Bagian Lepas
Bagian ini bisa dikatakan bagian lepas, atau bisa juga tidak, sengaja saya tulis untuk keperluan promosi cerita Andra & Rara. Jika penasaran dengan bagian sebelumnya bisa dilihat di lapak D.I.A part terakhir. Oh, iya, info yang disampaikan Vira ini beneran, ya. Insya Allah Andra & Rara akan ada versi cetaknya. Bang Rio sama Rey otomatis eksis di sana. Buat yang belum pernah baca cerita mereka, jangan lupa dibeli ya nanti, infonya akan diupdate di lapaknya *promolagi.
Oke, selamat membaca, semoga kangennya sedikit terobati.
~~~
"Assalaamu'alaikum!" Rio mengucapkan salam dengan semangat. Jam pulang kerja adalah waktu yang selalu dia tunggu. Jam di mana dia bisa bertemu Vira dan Rey.
"Wa'alaikumsalaam."
Rio mengernyitkan kening ketika mendengar jawaban salam, tetapi tidak ada yang membukakan pintu. Biasanya, Rey akan menyambutnya di balik pintu dengan senyum lebar. Begitu pintu dibuka, barulah dia tahu alasan Rey tidak menampakkan batang hidung. Anak itu sibuk dengan bayi Fauzan.
"Ibu mana, Bang?"
"Lagi sama Ziya. Lihat deh, Yah! Dedek Fauzan tadi udah mau merangkak terus jatuh lagi, pasti keberatan perut ya, Yah? Tuh-tuh dia angkat perut lagi, nanti pasti jatuh!"
Baru saja Rey selesai berkata, Uzan yang tadi tengkurap sambil mencoba mengangkat badannya kembali terkapar. Tidak lama kemudian tangisnya terdengar. Rey yang melihat hal itu justru terbahak, membuat Rio menggelengkan kepala geli.
"Makanya, Dek! Kalau mimik asi itu jangan banyak-banyak, jadinya kan endut, lehernya aja sampai ngumpet. Kasihan ya, Yah! Dek Uzan ndak bisa angkat badan," ujar Rey panjang.
Rio yang kasihan melihat Uzan meraung akhirnya membalik badan bocah itu hingga terlentang.
"Kamu itu, Bang! Kalau dedeknya nangis itu didiemin kok malah diketawain."
"Abisnya lucu, Yah! Terus kalau dek Uzan nangis kan sambil merem-merem gitu, bisa ditinggal ngumpet," jawab Rey polos.
"Udah, ah. Dedeknya dijagain, ya. Ayah mau ke ibu dulu."
"Siap, Yah!"
Rio meninggalkan Rey dan Uzan setelah memastikan bocah kecil itu tidak menangis lagi. Sampai di kamar, dia melihat Vira yang sedang menimang bayi Ziya.
"Ya ampun, anak ayah cantik banget habis mandi! Sini ayah cium dulu sini!" ujarnya senang.
Ziya yang tadinya sudah hampir terlelap langsung membuka matanya lebar dan tertawa senang. Tangannya berusaha menggapai tangan besar milik Rio. Vira yang melihat hal tersebut langsung mencebikkan bibir.
"Abang! Ziya itu baru mau tidur, tadi udah merem melek. Kan, dianya jadi kebangun lagi."
"Apanya yang ngantuk sih, matanya masih bulet ini. Ziya mau main sama ayah ya, Nak?"
Vira menggelengkan kepala mendengar jawaban dari Rio. Suaminya itu sekarang justru sibuk duduk di tepi ranjang sambil memangku Ziya yang berceloteh dengan bahasa bayi.
"Tuh lihat, Bu! Ziya-nya aja mau main sama ayah."
"Abang baru pulang, mandi dulu sana ish. Kalau Rara tahu langsung megang bocil dimarahin lho nanti."
"Iya, bentar lagi."
"Abang!"
Rio mengabaikan kalimat Vira dan memilih menggoda Ziya hingga anak itu semakin semangat berbicara. Kalimat yang dia pun tidak mengerti apa maksudnya. Pokoknya bahasa bayi dan hanya Ziya serta Uzan yang mengerti. Hal itu membuat Vira meninggalkan keduanya untuk melihat Rey yang menjaga Uzan.
"Viii! Ke sini, Ziya ngompol!"
Teriakan Rio langsung membuat langkah Vira terhenti dan berbalik kembali ke kamar.
"Kok nggak pakai pampers, sih?" protes Rio yang sekarang sibuk melepas celana basah Ziya.
Vira tertawa. "Itu tandanya Ziya minta ayahnya mandi dulu! Disuruh mandi bandel, sih. Ziya aja pinter. Dia nggak boleh pakai pampers sama Rara kalau di rumah."
**
"Tumben mereka belum dijemput, Vi? Biasanya juga baru bentar udah disusulin sama Rara. Terus biasanya kalau mau dibawa ke sini cuma boleh milih satu, ini kok dua duanya dikasih?" tanya Rio kepada Vira. Si Kembar sudah terlelap sejak beberapa menit yang lalu. Biasanya Rara memang tidak mengijinkan jika keduanya dibawa pulang dan harus memilih salah satu, Uzan atau Ziya.
"Tadi pas abang telepon sama Rey rebutan Uzan atau Ziya, Rara malah bilang suruh bawa dua-duanya aja. Katanya mau sampai malam juga nggak papa, kalau nggak rewel disuruh nginep."
Rio menatap Vira curiga.
"Beneran, Rara kasih dua-duanya?"
"Pasti mereka mau bikin bayi lagi, ya? Makanya mereka disuruh bawa ke sini? Biar bebas?" tanya Rio kemudian.
Vira langsung speechless, dari banyaknya prasangka kenapa harus hal ini yang ada di pikiran Rio. Ck!
"Pikirannya, Bang!" jawab Vira sambil menggelengkan kepala.
"Bukan, ya? Habisnya aneh."
"Rara itu lagi sibuk bikin rajutan. Kalau ada bocil kan nggak bakal bisa, makanya minta dibawa sekalian tadi."
"Emangnya jatah bulanan dari Andra masih kurang?"
Vira kembali menggelengkan kepala.
"Itu lho, Bang. Rara sama Andra kan mau bikin novel yang isinya kisah mereka. Terus Rara mau buka pembelian khusus bonus tanda tangan sama rajutan itu nanti. Pantas aja waktu aku minta dia ceritain gimana dulu bisa nikah sama Andra nggak pernah mau, katanya nanti terus. Ujung-ujungnya kemarin dia promo bukunya."
"Serius mereka jadi bikin buku? Andra mau? Hahahaha, pasti itu Si Andra nanti banyak yang maki-maki," tanya Rio tidak yakin.
"Iyalah seriusan. Emangnya kenapa kok dimaki-maki?" tanya Vira makin penasaran. Rio tidak pernah bercerita lengkap soal adiknya.
"Nanti, kamu baca aja novelnya. Jangan lupa dibeli biar Rara senang."
Vira memutar bola mata. Kakak dan adik sama saja, ujung-ujungnya dia diminta beli dan baca buku. Padahal dia sudah sangat penasaran.
"Kita ikutan bikin novel seru juga kali ya, Vi?" tanya Rio kemudian.
"Nggak usah."
"Kenapa?"
"Biar kisah ini cukup kita aja yang tahu."
Rio memandang Vira tidak mengerti. "Dulu aja, Rara itu sampai merajuk cuma buat minta ijin biar Andra mau kisah mereka dinovelin, tapi Andra tetap nolak lho. Palingan udah bosan direngekin Rara jadinya dia mau. Sekarang beruntung kan aku yang nawarin, kamu nggak perlu kayak Rara."
Vira terdiam. Dia memutar kembali ingatan pertemuan awalnya dengan Rio. Tentang tragedi tabrak sedikit sampai Rey yang suka sekali memanggilnya Ibu. Dia berpikir tidak ada yang istimewa dari kisahnya bersama Rio.
"Nggak ada yang istimewa cerita kita," ujar Vira memberi alasan.
"Siapa bilang?" tanya Rio tidak terima.
Vira langsung menunjuk wajahnya sebagai jawaban.
"Kisah kita itu selalu istimewa, apalagi kalau namamu disebutkan."
"Gombal!"
"Emang! Jadi, besok cerita kita dinovelin ya, Vi? Tapi, kayaknya kurang oke ending-nya kalau Rey belum punya adik. Kita bikin adik dulu buat Rey, terus kalau udah nanti baru bikin novel. Jangan lupa, adiknya yang cewek aja biar kita punya lengkap cewek sama cowok. Nah, sekarang yuk kita bikin adeknya."
Rio berkata sambil tersenyum menyeringai. Dia mengedipkan mata berkali-kali sebagai kode isyarat. Sayangnya niat itu harus terhenti karena suara tangisan Ziya yang terbangun dan diikuti oleh Uzan memecah suasana.
"Ya ampun, ini bocil. Kita pulangin aja, yuk? Ganggu aja."
"Tadi siapa di telepon yang minta Ziya dibawa pulang? Katanya lama nggak ketemu soalnya mereka abis dari Malang. Tahu gitu kan nggak usah aku ajakin."
Suara tangisan dari dua bocah yang diabaikan semakin melengking. Akhirnya Rio dan Vira menghentikan pembicaraan dan memilih menggendong keduanya.
"Abang kok anak aku dibikin nangis, sih? Besok-besok nggak usah pinjam mereka kalau kayak gini," protes Rara yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapan keduanya. Dia langsung mengambil Ziya dari gendongan Rio.
"Apaan sih kamu, Dek. Mereka baru aja bangun terus nangis kok," elak Rio.
Rara manyun.
"Bang Andra mana, sih? Katanya mau nyusul kok lama banget," ujar Rara kemudian.
"Papa datang baby! Cup-cup-cup, sini Uzan digendong sama Papa." Andra yang baru saja muncul mengambil Uzan dari gendongan Vira.
Kedua bocah yang tadinya menangis kencang sudah terdiam di gendongan orangtuanya.
"Ndra, serius cerita kalian mau dibikinin novel? Bukannya kamu selalu nolak sebelumnya?" tanya Rio memastikan cerita Vira sebelumnya.
Andra langsung mendengus.
"Nggak usah dibahaslah, Bang. Adikmu ini ancamannya serem kalau sampai aku nggak kasih ijin. Katanya dia mau menginap di sini terus atau sekalian tinggal di Malang bareng sama Mama-Papa. Enak aja, istri siapa, tinggal sama siapa."
Minta untuk tidak dibahas, tetapi dia sendiri yang berbicara lebar. Dasar, Andra!
"Ancaman maut, ya?" tanya Rio sambil tergelak.
"Iya," jawab Andra pasrah.
"Vi, kira-kira kalau aku kasih ancaman sama kayak Rara gimana?" Rio bertanya kepada Vira.
Vira yang mendengar itu langsung tersenyum lebar. "Nggak usah repot-repot, biar aku bawa Rey buat tinggal di rumah Ayah. Budhe sama Pakdhe pasti senang kalau Rey ada di sana, palingan Toro doang yang manyun."
Rio yang baru saja merasa senang melihat senyum Vira langsung terdiam. Sial, wanita memang suka sekali dengan ancaman.
"Bang, udah malam. Kami pulang dulu," pamit Rara pada akhirnya.
"Nteeee! Dedeknya abang mau dibawa ke mana?" tanya Rey yang baru saja muncul dengan tangan mengusap mata. Dia ternyata terbangun dari tidurnya karena obrolan yang ada.
"Dedeknya mau pulang, Bang! Kan udah malam. Besok lagi ya mainnya."
"Abang ikut, Nte!" rengek Rey yang langsung menggenggam tangan Rara dengan erat.
"Abang, besok pagi aja lihat dedeknya. Besok kan abang libur, jadi boleh main sepuasnya di rumah Nte Rara," ujar Vira mencoba membujuk Rey.
"Abang kan mau tidur sama dedek, Bu! Katanya Dek Uzan itu adiknya abang, terus besok kan libur. Jadi, abang mau tidur di rumah dedek, ya? Janji deh, nanti kalau abang punya adik sendiri tidur di rumah terus nemenin dedek."
Jawaban panjang Rey membuat Vira diam. Rey dengan keinginan mempunyai seorang adik selalu membuatnya tidak berkutik. Seandainya buat adik itu gampang, Rey.
"Ya udah, tapi jangan nakal, ya! Ra, Ndra, nitip Rey." Rio yang melihat Vira diam membuka suara.
"Siap! Tapi, besok pagi Kak Vira ke rumah, ya? Bantuin jaga mereka, aku mau lanjut merajut!" Rara menjawab sambil tersenyum lebar.
"Adik ipar nggak sopan," tegur Rio tidak terima istrinya dijadikan penjaga bocil.
"Abang juga nggak sopan. Anak dititipin tiap kali mau berduaan," sindir Rara tidak mau kalah.
"Kamu, ya!"
"Apa?"
"Kami pulang, Bang. Assalaamu'alaikum semua," teriak Andra untuk menghentikan perdebatan kakak beradik yang akan menjadi panjang. Dia melenggang pergi membawa Uzan dalam gendongan.
"Wa'alaikumsalaam."
"Bang, tunggu!" teriak Rara yang tertinggal di belakang.
"Kak Vira jangan lupa, ya! Sekarang silakan buat adik buat Rey," ujar Rara ketika dia akan menutup pintu. Hal itu membuat Rio geleng-geleng kepala. Namun, ternyata kalimat Rara ada benarnya, dia bisa melanjutkan rencana yang tertunda karena tangisan Si Kembar.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top