April
April
Kedua bahunya tiba-tiba menegang begitu dua telapak tangan dingin sengaja ditempelkan pada leher jenjangnya. Terdengar pekikan yang lolos dari bibir sebelum ia mendongah untuk memastikan ulah siapa yang membuatnya sempat parno,
"Eh kakak!"
Tindakan yang barusan adalah ulah Vil Schoenheit yang saat ini sedikit menarik kedua ujung bibir hingga membentuk sebuah kurva yang samar. Amethystnya tertuju pada sebuah kotak makan yang coba untuk gadis itu raih kembali dengan garpu,
"Lho, hari ini bawa bekal?" Vil bertanya, disambut anggukan paten oleh Andela, "Apa menunya?"
"Dada ayam rebus dan salad kentang."
Tanpa ragu, Andela kemudian mencungkil ayam dan salad kentang dari bekalnya lalu menyodorkannya pada Vil. Sang ratu pun tanpa segan menerima kudapan yang disodorkan oleh mentornya. Kemudian menggunakan gigi untuk mengunyah dan lidah untuk mengecap. Astu terdengar dari mulut Vil yang membuat sang gadis bertepuk tangan kecil,
"Enak."
"Terima kasih, kak." balasnya, "Aku tidak tahu, kakak punya waktu luang."
Di sebrang kursi yang di duduki Andela, Adeuce masing-masing sibuk dengan urusannya setelah bertegur sapa dengan kakak tingkatnya yang kemungkinan sengaja datang untuk melihat Andela. Ace masih terpaku pada ponselnya, sedangnkan Deuce kembali melanjutkan kegiatan makannya.
"Aku sengaja mencarimu." Ucap sang ratu, tanpa diketahui oleh Andela, ekspresi Vil mulai berubah dengan sebuah perempatan yang terpampang jelas pada keningnya.
Kedua tangan Vil yang sebelumnya berada di kedua pundak Andela, kini beralih pada telinga sang gadis. Sepenuh hati yang melibatkan sedikit perasaan geram pada murid perempuannya ini, pria pirang tersebut menarik kedua daun telinga itu dengan mantap,
"Siapa yang terlambat tadi, hmmm??"
"Aaaa──sakit kak. Sakit── Andela mengaduh. Jeweran Vil terasa begitu panas, gadis itu paham betul setelah Vil meninggalkan bekas merah di kedua telinganya, ia juga berniat melakukan hal yang sama pada kedua pipinya,
"Ih sakit tau kak..."
"Biar saja." Cecarnya, "Kenapa bisa terlambat? Kan aku bilang, tidur paling lambat itu pukul sembilan malam! Kupingnya dipakai tidak sih!?"
"Aku malah tidur jam delapan tadi malam, kak."
"Terus. Jawab aja."
Adeuce masing-masing bungkam menelan saliva. Mereka begitu takut untuk mengangkat kepala dan melihat apa yang sedang dilakukan mentor dan muridnya dalam hiruk pikuk kafetaria. Bahkan kedua pemuda itu merasa sedang bercemin saat ini, mereka hidup dalam asrama dengan kurang lebih delapan ratus peraturan yang musti dituruti.
Andela pun merasakan hal yang sama, namun perbedaan yang terlihat signifikan saat ini adalah Adeuce harus mengikuti peraturan tertulis sang ratu hati dan ancaman kolar jika tidak diterapkan dengan baik, sementara Andela musti mengikuti setiap aturan lisan yang keluar dari Vil dan ganjaran yang di dapat oleh Andela selalu di eksekusi dalam Pomefiore.
"Lalu kenapa bisa kesiangan? Kau bisa membuat bekal berarti waktumu banyak dan seharusnya tidak akan membuatmu terlambat."
"Maaf kak." sesal Andela, "Aku terbangun jam dua dini hari dan tidak bisa tidur lagi, karena bingung, aku buat saja bekal ini..." katanya, "Eh ketiduran lagi, hehe."
Vil memicing, terlihat menerima alasan yang didengarnya. Sang penyihir tahu betul, gadis yang menjadi muridnya ini tidak pernah mengatakan kebohongan. Kemudian telunjuknya tepat menuju kedua kepala berbeda warna yang masih mengunyah makanan mereka dalam diam,
"Bagus! Kentang seperti kalian tidak terlambat."
Respon hehe didapat oleh Vil ketika ia mengucap astu pada kedua pemuda yang hidup dalam asrama Heartslabyul. Sementara Andela yang masih dicubit pipinya memilih untuk mengerucutkan bibir. Vil tahu muridnya tengah merajuk, sebab itu ia semakin menguatkan cubitannya dan membuat bibir sang gadis semakin mengerucut tidak terima,
"Non, habis pulang sekolah mau ngapain?"
Kini, tangan Vil beralih pada surai lembut sang gadis. Menggunakan indra penciuman, arumi dari buah peach yang ringan langsung menyegarkan pikiran Vil yang sempat rendum tadi sebab ulah pupilnya,
"Aku nanti mau lihat tim basket latihan, kak. Yang aku ceritakan ke kakak waktu itu lho. Ingat tidak?"
Vil yang tengah mengepang helai hitam sang gadis menjawab mantap, "Jangan kau remehkan ingatanku, dasar ganggang laut selebor." Pria itu mencebik setengah tertawa.
Nampaknya gadis itu sudah mulai terbiasa dengan mulut pedas Vil, ia terkekeh kecil untuk merespon balik, "Berarti ingat ya, yang kakak gebrak meja, terus mejanya langsung hancur saat kampus tetangga kusebutkan."
Telinga Adeuce tentu masih berfungsi dengan sangat baik. Lantas kedua pemuda itu langsung membeku ditempat saat mendengar tentang kehancuran meja oleh yang dilakukan oleh kakak tingkatnya dalam sekali gebrakan. Hebat juga Andela bisa membangun kolerasi sejauh ini dengan senior Vil... begitu pikir mereka masing-masing.
Vil Schoenheit menampakkan senyum. Bukan senyum biasa, melainkan senyum yang sering ia tunjukkan pada seseorang yang tidak disukainya. Terlebih mendengar tentang kampus tetangga,
"Shh. Jangan keras begitu menyebut meja hancurnya." Ia berbisik, mendenguskan napas pada daun telinga Andela, "Bagaimana dengan tugasmu? Aku tidak akan mengizinkanmu untuk melihat kentang nomor satu latihan basket jika tugasmu belum selesai."
"Tenang aja kak. Kan kakak yang ngajarin jika ada tugas, lebih baik cepat dikerjakan."
Afsun yang keluar dari Vil saat benar-benar menampakkan senyumnya kian bertambah ribuan kali lipat. Sang ratu tersenyum puas mendengar pernyataan yang keluar dari kedua belah bibir ceri pupilnya. Sampai ia membawa tangannya pada pucuk hitam sang gadis dan mengusapnya pelan.
"Aku besok main."
"Apa? Eeh──jangan kak."
"Kau mulai berani melawanku?"
"Ih bukan!" tukas Andela, "Aku belum bebenah selama satu minggu, kak. Aku besok memang niatnya baru mau bebenah."
Bola mata Vil berputar jengah dalam kafetaria yang semakin ramai saat ini, ia mengerang,
"Gini ya kasep,"
"Geulis atuh, kak."
"Gini ya geulis, aku full satu minggu kedepan tidak akan ada di Pomefiore atau di kampus."
Andela terhenyak, tidak jadi menyuap salad kentang yang telah disendoknya,
"Kakak.... kerja, ya?"
"Biasalah...," ucap Vil, "Orang-orang itu terlalu mengagumi kecantikanku." Setelahnya, ia mengibas helai pirangnya. Adeuce langsung terasa dijatuhkan oleh sempena dari nirwana begitu melihat seorang aktor kawakan yang tengah berlagak seperti seorang model. Ah, namun Vil memang seorang model. Sementara Andela yang masih membeku, tidak bisa merespon apapun kecuali melakukan gerak mata dengan berkedip,
"Jika aku tidak bertandang minggu ini, nanti kau akan merindukanku, dan itu merepotkan jika kau menelponku saat aku sedang melakukan pemotretan." sambungnya dengan rasa percaya diri yang luar biasa.
Andela menghela napas panjang diiringi perasaan gelebah dalam kalbu.
Bukan sebuah napas yang meremehkan pernyataan seniornya, namun begitu tahu saat mentor tercinta hendak meluangkan waktu untuk menyambanginya pada akhir pekan ini, asrama yang ditinggalinya dirasa cukup berantakan. Ada rasa sesal yang menggulir dalam kalbu ketika mencegah Vil untuk datang.
Namun pada saat yang bersamaan,
Andela juga tidak ingin membuat mentornya kecewa saat disambut oleh sesuatu yang tidak terorganisir dengan baik. Masalah rindu dibahas, Vil belum pergi namun gadis itu telah dihantam oleh perasaan sepi begitu tahu sang mentor tidak mengomelinya untuk satu minggu kedepan, "Apa itu rindu?"
"Oi Vil!!"
Andela memulai sendiri senandika dalam pikirannya, sebelum sebuah suara membuyarkan segalanya. Suara tepukan tangan datang dari arah Leona yang berdiri di ambang koridor kafetaria. Surai pirang Vil nampak bergerak mengikut arah kepala begitu sang raja racun menoleh. Begitu kontak mata terjadi antar kedua kepala, Leona dengan jelas mengatakan,
"Ikut aku."
Sang raja rimba telah rapih menggunakan pakaian untuk alkemi. Andela pun baru menyadari bahwa mentornya juga memakai jubah untuk alkemi, karena tidak memakai kacamata untuk laboratorium dan sarung tangan hitam besar, Andela tidak menyadarinya dengan cepat tadi.
"Aku tidak menerima perintah darimu, Leona!!" telunjuk Vil tanpa ragu. Tanpa sadar, tangan lainnya mendekap dada atas Andela dari belakang saat mendapat panggilan dari sang kepala lain yang kemungkinan memiliki urusan mentornya. Bisa dilihat Andela jika senior Leona-nya nampak memijat kening tanda pening. Sang singa mempertemukan pundaknya pada dinding, ekornya bergerak ke kanan ke kiri dengan tangan terlipat di dada,
"Kak. Kak Leona dikit lagi akan mengaum..." Andela berbisik setengah takut,
"Memang itu tujuanku, dear..." sahut Vil tak kalah ngawur.
Adeuce nyaris lupa caranya bernapas setelah mendengar sebuah auman raja rimba yang begitu keras hingga mampu membuat seisi kafetaria hening. Beberapa siswa ada yang kolep, dan terhitung siswa dari Savanaclaw terlihat takjub akan kepala asramanya.
Vil tertawa iblis memecah hening,
"Yasudah, aku mainnya sekalian pas udah pulang aja. Ingat ya. Jangan kau kira aku tidak ada, kau bisa seenaknya." Kecam sang ratu tak lupa mengelus pucuk kepala sang pupil sebelum mengambil langkah mendekati Leona. Andela mengiyakan, tidak memalingkan wajah dari punggung tegak sang mentor yang berjalan menjauh.
"Besok hati-hati, ya kak?"
Seolah bisikan menjamah telinga, Vil berhenti selama beberapa detik. Sama sekali tidak menoleh ke belakang, tepat dimana sang pupil masih memandang punggung kokohnya. Andela gagal melihat sebuah lengkungan yang terbentuk di bibir Vil sebelum mentornya menghilang dan Leona yang ikut menghilang. Andela sendiri heran, mereka sering terlihat tidak akur namun saat suatu kesempatan memaksa mereka menyatu, rasanya seperti dua teman baik yang bisa diandalkan satu sama lain.
"Kayak kalian ya?"
Capek. Andela mau jadi wasit aja.
Cerulean gadis itu mulai mengendar ketika mendapati pemandangan luar biasa. Baru ditinggal mengobrol dengan mentornya, Adeuce sudah memegang garpu dan masing-masing hendak menyerang satu sama lain. Sang dara menghela napas panjang sambil tersenyum pasrah,
"Iya, lanjutin aja gak papa... Aku bawa obat merah sama plester kok."
Camaraderie
Jejaring sosial pada buana cermin dimana menjadi tempat ia tersasar saat ini bisa dibilang cukup maju. Seperti yang dikenalkan oleh seniornya──Cater Diamond beberapa waktu lalu setelah Andela menerima sebuah benda kotak yang disebut ponsel dari pak gagak baik.
MagiCam namanya.
Andela tidak begitu paham apa itu magicam, kecuali sebuah aplikasi berisi satuan foto dan serba-serbi lain. Dan senior Cater-nya diketahui cukup aktif selama 24/7 untuk aplikasi yang dimaksud.
Menggunakan akun palsu yang dibuatkan oleh Vil beberapa hari kemudian setelah ia mengenal apa itu magicam, gadis yang dikenal sebagai pelor atau nempel molor itu mulai menggunakan salah satu media sosial tersebut jika ia ingat memiliki sebuah akun dengan nama samaran.
Senyumnya kian mengembang tatkala ia menemukan sebuah story dari sang mentor yang belum sempat dilihat sejak pagi. Beberapa kerjaannya di update dalam akun sosial medianya. Disukai oleh ribuan orang, jari telunjuk Andela tanpa ragu sedikit bergerak ke arah simbol hati pada bagian kiri bawah postingan si mentor.
"Wah, kece."
Suara burung hantu sesekali terdengar menyusup melewati jendela yang belum ditutup olehnya sejak baskara yang menabur pesona, hingga rembulan yang menutup arsar telah berada di atas bumantara. Musim panas kali ini memang terasa agak panjang. Sejuk akan begitu menusuk kulit saat bunyi rincing dari bel yang dimainkan oleh dersik yang sengaja dipasang pada jendela kembali menyadarkan sebuah perkara.
"Oh ya, jendelanya belum ditutup."
Ceruleannya melihat ke segala arah dari lantai dua asrama kosong yang ditempatinya. Dersik mulai membelai pohon-pohon besar di sebrang sana. Memandang jauh kebawah di mana trotoar dan pagar yang menjadi pembatas tempat tinggalnya, dan jalanan luar serta lampu-lampu taman yang menyala. Matanya sekali lagi mendongah ke atas, indurasmi pada malam ini nampak begitu memesona dengan payoda tipis yang menjauh darinya. Andela tersenyum sesaat sebelum menutup jendela dan hordeng.
Niat hati setelah jendela tertutup, ia hendak menelpon si mentor seperti hari-hari sebelumnya. Namun saat tubuh mungil membanting dirinya sendiri pada kasur, tetiba sebuah getaran dan nada dering Absolutely Beautiful yang dipasang olehnya terdengar. Nyaris menikmati lagu yang terputar, Andela lupa bahwa lagu tersebut adalah nada deringnya.
Panggilan video dengan nama kontak, 'Kakak galak' telah hadir dalam layar. Telunjuknya segera bergesekan dengan simbol hijau bergambar telepon,
"Lama banget, ngapain coba?"
Wajah Vil terpampang jelas, sedang maskeran,
"Lupa, aku malah dengerin Absolutely Beautiful kakak pas VDC dong. Hahaha."
"Oooohh..."
Vil berdehem, membersihkan tenggrokan seperti umunya orang-orang yang hendak bernyanyi,
"Asik."
"Ih geer. Aku Cuma dehem doang."
"IH IH──
Rupanya dalam jiwa Vil masih ada rasa untuk meledek sang dara yang saat ini sedang misuh-misuh sendiri dengan suara yang agak keras, dan Vil cukup menikmati pisuh yang dilontarkan oleh si pupil,
"Shhh, pelankan suaramu."
"Lagian kesel banget." Jujur Andela, "Oh, udah gak sibuk, kak?" tanya sang pupil saat ia sadar bahwa mentor dalam panggilan videonya itu tengah memakai sheet mask, berarti Vil memiliki waktu yang cukup luang saat ini.
Vil pun mengiyakan pertanyaan dari Andela,
"Eh ya. Aku tadi abis liat postingan kakak."
"Liat aja?" tanggap si pirang, sambil sesekali menekan-nekan masker yang menempel di wajahnya, "Gak disukai?"
Vil tahu, akun sosial media milik gadis itu adalah akun palsu. Namun karena Vil suka mengetes sebuah kejujuran sederhana yang tiba-tiba bisa keluar dari belah bibi cerinya, Vil menunggu. Kira-kira jawaban apa yang akan diberikan oleh gadis petakilan itu yang selalu mengejutkan sebagian besar orang atas tingkahnya,
"Disukai dong," sahutnya mantap, "Kalo postingan kak Cater aja aku suka, masa postingan kakak, aku skip?"
Pada akhirnya Vil kembali tertawa. Bagaimana bisa..., bagaimana bisa jawaban yang keluar dari mulutnya itu adalah jawaban yang sama sekali tidak selalu bisa Vil duga. Jawaban yang selalu apa adanya, tidak dilebihkan atau tidak dikurangkan. Anak itu tidaklah sempurna, namun ia selalu berhasil menjadi pelipur lara bagi siapapun yang membagi cerita pilu masa lalu yang dialami beberapa kepala, tak terkecuali Vil sendiri.
Andela akan selalunya bersembunyi dibawah lipatan baju Vil jika ia mendekapnya. Seperti mendekap sebuah permata sehingga tidak dapat dilihat oleh orang lain. Namun nyatanya, permata itu memilih untuk bebas dan tidak selalu berada di bawah akara Vil sepenuhnya. Permata itu berhasil menyenangkan hati orang-orang yang berada disekitarnya. Andela mampu menabur dama pada setiap orang yang mau menerimanya dalam Night Raven College.
Seringkali Vil hendak bertanya begini, 'Apa aku juga mendapat cintamu?' Namun berkali-kali juga ia mengurungkan niatnya. Entah kenapa, Vil merasa belum menemukan waktu yang tepat.
"Untung saja ya?" kata Vil tiba-tiba. Menghentikan cuitan dari cerita si gadis yang dilaluinya pada hari Sabtu tadi, dimana ia main ke Diasomnia untuk kali pertamanya. Dijemput oleh Sebek Zigvolt yang selalu membanggakan seorang Malleus Draconia, dan Silver yang memilih untuk bungkam disepanjang perjalanan, namun tak jarang sedikit kekehan terdengar dari pemuda itu ketika Andela dan Sebek berargumen tentang Malleus.
"Untung apa tuh, kak?"
"Banyak yang menerimamu..."
Jarang sekali Vil bicara dengan nada yang terlalu rendah begitu. Jika mereka saling beradu pandang, Andela pasti bisa melihat cekung iris amethyst yang berbinar ditimpa cahaya.
"Kebetulan saja kak..."
"Kau membantu mereka."
Kecanggungan sempat terjadi hingga membuat jam dinding menertawai dialog yang sempat sumbang,
"... Aku pulang lusa."
"Yaaah..."
"Jadwalku mundur."
"Yaaaahhhh..."
"Aku masih harus bekerja besok."
"Yaaaahh..."
"Kau mau aku bawakan apa?"
"Yaaahh..."
"ANDELA TONE!!"
"Ahahahaha!!" tawa si pupil, sementara sang mentor sepertinya masih geram namun menunggu jawaban,
Gadis itu bergeming. Beradu pandang dengan Vil yang memakai sheet mask-nya. Sungguh, anantara rembulan yang menyembunyikan kebenaran, diantara bintang yang berselimut suka cita, kata rindu itu telah berlaku untuknya sebelum Vil berangkat ke sebuah kota melakoni pekerjaannya sebagai model hingga satu minggu lamanya.
"Em..., Dream Catcher?"
"Dream Catcher?" Vil bertanya, "Benda berbentuk lingkaran yang diberi aksesori bulu, lalu kau gantung di atas ranjangmu itu?"
Andela mengangguk,
"Kau ingin akuuu..., Mencarikan benda itu?"
"Iya kak."
"Gak gak!! Gak ada gak ada!!"
"AKU MAU ITU KAK!! AKU MAU ITUUU!! AKU MAU DREAM CATCHER!!"
"Maaf dear, aku tidak percaya dengan benda penangkap mimpi yang kau inginkan..."
"Tapi aku percaya!!" tukas Andela langsung,
Bisa gadis itu dengar jika sebuah erangan kecil lolos dari mentornya. Bola mata memutar malas, Vil memeluk erat sebuah guling yang berada di bawah sikunya. Vil sama sekali tidak memanjakannya, memang dialah yang bertanya apa yang diinginkan gadis itu yang masih uring-uringan tidak jelas di atas kasur.
Keinginannya begitu sederhana, barang tidak mewah ataupun bermerek seperti yang biasa dibelinya saat pulang dari kerjaan. Hanya benda yang biasa dijual pada pinggir jalan.
"Kau tahu kan? Aku tidak percaya hal seperti itu."
"Tahu kok...," Andela menjawab mengiyakan tanpa mengelak fakta, "Kita berbeda kak. Aku percaya semua hal baik datang dari harapan yang terus dikayuh dengan gigih."
Vil bungkam.
Jiwa gadis itu terlalu murni akan harapan yang nyata. Begitu berbanding terbalik dengan dirinya yang masih berdiri dalam candramawa dengan harsa yang semakin menghilang dirasa. Ada masa dimana Vil benar lelah dan menyerah. Ia kalah pada amarah yang melahap habis urat ketegarannya.
Vil tidak menangis.
Namun air mata itu terus mengalir dari kelopak yang menutup iris keunguannya. Nestapa di dekap sendiri tanpa ada niat untuk berbagi. Dibalik punggungnya yang kokoh, dalam dada masih memiliki rongga masa lalu yang tidak akan pernah bisa ditutup dengan baik oleh Vil sendiri.
Hingga ia bangun, seorang gadis tersasar menangis hebat dan tanpa sadar memeluknya. Vil bingung. Untuk apa gadis itu menangisi ruang hampa nan lembab yang digerakkan oleh seutas tali perak dan kemudian menjelma menjadi salah satu penyihir terbaik di kampus.
Untuk apa jiwa bersih itu menangisi atma yang telah terbercak seperti dirinya?
Dan percaya atau tidak setelah kejadian itu, Andela-lah yang sedikit demi sedikit menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri seorang Vil. Gadis itu sanggup menumbuhkan sebuah kecambah yang masih malu-malu untuk menunjukkan jati dirinya.
Tak jarang gadis itu menghabiskan waktu berdua dengan mentornya. Kolerasi antara guru dan murid semakin kuat terikat antara penyihir dan seorang gadis yang cukup menjadi punggawa hati beberapa sosok penyihir lain di kampus.
Dan jika hanya berdua, disela-sela waktu istirahat, Vil pernah bilang begini,
"Kau tidak salah?"
Andela telah berpindah duduk di sebrang sana, waktu istirahatnya ia gunakan untuk mengutak-atik make-up si mentor tanpa menyolek beberapa kue manis dan teh yang memang telah disediakan oleh Vil. Andela mencoba memakai beberapa make-up, walau Vil akhirnya bisa melihat sendiri sosok badut yang menolehkan kepala ke arahnya,
"Apa kesalahanku?"
Pria itu lantas berdiri. Berjalan mendekat. Menggunakan telapak tangan, sihir air nampak membasuh wajah si gadis dan kembali membuatnya bersih,
"Aku bukan orang yang cukup baik untuk bisa kau panggil 'guru'."
"Namun tidak ada yang lebih baik dari kakak..."
Vil yang saat itu tetiba merias wajah Andela langsung diam. Sesekali melirik pada cermin besar yang memantulkan bayangan keduanya yang masing sibuk sendiri. Si gadis yang memakai lipbalm, dan Vil yang sudah timbul perempatan pada keningnya,
"Itu nanti dulu lipbalmnya."
Andela hanya ber-oh ria. Ia memilih diam, dan membiarkan Vil merias wajahnya. Keheningan dibiarkan cukup lama, sampai Andela menyambung pernyataannya,
"Ada kebaikan dalam setiap hati seseorang, kak."
"Dari mana kau tahu?"
"Eumm... roh bulan?"
Vil mendenguskan napas kasar,
"Kau tahu kan──kalau──
Dan akhirnya. Pada hari Minggu sore dimana cakrarwala senja telah menunjukkan taring, mereka berdebat hingga mengundang Rook untuk nimbrung. Walau akhirnya, pemburu itu malah menyimpulkan hal yang lebih ngawur.
Merasa permintaannya tidak akan digubris, gadis itu mengubah posisi tidurannya menjadi duduk tegap untuk menyampaikan sesuatu,
"Kak? Kakak jika tidak mau membelikannya, tidak masalah kok. Yang penting kakak beneran pulang esok lusa, aku sudah senang."
"Jangan mengambil keputusan sendiri seenak jidat." Cecarnya langsung, "Aku belikan."
Sebuah pekikan senang terdengar oleh Vil,
"Dasar bocah."
"Biar saja!"
Vil tahu, Andela tengah mengerucutkan bibirnya disana. Ia tertawa kecil kemudian,
"Tidurlah. Sudah terlalu larut untukmu masih terbangun."
"Baik kak. Tutup panggilannya ya? Jaga kesehatan hingga kakak pulang."
"Ha, lucu sekali, orang yang sering bengek sepertimu, memintaku untuk menjaga kesehatan."
"Sok tau. Aku belum bengek minggu ini ya, kak."
Keduanya saling tertawa hingga Vil mengatakan,
"Baik. Aku tutup panggilannya."
"Oke kak. Selamat malam."
"Selamat malam."
Panggilan diputus oleh Vil Schoenheit. Ratu itu memandang keluar jendela dari apartemen yang ia tempati dalam satu minggu belakangan ini.
Sementara gadis itu telah meletakkan ponsel di atas nakas yang cukup jauh dari ranjang. Sebab wejangan yang lagi-lagi datang dari seniornya──Cater Diamond mengatakan lebih baik menjauhkan ponsel dari tubuh saat tidur. Ancaman radiasi bisa berbahaya, dan Andela menuruti perkataan seniornya itu.
Lampu kamar dibiarkan menyala terang, ia menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Andela meringkuk sambil memeluk boneka besar beruwujud gurita ungu refleksi dari Azul. Entah bagaimana penyihir itu memdapatkannya, yang jelas, Azul memegangi dadanya sesak saat Andela lebih memilih memeluk boneka gurita ketibang dirinya.
Sang dara menyimpulkan seulas senyum mengingat dalam hitungan jam, mentornya akan kembali mengomelinya dan juga, ia akan mendapat sebuah oleh-oleh baru yang akan menghias kamarnya kelak.
Vil di lain tempat telah membuka masker wajahnya. Pria itu berjalan mendekati sebuah cermin dan memilih duduk di atas bangku pada meja riasnya. Ia melamun, tanpa sadar bibirnya mengucap,
"Cermin wahai cermin..., beritahu aku......"
Date of Update : 19 August, 2021,
By : aoiLilac.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top