Part 3

PLAK

Jika tadi kurasakan kebas pada pipi kiriku saat ini hal yang sama terjadi pada pipi kananku. Nyeri!

"Gimana? Sakit nggak? Setan di otak kamu udah pergi belum?" cerocos wanita di hadapanku.

Kesadaranku berangsur kembali seiring dengan rasa nyeri di mulutku. Jadi saudaraku Bila tercinta ini baru saja mendaratkan tangannya yang tidak mulus ke pipiku dan itu terjadi dua kali. Baiklah memang aku yang memintanya untuk menyadarkanku kalau apa yang ada di hadapanku ini bukan mimpi tetapi tidak perlu sampai menampar dua kali bukan? Bila sinting!

"Kenapa? Mau nambah lagi?" tanyanya sambil berkacak pinggang.

Bila menarikku untuk kembali duduk dan mengabaikan niat awalku untuk mengambil minum. Nada mengikuti kami dan mengambil duduk di seberangku. Ya Tuhan, aku baru sadar jadi minuman yang tadi aku minum adalah sisa Nada? Demi apa ini sama saja  aku berciuman tidak langsung dengannya. Surga dunia!

Speechless! Ternyata berhadapan dengan seseorang yang membuat hati tertarik bisa membuat efek yang mengerikan. Jantungku pun sudah berpacu dengan kecepatan luar biasa. Mendadak aku menjadi orang gagu. Papa tolong!

Mataku menatap kosong kepada Nada yang duduk dengan kepala menunduk di hadapanku sementara dari sudut mataku terlihat Bila mengalihkan pandangan berganti antara aku dan Nada. Bila, seandainya kamu tahu isi hatiku tolong jangan buat suasana semakin canggung.

"Ehm, Kak Bila aku pulang dulu ya?" ujar Nada beberapa saat kemudian. Kalimat yang sukses membuat hatiku merasa kehilangan.

"Sendiri? Jalan? Nanti aja aku anter," tolak Bila. Aku bersyukur dalam hati untuk hal ini, setidaknya waktuku bersama Nada bisa lebih panjang.

"Gak usah Kak, Andra udah jemput kok di depan!"

ANDRA ANDRA ANDRA, sepertinya aku pernah mendengar nama itu tapi dimana? Gerrr, aku ingat sekarang kalau nama itu juga pernah disebut oleh Nada saat aku dan Mama ke rumahnya. Lantas siapakah manusia bernama Andra? Setampan dan sehebat apa? Bahkan aku yakin pasti dia tidak lebih tampan dariku. Aku mendengus kesal, ternyata aku sudah kalah start. Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan hati Nada kalau dia sudah ada yang punya. Kurasa aku harus mencabut kata-kataku sebelumnya, kita tidak berjodoh dan Nada adalah Neraka dunia. Hanya dengan melihatnya bisa membuatku patah hati, menyedihkan.

"Sakit bodoh!" umpatku saat kurasakan sebuah tangan menarik telingaku. Mataku melirik tajam kepada si pelaku yang tidak lain adalah Bila.

"Kamu tuh kenapa sih, Ve? Bengong mulu dari tadi kasihan tuh ayam tetangga pada mati!" omelnya kemudian.

Aku hanya memutar bola mata bosan sementara Bila melanjutkan aksi ceramahnya. Seakan baru terasadar apa yang terjadi mataku langsung beralih mencari sosok Nada dan kini sosok itu telah lenyap. Berarti tadi itu hanya mimpi? Aku menepuk jidat pelan.

"Ya ampun Ve, kalau tadi kamu lihat muka tololmu yang mirip orang kesambet pasti kamu udah gak punya muka di depan Nada,"

Loh?

"Nada udah bersopan-santun menyapa dan kamu mirip orang bego yang hanya menatapnya kosong. Ya Tuhan kurasa otakmu perlu diperbaiki."

Jadi tadi bukan mimpi dan aku melamun sampai-sampai melewatkan momen Nada pulang. Ave bodoh!

"Jadi tadi itu nyata ya, Bil? Beneran Nada ada di sini terus kita ketemu di dapur dan kemudian dia pulang?" tanyaku lagi.

"Masa bodoh lah, Ve! Capek ngomong sama orang lelet kaya kamu. Ibarat komputer masih pentium satu dan itu udah kadaluarsa. Jadi kamu mau ngapain ke sini? Gak mungkin cuma nengokin aku kan?"

Bila, kamu masih saja cerewet.

Berpikir Ave! Ingatanku memutar kejadian dari mengantar Ken sampai ke tempat ini. Saat semua memori masuk ke otakku barulah aku sadar kalau Nada benar-benar mengalihkan duniaku. Satu hal yang pasti aku kehilangan kesempatan untuk berkenalan dengannya yang kedua kali.

Aku menimbang dalam hati antara melanjutkan perjuangan mengenal Nada lebih jauh atau berhenti cukup sampai di sini. Menyerah sebab tidak ada harapan untuk bersamanya tetapi bukannya kesempatan itu selalu ada untuk dia yang selalu berusaha. Aku tidak boleh menyerah hanya karena satu nama Andra.

"Bila, sebagai sepupumu yang paling tampan boleh minta tolong gak?" tanyaku kemudian. Aku sadar kalau saat ini yang kubutuhkan adalah jasa makcomblang dari Bila sebagai usaha mendapatkan Nada.

Bila memutar bola matanya dan mendengus pelan, "Cih, memuji diri sendiri!"

"Bil!"

"Hemn!"

"Please!"

Lihat Nada, ini adalah pertama kalinya aku memohon kepada Bila. Cukup tahu resikonya, dia pasti akan meminta macam-macam.

"Ada syaratnya!"

Nah kan.

"Apa? Dengan terpaksa!"

"Lusa aku ada undangan nikah dan Fadli sedang ke luar kota. Jadi besok kamu harus jadi partnerku, gimana?"

"Nemenin kondangan lagi?" tanyaku tidak percaya. Pasalnya ini bukanlah pertama kali Bila membawaku sebagai berondongnya tetapi entah untuk yang keberapa.

"Mau apa nggak?"

"Ya ampun Bila! Kamu cari cowok kenapa? Jadi permintaanmu biar gak monoton tiap kali ngasih syarat gak jauh-jauh dari jadi pasanganmu. Kesannya mukaku ini udah tua sampai sampai semua orang bilang kalau kita cocok. Ka--"

"Mau apa nggak? Kalau nggak ya udah!" potong Bila yang sukses membuatku diam.

"Oke!" Aku menyerah, tidak ada pilihan lain.

Bila tersenyum puas mendengar jawabanku, "Oke, jadi mau minta tolong apa?"

Aku menghembuskan nafas pelan, kalau keinginannya sudah terpenuhi baru sepupuku ini berubah menjadi sangat manis. Nada ini demi kamu, Sayang!

"Kenalin aku sama Nada dong, pokoknya atur gimana caranya biar kita ketemu. Tapi abis itu tinggalin kami berdua biar aku yang beraksi!"

Bila mengangkat alisnya pelan sebelum tertawa mencemooh.

"Hanya itu? Itu mah kecil," ucapnya mencibir.

"Kamu yakin Ve minta ditinggalin berdua sama Nada? Yakin bisa ngomong gitu? Tadi aja bengong kaya orang bego," lanjutnya kemudian.

Hilang sudah wibawaku di depan Bila hanya karena otakku yang sedikit tidak sinkron saat bertemu Nada. Biasanya aku akan menyanggah perkataann Bila namun untuk saat ini aku mengalah. Bah!

**

Aku memacu satria milik sepupuku di Jogja dengan kecepatan tinggi. Setengah jam yang lalu seharusnya aku sudah berada di tempat makan yang sudah ditentukan oleh Bila. Ya, ini semua karena mendadak Eyang minta diantarkan ke rumah Tante Alya. Gerrr, demi mempertahankan predikat cucu terbaik, terpaksa aku mengantar eyang dengan resiko mendapat ocehan dari Bila. Beruntung tadi ada satu motor menganggur dan bisa kumanfaatkan, setidaknya aku bisa sampai sedikit lebih cepat.

"Assalamu'alaikum," tegurku begitu melihat penampakan Bila. Perjuanganku mencapai tempat ini terasa tidak berarti saat mataku menemukan sosok Nada ada di hadapannya.

"Wa'alaikumussalam. Ave lihat ini udah jam berapa? Kamu gak punya jam ya?" omel Bila tanpa memberiku waktu menghilangkan lelah.

"Maaf, kan tadi aku udah bilang harus nganter Eyang. Te-"

"Ishhhh, masa bodoh dengan alasanmu. Aku ada urusan sekarang, kamu makan aja sama Nada. Dia juga baru dateng kok," ujar Bila memotong kalimatku.

"Tapi, Kak?"

"Gak ada tapi-tapian Nada. Tadi kamu bilang laper kan? Pesen makan dulu gih, nanti pulang biar dianter sama Ave. Kalian kenalan aja dulu terus basa-basi gitu! Wassalamu'alaikum."

Bila mengucapkan kalimat panjang sebelum mengambil tas serempangnya dan melenggang pergi. Aku hanya menggelengkan kepala geli melihat tingkahnya dan tentu tersenyum dalam hati karena ide cerdasnya memberi waktu kepada kami berdua. Dia memang cocok jadi makcomblang.

"Ehm."

"Ehm."

Jodoh! Aku dan Nada membuka suara bersamaan. Aku tersenyum memandang ke arahnya sementara dia hanya menunduk dan terlihat bergerak tidak nyaman.Kalau aku perhatikan dia memang sangat cantik, bahkan aku sampai tidak bisa mengungkapkan kecantikannya dengan kata-kata.

“Ladies first!” ujarku mengalah dan memberikan dia kesempatan.

“Ehm, maaf saya sepertinya mau pulang terlebih dahulu. Permisi!” pamit Nada sambil bangkit dari duduknya.

Melihat apa yang akan dia lakukan tanganku tergerak otomatis mencekal pergelangan tangannya. Dia menghentikan langkahnya dan memandangku bergantian dengan telapak tanganku. Dia terlihat tidak suka.

“Eh, maaf! Ehm bisa duduk sebentar?” tawarku sedikit sungkan dan langsung menarik tanganku kembali. Dasar tangan kurang ajar!

Terlihat berpikir keras akhirnya Nada mengikuti permintaanku dan kembali duduk di kursinya. Dia tidak melakukan apapun dan hanya mengetuk tangannya ke meja sebagai tanda kalau dia mulai bosan dengan situasi ini. Semua yang dia lakukan tidak lepas dari pandanganku, termasuk saat dia tersenyum ketika bunyi dari smartphonenya terdengar. Dia menghembuskan nafas lega dan kemudian jari lentiknya beraksi mengetikkan sebuah balasan.

“Nada,” panggilku mencoba meminta perhatiannya.

“Ya?” jawabnya sambil mengangkat kepala sebentar untuk melihatku dan kembali lagi fokus ke smartphonenya.

“Nada!”

“Iya!”

“Nada, please!” pintaku sedikit merengek agar dia mengalihkan perhatiannya.

“Apa sih?” jawabnya sedikit ketus dan wajahnya terlihat kesal saat menatapku.

Ya Tuhan, ternyata dia sangat  sensitif kalau diganggu.

“Boleh kenalan?” ujarku mengabaikan rasa tidak enak yang sedikit mengganggu.

Nada mengerutkan keningnya dan kembali lagi beralih ke smartphonenya. Demi apa ini adalah pertama kalinya seorang Ave diacuhkan oleh wanita. Gerrrr.

“Sudah tahu kalau nama saya Nada kan? Dan namamu Ave kan? Jadi mau kenalan apa lagi?” jawabnya acuh. Kali ini dia berkata tanpa melihatku.

“Iya juga ya?”

“Nah itu tahu, sudah ya saya mau pulang!”

“NADA!” teriakku sedikit membentak saat Nada kembali berdiri tanpa menunggu ijinku. Aku merasa seperti kuman dimana dia terlihat tidak nyaman berada di dekatku dan ingin segera menjauh. Enak saja!

“Apalagi sih? Tadi katanya mau kenalan kan? Dan kita sudah kenal jadi mau apalagi, hah?” Nada berkata sambil memutar bola mata.

“Kata Bila kan kamu belum makan, makan dulu nanti aku yang antar pulang!”

“Oh terima kasih, kamu baik sekali! Tapi saya bisa makan dan pulang sendiri, saya sudah di jemput. Bye Ave! Wassalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Aku hanya memandang kepada sosok Nada yang perlahan mulai menghilang, kemudian seolah tidak ingin kehilangan dengan sigap aku bangkit berdiri untuk mengejarnya. Aku penasaran dia pulang naik apa dan dimana rumahnya. Namun langkahku terhenti saat seorang pelayan menegurku karena belum membayar makanan. Ah Bila, selalu saja kabur sebelum membayar. Sedikit tidak rela aku terpaksa membuka dompet dan membayar makanan yang bahkan aku tidak menyentuhnya sedikitpun.

Setelah urusanku dengan warung makan beres, aku langsung bergegas menuju keluar. Di sinilah aku sekarang, melihat sosok Nada yang naik ke sebuah motor sport dan melilitkan lengannya ke pinggang sang pengemudi. Tidak bisa aku jelaskan bagaimana perasaanku saat ini, yang kurasakan hanyalah sesak. Aku tidak rela melihatnya karena seharusnya akulah yang ada di kursi pengemudi itu. Akulah yang seharusnya menjadi pegangan Nada. Papa, anakmu patah hati.

**

Ingin kubunuh pacarmu.

Saat dia cium bibir merahmu,

Di depan kedua mataku,

Hatiku terbakar jadinya cantik,

Aku cemburu!

“Didi berhenti memutar lagu itu!” teriakku kesal kepada Didi, sepupuku sekaligus Adik dari Bila.

Setelah tragedi di depan tempat makan tadi, aku langsung kembali ke rumah Tante Alya untuk mengembalikan motor yang kupinjam. Hal yang tidak kuduga sebelumnya adalah ternyata Bila juga sedang pulang dan dia langsung menginterogasi perihal pertemuanku dengan Nada.Saat aku menceritakan hatiku yang hancur karena diacuhkan Nada yang justru pergi dengan lelaki lain bukannya bersimpati dia justru terbahak. Dia tidak mempedulikan hatiku yang hancur berkeping-keping dan memilih untuk menceritakan nasibku kepada adiknya seperti lelucon. Sebagai hasilnya aku menjadi bahan tertawaan kakak beradik itu. Parahnya lagi adalah Didi yang memutar lagu Cemburu milik Dewa tiada henti. Gerrr, saudara tidak berperikehatian.

“Ingin kubunuh pacarmu. Nada oh Nada!” celoteh Didi mencemooh.

“Tutup mulutmu, bocah!”

“Lo kali yang masih bocah, tuaan juga gue! Lagian kenapa sih lo bisa tergila-gila kaya gitu ke Nada? Perasaan juga masih cakepan Najwa daripada dia!” ujar Didi sewot. Yeah, dia memang selalu tidak senang jika aku memanggilnya bocah dan akan mengeluarkan panggilan gaulnya kalau sedang sebal. Dia selalu merasa tua meskipun seberapa tuapun umurnya menurut silsilah keluarga akulah yang paling tua.

“Jangan bilang lo mau bawa-bawa silsilah keluarga lagi!” lanjut Didi cepat saat aku baru akan mengeluarkan kalimat andalanku.

“Nyatanya memang begitu! Lagipula nada itu cantik, menarik kalau lo ketemu dia juga gue berani jamin lo bakal suka. Dan well Najwa memang cantik tapi dia adik sepupu gue sendiri mana mungkin gue ngembat dia? Yang ada nanti gue dimutilasi sama Om Eza. Lagian kalau boleh milih gue lebih milih nunggu Caca gede kalau gak ada larangan agama dan diancam dibunuh Papa.”

Hah! Memang susah bicara dengan manuasia anti wanita seperti Didi. Dia selalu saja menyepelekan cinta, belum tahu saja dia bagaimana rasanya jatuh cinta dan patah hati. Bisa-bisanya dia membandingkan Nada dengan saudara sendiri, tentu saja berbeda.

“Gue udah pernah lihat Nada, makanya gue bilang cakepan juga Najwa!” katanya lagi dan kembali membandingkan Nada dengan Najwa, saudara sepupu kami.

“Berhenti memakai kata lo gue kalau lagi ada aku disini. Aku gak seneng denger kalian ngomong kaya gitu, sok kota!” tegur Bila yang baru saja mengambil minum dari dapur.

“Gue kan cu-mmhhh!” kalimat Didi terhenti begitu saja saat Bila menyumpal mulut Didi dengan kue yang tersedia di meja. Didi menatap Bila tidak suka sementara Bila terlihat puas atas apa yang dia lakukan.

“Aku udah bilang jangan pakai kata-kata itu Didi! Terutama di rumah, masa bodoh kalau di luar sana!” umpat Bila marah.

Pandangan Bila beralih menatapku dengan senyum menyeringai terukir di mulutnya, “ Dan kamu Ave, jangan lupa janjimu. Besok temenin aku kondangan!”

Apa yang tadi Bila katakan? Menemaninya? Enak saja, bahkan perkenalanku dengan Nada gagal total dan justru patah hati yang kudapatkan tetapi dia tetap meminta aku memenuhi syaratnya. Ini namanya tidak adil.

“Gak mau! Rencana hari ini saja gagal mana bisa begitu,” tolakku.

“Siapa suruh gagal? Aku sudah menyelesaikan tugasku bukan? Memperkenalkan kalian dan kemudian meninggalkan kalian berdua. Kalau acara hari ini gagal berarti itu karena kamu saja yang bodoh tidak bisa mengambil hatinya. Pokoknya gak mau tahu temenin atau aku gak mau bantu lagi!”

Aku mencibir dalam hati, semua yang dikatakan Bila benar. Aku yang telah melewatkan momen yang berhasil dia ciptakan. Hei, tapi ini bukan salahku sepenuhnya melainkan sikap Nada yang acuhlah sehingga aku gagal. Ck!

“Ya udah lah, terpaksa! Tapi besok atur pertemuanku lagi dengan Nada!” tegasku yang hanya dibalas dengan acungan jempol oleh Bila sebelum dia melenggang pergi masuk ke kamar.

Aku menyandarkan bahu ke sandaran kursi. Lelah, ternyata mendapatkan wanita tidak semudah yang aku kira melainkan butuh perjuangan. Bahkan aku masih ragu aku bisa mengambil hatinya atau tidak. Satu hal yang pasti saat ini aku tidak peduli dengan lelaki yang tadi menjemput Nada, bagiku selama janur kuning melengkung berarti dia milik bersama.

“Ingin kubunuh pacarmu, saat dia cium bibir merahmu!”  kudengar suara Didi yang bernyanyi dengan lantang dari arah kamarnya. Entah sejak kapan dia masuk ke kamar aku tidak menyadarinya karena sibuk memikirkan Nada.

Arghhhhhhhhh, sepupu menyebalkan!

TBC

Sampai di sini dulu ya, kita tunggu perjuangan Ave selanjutnya :D. Mohon maaf jika updatenya lama -_-. Sankyuuu buat yang udah mau baca+ nunggu *kecup

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top