Bagian 8

Akhirnya, Rio memutuskan untuk pulang ke rumah. Dia menitipkan Vira sementara waktu ke keluarga Toro. Rey masih dalam tahap penyembuhan sehingga agak rewel. Lagi pula, dia perlu menjelaskan perubahan status kepada Rara. Termasuk rencana akad secara resmi dan resepsi yang disampaikan oleh keluarga Vira.

Ah, memikirkan tanggapan dari Rara saja sudah membuatnya mengelus dada. Adiknya itu pasti akan memberi ceramah sekaligus ucapan selamat yang panjang. Belum tahu saja dia tentang trauma Vira yang terlihat serius.

"Budhe, kalau ada apa-apa jangan sungkan langsung telepon, ya."

"Iya, Vira akan baik bersama kami," ujar Budhe Rila ketika Rio berpamitan.

♥♥

"Beneran Abang nikah sama Kak Vira? Kerennnn!" ucap Rara dengan semangat. Di seberangnya, Andra terlihat menahan tawa. Rio hanya bisa mendengus melihat keduanya.

"Rey! Abang, kamu punya ib-,"

Kalimat Rara langsung terpotong ketika Rio membungkam mulutnya. Rey yang tadinya sibuk menggambar dan sudah menoleh mengerutkan dahi.

"Apa, Nte?" tanya Rey polos.

"Nggak papa, Bang. Kamu lanjut lagi, ya, gambarnya?"

Rey mengangguk dan kembali sibuk dengan gambarnya.

"Abang!" tegur Andra yang langsung dibalas dengusan oleh Rio. Selalu saja, dia harus mengalah kalau sudah dikeroyok. Bahkan membungkam mulut tidak sampai satu menit saja sudah mendapatkan tatapan tajam setajam silet.

Akhirnya, Rio menceritakan pernikahan dadakan serta alasannya dengan rinci. Semua dia ceritakan tanpa kecuali.

"Abang kena karma, dulu juga begitu sama kami," ujar Andra mengingatkan Rio tentang tipudayanya agar mereka menikah.

"Hasilnya bagus, kan?"

"Iya, sih. Semoga ini juga bagus buat Abang."

"Oh, ya, Bang! Terus sekarang apa rencana Abang? Kapan mau nemuin mereka berdua?" tanya Rara penasaran.

"Entahlah, Ra. Abang juga masih bingung. Kondisi Vira masih labil sekarang dan Rey juga nggak mungkin di sini terus."

Rio menghela napas, dia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Keduanya sama-sama membingungkan. Akhirnya, dia justru memilih pergi ke klinik tanpa memutuskan apa pun. Rey masih dititipkan kepada Rara karena enggan pergi sekolah, sementara Vira masih bersama keluarga Toro.

**

Pulang dari klinik, Rio menjemput Rey dan membawanya ke rumah Vira. Setidaknya, dia bisa menempatkan bocah itu di salah satu kamar yang ada.

"Kita ke rumah Ibu, Yah?" tanya Rey dengan mata berbinar. Ingat bahwa ingatan seorang bocah itu sangat tajam? Begitu pun dengan Rey. Dia ingat betul rumah yang saat ini mereka datangi.

"Ibu lagi sakit, Bang. Jadi, nanti Abang jangan nakal, ya. Kalau Ibu sakit, biasanya nggak mau diganggu."

Rey mengangguk mantap, seakan mengerti. Selanjutnya, dia langsung meloncat kegirangan begitu turun dari mobil. Apalagi ketika melihat ada banyak penghuni rumah ini. Dia yang biasa sendiri, langsung tersenyum senang, merasa punya banyak teman. Yeah, risiko keluarga kecil.

"Salam, Bang!" tegur Rio mengingatkan.

"Assalaamu'alaikum," keduanya mengucap kompak dan dijawab oleh penghuni rumah.

"Yo, Vira belum makan. Sekarang coba kamu suruh makan, biar Rey bersama kami."

Kalimat pertama dari Budhe Rila membuat Rio menghela napas. Masa iya masalah makan dia juga yang urus? Rey saja kalau lapar suka minta makan kepada Simbok.

"Dia masih belum mau bicara, kerjaannya cuma nangis sama tidur." Budhe Rila menjelaskan, seakan tahu apa yang menjadi pikiran Rio.

"Abang ikut sama Om Toro, ya?
Ayah mau ke dalam dulu."

Rey mengangguk patuh dan menurut ketika Toro mengajaknya bermain sepeda. Sekarang, giliran Rio yang bertugas dan harus bekerja keras. Dia masuk ke kamar Vira dengan pelan, langkahnya terasa berat, seperti orang divonis mati.

"Elvira," gumamnya memanggil Vira yang sedang duduk sambil memeluk lutut.

"Elvira," panggilnya lagi ketika dia tidak mendapatkan jawaban.

"Vi, sekeras apa pun kamu menyesal atau menangis, semua tidak akan kembali seperti semula. Lalu, sekarang apa yang kamu harapkan? Ayah tidak mungkin bangkit dari kubur. Kita sudah ada di alam yang berbeda. Kamu harus tetap melanjutkan hidup."

"Ayah ... pergi ...."

"Terus?"

"Aku ... aku sama siapa?"

Rio berdecak, "Vi, masih ada kami di sini. Kamu anggap kami semua ini patung? Kami juga keluargamu. Pokoknya sekarang kamu makan, atau aku juga akan ikut pergi!"

"Jangan ... jangan pergi!" ujar Vira lirih. Dia melirik makanan yang ada di nakas dan mengambilnya pelan.

Rio langsung menyeringai penuh kemenangan. Akhirnya, dia tidak perlu ceramah lebih panjang. Melihat Vira akhirnya mau menyentuh makanan, itu sudah membuatnya lega.

"Ayah!" suara Rey dengan kepala muncul di balik pintu memecah keheningan. Lagi, Rio menghela napas ketika Vira menjatuhkan piringnya.

"Kamu siapa?" tanya Vira ketus.

"Itu anakku. Anakmu juga. Kamu belum amnesia kan waktu minta dinikahi?"

"Pergi!" teriak Vira yang membuat Rey langsung beringsut. Anak itu langsung berlari dan bersembunyi di balik punggung ayahnya.

"Elvira! Jangan pernah bentak dia!" tegas Rio yang mulai tersulut emosi. Dia tidak suka jika seorang melukai hati putranya. Melihat Rey yang ketakutan, juga membuat hatinya terluka.

"Abang nggak nakal kok, Yah!" lirih Rey sambil terisak pelan.

"Iya, Abang nggak nakal kok. Sekarang kita ke depan, ya?" Rio berkata pelan sambil membalikkan badan. Dia menggendong Rey yang langsung menyembunyikan kepala di lehernya.

"Bereskan makananmu, kalau sudah aku ada di depan," ujarnya sambil berjalan. Meninggalkan Vira yang masih diam di tempat.

Rio langsung duduk di ruang tamu yang di sana sudah ada Toro. Lelaki itu menatap keduanya dengan prihatin dan penuh penyesalan.

"Maaf, Rey tadi langsung lari ke sana. Katanya mau cari ayah sama ibu."

"Nggak papa, Ro. Ini bukan salah siapa pun," jawab Rio pelan.

"Rey, Abang, udahan dong nangisnya. Masa anak Ayah nangis, sih? Katanya mau jadi abang dedek kembarnya nte Rara? Nggak boleh cengeng dong."

Rio mengusap bahu Rey pelan, membuat anak itu menjauhkan badan, masih dengan sisa isakan yang ada.

"Abang nggak nakal, Yah. Abang nggak cengeng," ujar Rey pelan.

Rio mengangguk paham, "Iya, Abang nggak nakal, nggak cengeng juga. Malam ini Abang tidur tempat nte Rara aja, ya?"

"Ayah?"

"Ayah ada kerjaan, besok pagi-pagi Ayah jemput dan antar ke sekolah. Oke, jagoan?"

Rey mengangguk mantap, wajah sembabnya masih tampak dengan jelas.

Setelahnya, Rio membawa Rey ke rumah adiknya. Sebenarnya dia tidak enak terus merepotkan Rara, tetapi apa boleh buat. Beruntung ngidamnya Rara tidak suka dekat dengan Andra sehingga Rey bisa tidur bersama. Urusan Andra yang tidur di kamar lain, dia tidak peduli.

Sepeninggal Rio, Vira mulai membereskan makanan. Dia tahu kalau bentakannya tadi adalah satu-satunya cara untuk dia bertahan. Namun, hal yang tidak dia duga adalah kemarahan Rio. Lelaki itu langsung berubah dingin terhadapnya. Dari jendela kamar, dia bisa melihat keduanya pergi. Kenapa tidak ada yang mau mengerti dia? Dia butuh waktu untuk menerima keadaan.

Vira pergi ke dapur dan disambut dengan ocehan Toro.

"Terima kasih, Tuhan. Akhirnya Tuan Putri keluar dari singasana," ujar Toro dengan dramatis.

"Ro!"

"Iya, aku diam." Toro langsung menutup mulut ketika Vira mulai membentak. Senyum terukir di wajahnya, dia tahu kalau Viranya sudah kembali.

Vira mencuci piring dan langsung duduk bergabung dengan Toro.

"Aku harus gimana?" tanyanya lirih. Dia memandang Toro dengan wajah penuh tanya.

"Pelan-pelan. Jangan dipaksakan. Nanti akan tiba waktunya kamu bisa menerima Rey. Semua butuh proses."

Faktanya, proses yang disebut Toro bukanlah hal yang mudah dan singkat.

♡♡

Mbok Minah, asisten rumah tangga sudah mengundurkan diri karena memiliki cucu baru beberapa hari yang lalu. Saat ini semua harus dikerjakan Rio sendiri. Setiap hari, setelah pulang kerja, Rio akan mengantarkan Rey ke tempat Rara dan menunggunya hingga terlelap. Setelah itu, dia akan pergi ke rumah Vira. Dia ada di sana untuk menghabiskan malam. Tidak ada yang spesial dalam hubungannya dengan Vira. Mereka masih bagai dua orang asing yang terpaksa hidup bersama. Keesokan harinya, dia akan kembali ke tempat Rara untuk menjemput Rey dan mengantarkan ke sekolah. Nampaknya, kejadian malam itu sukses membuat Rey sedikit melupakan keinginan soal ibu.

Rara yang melihat abangnya super sibuk mulai merasa jengah.

"Abang sampai kapan mau kayak gini?" Abang nggak capek?" tanya Rara ketika Rey sudah tidur.

"Mau gimana lagi, Ra. Vira belum mau diajak pindah rumah. Terus, dia juga masih belum mau bertemu Rey. Setiap kali Abang bilang Rey mau ketemu, dia jawab nanti," ujar Rio pasrah.

Lelah? Jangan tanya, pasti dia merasakannya. Namun, dia tidak punya pilihan. Vira masih dalam tahap kehilangan. Wanita itu sudah lebih baik dari sebelumnya. Dia sudah mau berinteraksi dengan orang lain. Walaupun masih banyak diam dan menolak bertemu Rey. Mungkin memang belum saatnya. Ketika Rio mengajak pindah rumah, dia juga menolak dengan alasan ingin dekat dengan ayahnya. Alasan yang kembali membuat Rio menghela napas.

"Kalau begitu biar Rara aja yang bicara. Besok, aku ke tempat Kak Vira. Kita nggak boleh begini terus, rasa takut itu untuk dilawan, bukan dipelihara. Minimal, kalau Kak Vira mau pindah rumah, Abang nggak terlalu kecapekan. Rumah kita cuma berjarak seratus meter. Berbeda kalau sekarang, jauh."

Rara berkata panjang. Dia memang pernah diajak ke tempat Vira. Awalnya dia berempati dengan keadaan kakak iparnya, tetapi kalau terus begini lama-lama dia menjadi kesal juga. Bagaimana semua bisa lebih baik kalau tidak dimulai dari diri sendiri.

"Biar nanti malam Abang bicara sama dia."

Rara menyipitkan mata, "Kalau Kak Vira masih nolak, besok aku tetap mau ke sana."

"Iya, sekarang Abang pergi dulu, ya."

"Abang!" teriak Rara yang menghentikan langkah Rio. Lelaki itu menengok ke belakang.

"Abang itu juga manusia biasa, butuh istirahat. Kalau terus diforsir ke sana dan ke sini bisa drop," Rara berkata prihatin. Kalau keadaannya seperti sekarang, dia menjadi menyesal sudah mendukung Rio malamar Vira.

Rio tersenyum tipis, "Wassalaamu'alaikum"

♡♡

"Kamu udah makan?" tanya Rio setelah mendaratkan badannya di sofa. Dia memejamkan mata, merasa sangat lelah.

"Udah. Aku buatin teh dulu," jawab Vira sambil beranjak pergi.

Tidak lama kemudian, Vira sudah kembali dengan teh hangat di tangan.

"Elvira, kita pindah ke rumahku, ya?" tanya Rio pelan, masih dengan memejamkan mata.

"Tap-"

"Vi, sampai kapan?" potong Rio cepat ketika akan mendengar penolakan dari Vira. Matanya telah terbuka dan menatap wanitanya dengan lelah.

"Beri aku waktu, Bang."

"Ini udah lebih dari satu minggu. Berapa lama lagi waktu yang kamu butuhkan? Satu bulan? Satu tahun? Toh, walaupun udah pindah ke sana, kita masih bisa berkunjung ke sini. Biar Toro yang bantu jaga rumah ini."

Vira menghela napas. Sebenarnya alasan dia tidak mau pindah adalah untuk menghindari Rey. Dia tidak suka kehadirannya. Dia takut hal buruk akan terjadi kepada anak itu jika berada di dekatnya.

"Nanti," jawab Vira pada akhirnya.

Rio mendengus, sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menuju kamar. Meninggalkan Vira dengan teh hangat yang masih utuh. Dia kesal, tetapi juga tidak mau memaksakan kehendak jika Vira belum siap. Jadi, serba salah, kan? Dia tidak mau berdebat dan menghindar adalah solusinya. Dia lelah dan butuh istirahat. Sepertinya Rara benar, dia hanya manusia biasa yang bisa saja drop. Sekarang badannya terasa sangat lelah.

"Jangan tumbang sekarang," lirihnya pelan. Matanya sudah memaksa untuk terpejam.

Seringkali, kita lebih memilih menghindar daripada melawan keadaan dan keluar dari zona nyaman. Hal itu membuat kita tetap pada posisi yang sama, tidak ada perubahan.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top