December

December

Idealnya hari Minggu.

Para pelajar pun menghabiskan akhir pekannya seperti bersantai dengan kebebasan masing-masing. Seperti tiga sejoli yang menghabiskan waktunya di pantai saat ini.

Andela dengan piawai mengeringkan surai basah Ace menggunakan handuk berukuran sedang yang mereka bawa. Ace mengerucutkan bibirnya, sementara Deuce sudah ikut mendaratkan diri di sisi Andela dan menyuap potongan kue coklat buatan Trey untuk mereka.

"Curang sekali," Ace berucap tak masuk akal,

"Apanya yang curang si, kak?" Andela menimpali, masih dengan menggunakan handuk untuk mengeringkan surai teracotta Ace sejoli pemudanya,

"Tidakkah kau sadar, bahwa langit sudah berubah warna semenjak kita datang tadi pagi?"

Telunjuk Ace menunjuk pada baskara dimana langit telah berubah warna menjadi madu. Batas cakrawala di ujung pantai nampak begitu jelas dengan debur ombak yang memecah karang.

Deuce meneguk air mineral. Pandangannya tertunduk, membuat semua surai poni navy-nya menghalangi jarak pandang.

Anila memainkan masing-masing surai yang berbeda warna, mengirimkan semua emosi yang tertahan dalam sukma, menumbuhkan perasaan sendu dalam setiap detik yang mereka lalui. Andela menghembuskan napas berat, dalam buana cermin yang membuat perasaanya tercampur bak cat warna yang memberikan semua harsa dan lara dalam setiap harinya.

Ace Trappola dan Deuce Spade harus menahan baik-baik semua perasaan yang memaksakan mereka untuk diam. Tidak melakukan apapun sampai semua emosi terkumpul di mata membentuk sebuah muara yang terus mengalir tanpa sadar,

"Waktu kita telah habis, ya Del?"

Deuce berkata, pergelangannya merangkul pundak seorang gadis yang duduk di tengah-tengah mereka. Pemuda yang selalu melindunginya, pemuda yang selalu mengkhawatirkannya, pemuda yang selalu menemaninya itu kini mempertemukan keningnya pada sisi kepala sang gadis yang telah tertunduk menyembunyikan air mata,

Ace mendengar sebuah seguk yang datang dari arah kedua temannya.

"Mulai besok... semua lembar baru akan ditulis kembali."

Ace menyambung. Melakukan hal yang sama dengan Deuce. Pemuda bersurai jauh lebih terang itu merangkul tangannya di atas pergelangan Deuce pada punggung kecil yang sama. Pemuda yang jauh lebih santai ketimbang Deuce, pemuda yang selalu menghiburnya saat gundah melanda, pemuda yang tidak segan melakukan hal yang menurutnya benar untuk membela Andela, kini tengah mempertemukan dahinya pada sisi kepala hitam lain.

"Esok tiba waktunya, bagi figur seorang pelipur lara akan menghilang."

"Saat rembulan menghias langit malam dengan gemintang, sebagian dari jiwa kami akan kembali pada dunianya."

Apalagi yang bisa membuat Andela hancur ketika mengingat bahwa hari ini terakhir ia bisa merasakan sebuah perhatian dari dua pemuda yang menerimanya lebih awal?

Anila mengirimkan suara tangisan dalam balutan senja yang menunggu waktu untuk matahari terbenam. Hingga dalam jarak yang begitu dekat, Ace dan Deuce bisa dengan jelas mengendus arumi hujan yang datang dari tubuh teman perempuannya.

Sebuah arumi yang mengingatkan mereka pada banyak kejadian konyol, hingga kejadian yang pantas diingat dalam memori masing-masing yang kelak akan terputar dalam film hitam putih saat kesenderian memaksa mereka mengingat sesosok yang selalunya menjadi penengah.

Andela kehilangan kata-kata.

Adeuce mulai merasakan sebuah usapan pada pucuk kepala,

"Terima kasih sudah menerimaku, kak. Terima kasih banyak. Terima kasih banyak, aku mencintai kalian."

Camaraderie

Tidak ada yang benar-benar membuat anak perempuan itu ketakutan.

Kecuali saat pada hari keempat, saat pagi masih menggiring payoda tipis bertiup ke arah Timur. Hari Sabtu, tidak ada kelas. Ia hanya ingin mengunjungi mentor tercinta yang masih sakit.

Entah apa yang membuatnya jatuh sakit, namun kondisi Vil belum mengalami kemajuan sama sekali. Ceruleannya mulai bermuara saat menemukan sosok mentor yang tergeletak tidak berdaya di atas lantai beralaskan karpet beludru,

Satu kalimat terucap dengan intonasi panik yang sama sekali gagal disembunyikan,

"Kakak!!"

Namun pada akhirnya, iris cerulean yang bermuara itu menemukan sisa potongan dari buah peach yang dimakan oleh Vil. Pemberiannya. Berarti Vil sempat bangun kan?

Vil benar-benar sakit, penyebab terkuatnya adalah Andela.

Sang ratu masih menutup diri dalam kamar. Sejak baskara mulai merangkak naik, hingga rembulan bangkit untuk berganti tugas. Hal tersebut membuat pupil perempuannya merasakan sesak dalam dada. Dersik memainkan surai malamnya saat meyakinkan diri berjalan menuju lorong Pomefiore seorang diri tanpa punggawa-punggawa asrama yang dikunjunginya.

Begitu gelap, menandakan bahwa kepala asramanya masih berada dalam sakit.

Bisikan yang selalu merendahkan dirinya, kecaman yang dilayangkan dengan tujuan untuk menyalahkannya, sama sekali tidak diindahkan oleh Andela. Mengetuk pintu kamar yang dua kali lebih besar darinya, Andela memberanikan diri masuk saat sahutan pelan datang dari dalam kamar, tempat Vil beristirahat.

Betapa bahagianya hati sang gadis mengetahui bahwa mentornya telah mampu untuk berdiri, memandang ke arah luar jendela di bawah sinar violet yang menggores nabastala,

"Kakak..., kakak sudah sehat?"

Sang ratu tersenyum, walau masih nampak terlihat pucat, setidaknya Andela yakin bahwa mentornya telah jauh lebih baik,

"Kemarilah...," ia mengajak, mulai mendudukkan daksa pada karpet beludru sambil menepuk tempat yang kosong di sisinya, "Ceritakan harimu..."

Perhatian yang selalu diberikan oleh Vil dengan keras atau lembutnya, sungguh tidak mampu ia jabarkan dengan baik harus dengan rasa syukur apa gadis itu mengungkapkannya.

Hanya satu yang gadis itu mau, untuk kesehatan dan kebahagiaan sang ratu dalam sepanjang hidupnya, hanya itu.

Surai hitam seluas langit malam Andela selalunya halus, Vil bisa dengan mudah menyisir walau dengan jari. Terkepang rapih pada tengah-tengah, Vil ikut tersenyum begitu kepangannya selesai dan gadisnya memekik senang sebab memiliki gaya surai yang sama dengan sang guru.

"Ada... hal baru yang kudapatkan."

"Hal baru apa, kak?"

Vil menutup kelopak, menyembunyikan kelereng bening miliknya dibarengi menarik napas dalam dan menghembuskannya gusar membuat uap sedikit keluar dari mulutnya,

"Kau tahu, aku tidak mempercayai makhluk laut?"

Oh tidak.

Apabila ini menandai bahwa Vil akan memutus hubungan antara murid dengan mentor secara sepihak, Andela tidak bisa berbuat apapun selain menerimanya. Terlebih, esok sore adalah hari terakhir sang gadis kembali dalam dunianya.

Tentu, ada rasa senang begitu ia tahu, ia akan kembali. Namun tidak menutup rasa pilu dalam batin apabila benar setiap harapan yang dikayuh setiap malam, benar membawanya sampai pada tempat tujuan,

"Kau mencintai dia, aku tahu itu."

"Namun aku tidak akan ada di sini, kak..."

"Aku mengajarimu untuk public speaking, bukan memotong perkataan orang lain, Andela." Vil berucap ketus. Irisnya menukik tajam tepat ke pada iris biru yang masih menatapnya lurus-lurus.

Tak lama, Andela menunduk mengucap maaf hingga Vil dapat mendengar sebuah kampa yang begitu jelas datang dari mulut pupilnya,

"Aku adalah kakakmu. Aku mentormu, aku gurumu, aku orang tuamu di sini..., Namun aku tetap tidak bisa memerintah hatimu untuk selalu mengikuti kehendakku, dear. Angkat kepalamu."

Menurut, sebab masih mendengar suara mentor dengan napas yang pendek, Andela mengangkat kepala. Entah kenapa, Andela tahu jika Vil itu memang seorang entertaiment yang nyaris tidak punya waktu untuk bersantai. Syukur-syukur Vil mau menjadi mentor untuknya. Dan jikalau pada titik tersibuk pun, Vil normalnya tidak pernah ambruk.

Andela salah bicara malam itu. Ia mengungkit-ungkit tentang kepulangan dan beberapa hal yang membuat Vil tenggelam sendiri dalam pikirannya lalu membuat imun sang mentor menurun drastis hingga benar-benar jatuh,

"Kak... Kehadiranku malah membuat kakak semakin sulit ya?"

"Mulut siapa yang mengatakannya?"

Tidak...,

Andela tidak mau memberitahu kenyataan yang bisa saja membuat mentornya semakin sulit menemukan jalan untuk sehat. Bukan hanya pihak Pomefiore yang menyalahkannya, namun nyaris keseluruhan asrama yang bertemu dengannya dalam kampus atau saat sang gadis berkunjung ke asrama-asrama yang ada, hanya satu maksud yang Andela tangkap dengan satu kesamaan,

'Menjijikan. Untuk apa seorang yang tidak mampu memakai sihir, masih dipertahankan?'

"Andela."

"Hadir, kak..."

"Ragamu hadir, namun pikiranmu tidak untukku. Kau kemana?"

Kembali tertunduk, gadis bermanik biru tersebut menggumamkan kalimat maaf yang bisa Vil dengar dengan jelas. Jika boleh jujur, Vil sungguh muak dengan satu kalimat tersebut yang terus-terusan menembus gendang telinganya, yang terus keluar dari bibir ceri itu.

Menghela napas tak lupa memberikan senyum terbaik, Vil menggunakan telunjuk untuk memaksa pupilnya beradu pandang,

"Aku tahu, dia memberimu sebuah hadiah istimewa selain sebuah mutiara."

Andela membisu,

"Sebuah kontrak emas yang belum sempat kau pakai hingga kau hampir kembali."

Vil memasang raut wajah penuh kekecewaan setelah menarik tangan dari dagu pupilnya. Menghembuskan angin yang mengirimkan nestapa bagi Andela yang bisa membaca raut wajah sang mentor,

"Egois.... Kau harusnya menggunakan itu untuk dirimu sendiri. Sebenarnya, apa tujuanmu menggunakan kontrakmu untuk kebahagiaanku kelak, apa maksudmu, Andela? Apa tujuanmu?"

"Aku sudah bilang pada kak Azul untuk tidak memberitahu hal ini padamu..."

"Bukan dia yang memberitahuku."

Sebuah tanya tanda tersirat dari raut Andela,

"Mentormu dalam memanah. Jelas, kau tahu alasannya bukan?"

Andela terhenyak,

"Baik...." ucap si gadis, "Aku memang menggunakannya. Untuk sebuah nama yang benar aku cintai-

"Kau mencintai semua yang menerimamu di sini...."

Lagi, Andela dibuat membisu,

"Hubungi Azul, minta padanya untuk menghancurkan kontrak itu."

"Nanti-

"Di depanku, Andela."

Andela menelan saliva dengan berat,

Beruntung seniornya-Cater Diamond-hanya menghapus beberapa akun sosial medianya, tidak dengan kontak dalam ponselnya. Andela yang meminta hal tersebut memang, ia benar-benar ingin menghilangkan semua bukti bahwa ia pernah hidup anantara para pemuda calon penyihir hebat.

"Wel...?"

Andela tersentak mendengar suaranya. Hatinya menggigil, pikirannya menguap. Dalam kalbu yang beriak, Andela paham bahwa ia tidak akan pernah mendengar suara dari sesosok pemuda yang ia cintai,

"Kakak... sibuk tidak?"

Azul bergeming. Ia tahu, bahwa sore ini adalah sore terakhirnya dimana ia bisa mendengar suara gadis yang bisa membuatnya merasakan sebuah perasaan senang,

"Tidak... aku tidak sibuk."

Dusta. Azul sibuk menahan rasa sesak dalam dada,

Andela tersenyum,

"Ah. Syukurlah, aku minta tolong kak."

"Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Vil memasang telinga baik-baik,

"Mengenai kontrak yang aku pakai... aku ingin... membatalkannya."

Kening Azul berkerut,

"Kau yakin? Aku pikir kau-

"Yakin, kak... aku ingin membatalkannya."

Azul menghela napas pendek. Ia memetik jarinya, kontrak emas telah berada di atas tangan dengan perjanjian antara dirinya dan gadis itu,

"Baik. Aku hancurkan."

Elemen api perlahan melahap sebuah kertas yang digunakan untuk mengikat sebuah kontrak. Isinya menyangkut kebahagiaan, kesehatan, dan semua hal-hal baik yang ditujukan untuk sang mentor.

Bibir pucat Vil melukiskan sebuah senyuman. Tangannya mengusap pucuk kepala Andela,

"Terima kasih, kak. Maaf aku sudah merepotkanmu."

Belum sempat Azul menjawab, panggilan telah terputus dalam sepihak.

Azul memandang jauh pada lorong Octavinelle di mana ikan-ikan berenang wara wiri. Hanya tersisa perasaan yang tidak mampu pemuda itu ungkapkan. Esok adalah awal baru untuknya, dengan sebuah perasaan yang masih membuat hatinya berat untuk menerima kenyataan bahwa sosok gadis yang mampu membuatnya berubah, harus pergi meninggalkan semua memori yang harus ditelan dalam kepahitan,

"Beginikah caramu untuk pergi, Andela?"

Andela menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia menangis sejadinya dalam dekapan yang tidak akan dirasakan lagi olehnya mulai esok.

Menaungi kesedihan di bawah pepohonan, melewati musim yang berganti secepat hari. Menatap langit nabastala biru dengan awan putih. Merasakan sapuan anila yang menampar wajah. Menginjak guguran daun dalam dunianya.

"Andela..." panggil Vil yang membuat empunya sang nama harus menunjukkan mata basahnya.

Jemari lentik Vil mulai menghapus jalannya air mata yang membuat mata muridnya agak merah dengan napas sesak,

"Apa aku... juga mendapat cintamu?"

Andela menghela napas dengan sebuah getaran, dengan keberanian yang ia kumpulkan, gadis itu meraih kedua pipi sang mentor dan saling mempertemukan dahi,

"Kakak menerima cintaku..."

-end-

date of Update ; 14 November 2021,

by ; aoiLilac.

Pandemic Project,
Camaraderie
by ; aoiLiac.

start ; 06 August 2021,
End ; 14 November 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top