perlakuan buruk yang mereka timpakan padanya terbayar dengan lunas.

"Kev? Belum tidur?" sapa Diva lewat panggilan Whatsapp.

"Belom, nungguin lanjutan cerita sinetron "Diva Dicuekin Pacar". Seru nih, kayaknya," jawab Kevin.

"Aku punya yang lebih seru." Diva tergelak.

"Ayo, dong! Cerita!" rengek Kevin tidak sabar.

"Besok aku pastiin cewek itu nyesel sekolah di Tunas Bangsa."

"Siapa? Maksudnya Kak Raina?" tanya Kevin bingung, "Eh, kamu kenapa tiba-tiba jadi sentimen ama dia? Bukannya waktu itu dia malah bantuin kamu nyampein surat ke Sena?"

"Itu semua bohong! Dia itu makhluk paling munafik yang pernah aku kenal. Pura-pura baik aja."

"Yakin?"

"Masa kamu ngeraguin aku?!" hardik Diva kasar. "Ya iyalah! Aku lihat sendiri gimana mereka saling lirik. Dia meluk Sena, Kev!"

"Ya ampun! Kok, ceritanya berat gini, ya?"

"Liat aja! Bakal aku bales sampe dia kapok! Dia ngerasa jadi juara di sekolah? Belom tau kalo aku sebarin berita ini dan dia bakal jadi pecundang di sekolah."

"A--apa nggak terlalu sadis caranya?" Kevin terdengar cemas. Diva tersenyum sinis membayangkan kehebohan yang akan ia ciptakan.

"Sekali aja, buat selamanya. Antara Sena dan Diva bakal pecah. Nggak masalah sesadis apa untuk kasih pelajaran ke cewek itu. Bayarannya cukup setimpal karena udah bikin aku malu."

"Duh, aku jadi inget kejadian junior cheer yang kamu tekan biar out waktu itu." Kevin mendengkus pendek. "Ya udah, aku bisa bantu apa?" tanyanya kemudian dengan nada pasrah.

***

Raina masih berusaha mengetik meski matanya mulai berair karena sudah kelima kalinya ia menguap. Ia sedang mempersiapkan pidato perpisahan pada upacara pergantian susunan OSIS  lusa.

Bunyi hujan di luar sana seperti mendukungnya untuk segera tidur. Ia melirik pada jam weker di atas nakas. Sudah hampir jam sebelas malam. Ia pun memutuskan untuk mematikan laptop-nya dan segera pergi tidur karena rasanya tidak ada gunanya saat otaknya sudah protes ingin istirahat.

Dimatikannya lampu kamar lalu bergelung di bawah selimut bed cover menikmati kehangatannya. Lagi-lagi ia memikirkan Sena. Hanya sekejab nama itu muncul dalam ingatan, namun Raina segera menepisnya dengan menggerutu,

"Cuma orang bego yang ngarep dia bakal ngejar kamu terus. Lupain, oke?!Perasaannya nggak segede itu, Go---"

Bunyi jendela yang diketuk membuat matanya terbelalak waspada. Ketukan di kaca itu terdengar lagi. Firasatnya mengatakan doanya telah terjawab. Dengan bergegas, Raina menyingkap tirai jendela.

Ternyata tidak ada siapa-siapa. Rasa kecewa membuatnya sesak. Logikanya makin penasaran dari mana asal bunyi tadi. Ia pun membuka jendela dan mencondongkan setengah badannya keluar, membuat percikan hujan yang dingin menerpa wajahnya.

Tak sengaja saat ia menunduk menutupi wajahnya dari air hujan, ia melihat seseorang sedang meringkuk tepat di bawah jendelanya. Raina terkesiap hampir menjerit ketakutan ketika seseorang itu mengangkat kepala dan memperlihatkan wajahnya di keremangan malam.

"Sena! Ngapain kamu jongkok di sini?!" bentak Raina dengan nada tinggi. "Buset! Aku hampir teriak maling tadi, tau?!" lanjutnya jengkel.

Avisena bangkit dengan wajah malu. Sorotnya tampak sendu ditambah dengan kondisi basah kuyup yang makin membuatnya tampak menyedihkan.

"Kamu abis ujan-ujan?!" Raina keheranan dengan Sena yang sudah pucat dan basah kuyup seperti baru saja tercelup ke kolam. Tubuhnya menggigil kedinginan seraya berusaha tersenyum.

"Bisa dibilang gitu."

"Mending kamu pulang, deh, Sen. Daripada ntar masuk angin."

Sena menggeleng lalu menunduk. Masih berdiri mematung di depan jendela Raina.

"Sen?" Ia memanggil Sena setelah cowok itu hanya diam membisu.

"Apa segampang itu kamu lupain aku?" tanyanya memecah keheningan di antara mereka.

Hati Raina mencelos perih. Sebuah pertanyaan sama yang kerap ia tanyakan pada Sena namun hanya berani ia teriakkan dalam hati. Jantungnya berdetak dengan cepat saat ia menyadari bahwa mereka pada kenyataannya sama-sama merasakan hal ini.

"Menurutmu?"

"Aku nggak tau, Rain. Sekarang tirai jendelamu selalu tertutup, kayaknya gampang banget kamu lupain aku, ya?"

"Emang aku harus gimana?! Ada buat kamu sementara kamu punya Diva?" Emosi Raina meledak setelah kalimat Sena yang menusuk itu. "Menurut kamu adil? Setauku, itu nggak adil buat aku? Jangan serakah, dong, Sen!"

"Aku nggak tau, Rain! Aku juga nggak tau harus gimana? Setengah jam aku di luar jendelamu bingung mau nyampein sesuatu yang bukan hakku."

"Plis jangan bikin ini makin rumit, Sen. Kamu nggak tau---"

"Aku kangen kamu," potong Sena sendu. Suara hujan mereda, menyisakan gerimis lembut dan angin malam yang membekukan tulang. "Tiga minggu kamu ngehindar terus dari aku, Rain. Mana mungkin aku nggak kangen candaan kita, obrolan kita."

"Mau kamu apa, sih, Sen? Tadi kamu anggap aku nggak pernah ada, terus sekarang kamu bilang kangen?!" protes Raina dengan nada bergetar.

"Yang aku tau, aku capek nahan perasaan. Aku capek pura-pura kita nggak ada masalah, Rain."

"Kita?! Aku nggak punya masalah sama kamu. Kamu yang bermasalah sama aku."

"Bohong! Kamu marah karena aku bertahan dengan Diva sampe sekarang," bantah Sena cepat. Raina terdiam sejenak, sebuah kalimat yang menohok perasaan. Iya tidak marah pada Sena, tapi tetap saja rasa kecewa itu ada.

"Salah! Aku nggak marah. Itu pilihanmu, aku nggak pernah maksa kamu untuk putusin Diva. Ingat, 'kan?"

"Dan nggak tau kenapa, aku bertahan dengan Diva karena aku berharap kamu cemburu," aku Sena dalam senyuman masam.

"Jadi gitu? Jahat banget kamu!" hardik Raina. "Kalo kamu pikir caramu berhasil, kamu salah." Raina melanjutkan dengan nada kasar.

Sena diam tidak menanggapi. Ia mengusap kepala dan lalu mengangkat bahu dengan cueknya. "Kalo saja tadi sore nggak ada Diva pasti sudah aku peluk kamu lama," bisiknya lembut.

"Nggak usah ngarep." Sena tergelak lebih keras dari yang seharusnya. Sebuah tawa pahit, seolah ia bisa melihat dengan dalam apa yang ada di balik sorot marah Raina saat ini.

"Oh, aku nggak berharap, tapi bakal aku buktiin karena aku sudah tau jawabannya."

"Jawaban apa?" tanya Raina. Hatinya jadi penasaran. Ia berharap Sena tidak bisa membaca ekspresinya sesaat yang lalu. Sena berpaling dan melangkah pergi tanpa memberikan jawaban. "Sena?! Jawab!" Namun punggungnya telah hilang di balik temaram malam.

***









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top