Part 2

"KEN AROKKK" teriakku begitu mengucapkan salam dan masuk ke rumah. Tujuan utamaku saat ini hanya satu yaitu menemui Ken untuk menanyakan padanya hal mengenai bidadariku. Pasalnya setelah pertemuanku dengannya satu hari yang lalu konsentrasiku mendadak buyar. Waktuku di rumah Eyang hanya habis untuk merenung, merenungkan masa depanku dengannya.

Mataku melirik sekilas ke ruang tamu, Papa terlihat sedang memegang majalah otomotifnya. Beliau hanya menurunkan majalah tersebut, melihatku, menggelengkan kepala kemudian kembali sibuk.

Aku memilih melanjutkan langkah menuju kamar Ken.

"Ken Arok!" panggilku begitu penampakan Ken terlihat. Dia tidur tengkurap ditemani beberapa buku yang terbuka di hadapannya. Berjalan mendekat, saat mataku menangkap apa yang dilakukannya aku berdecak kesal. Dasar bocah, terlihat sok sibuk dengan buku pelajaran ternyata ada sebuah sketchbook di hadapannya. Well, tidak perlu lagi dipertanyakan apa yang dilakukannya. Kamuflase!

Dia melirikku sekilas.

"Apa sih, Kak? Dateng-dateng langsung bawel, kaya cewek aja! Lagian namaku Ken tanpa Arok" ujarnya dengan tangan kembali sibuk menggoreskan pensil.

Aku berbaring tanpa mempedulikan berapa buku yang tertutup olehku, lagipula buku-buku ini juga tidak digunakan. Mendesis kesal Ken menatapku tidak suka, tetapi dia memilih diam dan kembali sibuk. Ya Tuhan, bocah ini!

"Ken!" panggilku mencoba menarik perhatiannya.

"Hemn," gumamnya pelan, masih tanpa mempedulikanku.

"Kamu kenal anaknya Tante Vion sama Om Revan?"

"Maksudnya? Nada?" tanyanya tetap acuh.

Gotcha! Ternyata benar apa yang Mama sampaikan, Ken mengenal Nada. Demi apa ini sungguh tidak adil, aku lahir terlebih dahulu tetapi Ken yang mengenal Nada terlebih dahulu.

"Punya nomor hpnya?"

"Tuh cari aja sendiri!" ucapnya masa bodoh sambil mengerling ke smartphone yang ada di sampingnya.

Aku bangkit dari posisi berbaring untuk mengambil smartphonenya, melirik sebentar ternyata Ken sedang menggambar ulang foto Caca. Ck! Kakak yang baik, aku berani bertaruh pasti Caca sudah merengek terlbih dahulu sebelum gambar itu ada.

"Namanya?"

"Nada!"

"Gak pake embel-embel Kak?" tanyaku heran.

"Dia sendiri yang nyimpen begitu."

Penuh keyakinan kusalin nomor atas nama Nada ke smartphone milikku. Setidaknya hari ini selangkah lebih maju, aku bisa melakukan sedikit pendekatan padanya. Iseng aku berniat mengirimkan pesan via whatapp, saat aplikasi itu muncul aku sukses membulatkan mata tidak percaya. Pesan terakhir mereka adalah Nada yang memberikan semangat kepada Ken untuk menempuh ujian sementara Ken hanya membalas dengan sebuah icon jempol. Sedikit kesal hatiku membayangkan kalau saja Ken sampai membalas dengan emote pipi merona pasti aku tidak segan untuk mengajaknya duel. Gerrr.

Alih-alih aku senang mendapatkan nomor Nada tetapi ternyata terselip rasa tidak suka. Aku tidak suka menerima kenyataan kalau Ken bisa dekat dengan Nada bahkan tanpa butuh panggilan Kakak. Aku masih sangat ingat perkataan Mama tempo lalu kalau Nada seumuran denganku, itu berarti dia lebih tua dari Ken bukan? Oke ini sangat-sangat menyebakan. Arghhhh, seandainya saja aku tidak pernah menolak saat diajak ke Malang pasti akan lain ceritanya

Melangkah pergi aku menimang smartphone menuju kamar. Hah, lebih baik aku istirahat sambil memikirkan langkah selanjutnya. Satu hal yang pasti, aku tidak akan menyerah. Tidak akan ada keberhasilan tanpa adanya usaha.

**

Telpon

Nggak

Telpon

Nggak

Telpon

Nggak

Tel...pon

Hitungan kancing mengatakan kalau aku harus menelpon Nada tetapi apa yang harus kusampaikan? Sangat tidak mungkin aku menelponnya jika dia saja tidak tahu namaku. Bisa jadi nanti dia mengira kalau aku adalah orang yang akan menawarkan kartu kredit. Ah Papa, kenapa kemarin aku tidak meminta Tante Vion buat mengenalkan kami? Ave bodoh!

"Mukanya jelek banget sih?" tegur Ken ketika kami sarapan. Mama, Papa dan Caca sudah tidak terlihat dan entah pergi kemana. Hari ini aku bertugas untuk mengantar Ken ke sekolah. Sejujurnya aku sungguh malas bertemu dengannya.

"Ken, ceritain soal Nada dong!"

Ken mengernyit heran saat mendengar permintaanku. Mungkin saja ini sangat aneh baginya.

"Ya?"

"Ya maksudnya ceritain apa yang kamu tahu soal Nada gitu. Misalnya dia sekarang sibuk apa udah punya pacar atau belom? Semoga saja belom sih!"

"Aku gak deket banget, cuma yang pasti sekarang dia lagi kuliah di Jogja!"

"APAAA? Nada kuliah di Jogja? Demi Tuhan berarti selama ini kami ada di kota yang sama?"

"Biasa aja kali. Jorok banget sih ampe kemana-mana nasinya," gerutu Ken sambil membersihkan wajah. Salahnya sendiri berita yang dia sampaikan luar biasa sampai-sampai makanan yang ada di mulutku terpaksa keluar karena kaget.

"Kuliah di kampus mana?" tanyaku antusias.

"UNY! Kalau mau tau lebih banyak mendingan Kak Ave tanya sama Kak bila, mereka kenal kok!"

"APAAAHMFTFT!"

Bocah songong, tanpa dosa Ken beranjak meninggalkanku dengan mulut menganga dan buah apel di dalamnya. Tidak perlu diperjelas kalau dia meletakkan apel saat mulutku terbuka.

"Buruan makannya udah siang ini, aku tunggu di mobil!" teriaknya dari kejauhan.

Aku mendengus kesal, Ken itu memang terlalu tua untuk jadi adik. Selisih dua tahun waktu yang cukup dekat bukan? Apalagi sekarang tinggi badannya mungkin hanya selisih satu cm denganku, ini sungguh menyebalkan. Seperti halnya betapa menyebalkannya hari ini, aku terpaksa jadi supir untuk Ken karena dia dilarang oleh Papa mengemudi sampai waktu ujian sepesai.

"Ken Arok, bener ya Nada kenal sama Bila? Serius juga dia kuliah di Jogja?" tanyaku menyelidik sambil mengemudi untuk mengantarkan bos besar.

Merasa tidak ada jawaban aku mengalihkan pandangan dari jalanan kepada Ken, dia sibuk membolak-balikkan buku catatan. Aku mencibir dalam hati, sistem kebut semalam hah?

"Ken Arok!"

"Berhenti memanggilku seperti itu Kak Ave yang katanya paling ganteng tapi itu fitnah dunia karena gue lebih ganteng," ucapnya ringan, masih tanpa mengalihkan pandangan.

Wait, Ken tadi berbicara panjang lebar dan mengatakan kalau dia lebih ganteng. Itu namanya fitnah.

"Masa bodoh, abis ini aku mau langsung pulang ke Jogja. Nanti aku telp Papa sama Mama buat pamit. Kamu jangan lupa juga pamitin ya," putusku pada akhirnya. Sebuah ide menarik sudah ada di otakku.

"Heh? Kata Papa mau liburan di Surabaya sampai weekend?" tanya Ken dengan dahi berkerut dan kini dengan memandangku heran.

"Ada bisnis!" ucapku misterius dan kemudian menepikan mobil karena sudah sampai di sekolahnya.

Setelah mengantar Ken aku langsung berangkat menuju Jogja. Aku harus menemui Bila untuk sedikit bertanya soal bidadari hatiku. Bila ini adalah anak dari tante Alya, adik dari Papa atau sebut saja Bila itu saudara sepupuku yang paling bawel. Namun satu hal yang pasti aku rela berkorban menghadapi Bila demi Nada. Nada, tunggu abang ya!

**

"Assalamu'alaikum!"

Aku langsung menerobos masuk ke kontrakan Bila saat pintu depan terbuka. Sepupuku ini sedikit aneh, masih bekerja di kota yang sama dengan orangtuanya tetapi lebih memilih menyewa sebuah rumah. Konon, takut dikejar-kejar untuk segera menikah. Ada-ada saja.

"Wa'alaikumussalam." jawab Bila pelan masih dengan tetap duduk di kursinya. Jangan heran kenapa dia enggan menyambutku karena itu adalah hal yang biasa, justru kalau dia berdiri dan memberikan ciuman di pipi kiri dan kanan itu justru luar biasa.

Dua gelas jus jeruk terlihat di atas meja, satu gelas tinggal setengah dan satu lagi masih utuh.

"Ya Tuhan, Bila kamu tahu aja sih Kakakmu yang paling ganteng mau dateng terus disiapin minum," ucapku setelah satu gelas minuman beralih ke dalam mulutku.

"Nambah lagi dong, Bil!" tambahku sambil menyodorkan gelas kosong kepadanya. Dia memutar bola mata sambil mendesis pelan.

"Nambah-nambah emang aku pmbantumu apa? Dateng-dateng seenaknya langsung minum. Panggil Bil Bal Bil dikata aku ababil apa, kamu tuh cuma bocah Ve harusnya manggil Kakak. Capek ya ngasih tahu kamu juga. Ah yaa dan minuman itu bukan buatmu," cerocos Bila panjang lebar. See, seberapa banyak apapun aku berkata-kata dapat kupastikan kata-kata Bila jauh lebih banyak. Sekali lagi kutegaskan kalau dia itu cerewet.

"Ya ampun Bila! Mesti berapa kali aku bilang kalau aku itu lebih tua dari kamu menurut SILSILAH keluarga ya!" tegurku dengan menekankan kata silsilah.

"Iya tapi kamu itu tetep bocah yang lebih muda dari aku, enam tahun itu waktu yang sangat lama asal kau tahu!" sanggahnya tetap tak mau kalah.

"Koreksi lima tahun lebih gak sampai enam.Terus ingat Ayah sama Bundamu sendiri yang bilang kaya gitu. Kamu juga dimarahin kan kalo manggil aku Ave?"

"Itu karena Bunda gak enak sama Papa Alvin. Jadi aturan sopan santun kemana-mana kami harus memanggil keluarga kalian dengan Kak gak peduli pada Caca yang masih bocah sekalipun. Menyedihkan!"

Stop! Kalau perdebatan masalah nama ini tidak kuhentikan berani jamin kalau Bila akan mengoceh berjam-jam. Dia selalu merasa dewasa atau sebut saja tua kalau membahas nama panggilan. Jadi kurasa saat ini pengalihan topik adalah solusi yang terbaik.

"Aku haus Bil, ambil minum dulu ya?" ujarku sambil berdiri dan dijawab dengan sebuah decakan olehnya.

Aku sampai di dapur dan disambut suara berisik air dari kamar mandi. Oh aku baru sadar mungkin tamu yang dimaksud Bila tadi adalah Didi, adiknya yang saat ini ada di kamar mandi. Bah! entah ini rumah keberapa yang kutemui dengan lokasi kamar mandi di dekat dapur, Ck. Mengabaikannya aku memilih menyeleksi minuman di lemari es yang sekiranya menarik hati. Akhirnya aku memilih satu botol minuman dan menuangkannya ke gelas yang ada.

Ceklek.

Suara pintu kamar mandi terbuka, aku menengok sekilas dan demi Tuhan yang ada di depanku sekarang adalah surga dunia.

Pranggg

"AVEEE! Ya Tuhan kamu apa-apain sih ambil minum sampai pecahin gelas segala?" teriak Bila yang suaranya terdengar kian mendekat.

"Bil?" tanyaku dengan suara mendadak gagu. Gadis itu lagi, gadis bernama Nada ada di hadapanku. Dia menatapku!

"Bil, tampar aku sekarang Bil!"

PLAK

"Sakit bodoh!" umpatku saat Bila benar-benar menamparku, bonus dengan tenaga ekstra. Mengabaikan rasa sakit yang ada mataku kembali fokus pada gadis manis di hadapanku. Sosok itu kini tersenyum ke arahku, walaupun itu hanya senyum geli atau meremehkan tetap saja dia tersenyum. Ternyata ini bukan mimpi.

"Kamu yang bodoh, udah tahu sakit masih minta ditabok!"

"Bil, kamu liat surga dunia gak?"

"Hah? maksudnya?"

"Di depan kita sekarang ada surga dunia," gumamku masih dengan mata fokus melihat gadis itu.

Bertemu dua kali dalam keadaan yang sama, sama-sama di dapur, sama-sama dari kamar mandi. Ini pertanda kalau kita jodoh, Nada Sayang!

TBC

Alhamdulillah akhirnya saya bisa lanjutin CI (*-*).. Terima kasih buat yang udah mau nunggu dan juga nagih #kecup.  Silahkan dikritik, asal jangan bilang ini dikitttt karena saya sadar faktanya ini emang sedikit :-D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top