Bagian 28


"Beneran abang mau punya adik, Bu?" tanya Rey memastikan kepada Vira.

Vira akhirnya memutuskan untuk memberitahukan hal ini kepada Rey. Rasanya ada kebahagian tersendiri ketika dia bisa mewujudkan keinginannya. Dia mengusap rambut Rey sambil mengangguk pelan.

Rey menatap Vira dengan berbinar.

"Asikkk! Abang punya adik sendiri!" teriak Rey sambil turun dari kursi. Dia kegirangan. Namun, tidak lama kemudian aksinya berhenti. Dahinya terlihat berkerut memikirkan sesuatu.

"Bu!"

"Ya?" tanya Vira sambil mengernyitkan dahi.

"Adiknya ada di perut ini, ya?" Rey bertanya sambil mendekat ke Vira dan menunjuk perut yang masih terlihat datar.

"Iya, Bang."

Rey terlihat berpikir, tidak puas dengan jawaban dari Vira.

"Kenapa, Bang? Ada yang salah?"

"Kok perutnya ndak gede, Bu? Nte Rara sama Bu Guru pas mau punya adik perutnya gede."

Vira tertawa, lucu dengan tingkah Rey yang tiba-tiba diam dan ternyata karena penasaran dengan perutnya yang datar. Ya ampun, Rey!

"Nanti nambah gede, Bang. Sekarang dedeknya masih kecilllllll banget," kata Vira sambil menyatukan telunjuk dan ibu jari.

Rey mengangguk-anggukan kepala sambil bergumam. "Ohh, gitu."

Dalam hati, Vira berdoa semoga anaknya kelak bisa menjadi anak yang menggemaskan seperti Rey. Sejujurnya dia ingin anak perempuan biar keluarganya lengkap, tetapi menginginkan hal itu sama saja seperti mengkhianati Rey. Ah, sudahlah. Anak itu adalah karunia dari Allah SWT, baik laki-laki maupun perempuan adalah titipan. Dia tidak ingin banyak meminta, asalkan bayinya sehat itu sudah cukup.

Jam menunjukkan pukul 15.30. Rey masih terus bertanya soal calon adiknya.

"Abang, ngobrolnya nanti lagi. Sekarang mandi, yuk? Ini hari Rabu, abang ngaji lho."

"Ngajinya libur, Bu."

"Kata siapa?" tanya Vira heran. Setahunya tidak ada info kalau pengajian diliburkan.

"Kata abang, kan abang hari ini mau nemenin dedek."

Belum lahir saja sudah malas seperti ini, apalagi kalau nanti sudah lahir. Vira menggelengkan kepala geli. Rey sesekali mengusap perutnya dan berbicara sendiri.

"Abang nggak boleh malas. Sekarang ngaji biar pinter, terus nanti adiknya diajarin ngaji sama abang."

"Abang udah pinter."

"Masa?"

"Iya. Ini ibu dengerin abang nyanyi, ya.

~Alif, Ba', Ta', Tsa', Jim, ... Hamzah, Ya'!~"

Rey menyanyikan huruf hijaiyah sama seperti video Ipin-Upin yang mengaji. Video itu sering dimainkan Vira ketika Rey menjelang tidur.

"Itu lagu, Bang. Coba kalau huruf jim bentuknya gimana?" tanya Vira kemudian.

Rey terdiam sebentar, lalu bersorak tidak lama kemudian.

"Ah! Abang tahu. Huruf jim itu tangannya Om Bajak Laut."

"Ta?"

"Perahu punya Alvin."

"Wihhhh, abang pinter, ya?" puji Vira tulus.

"Iya, kan abang suka nonton Diva sama Mpus yang main ke taman hijaiyah."

Vira tersenyum puas, memutarkan video kepada Rey memang bermanfaat. Terbukti dari video yang dia download membuat Rey hafal huruf hijaiyah, meskipun baru pelajaran dasarnya.

"Coba kalau baca Al-Quran yang sering dibaca ayah sama ibu, bisa?"

Rey menggeleng. "Itu susah, Bu. Hurufnya digandeng-gandeng. Abang nggak ngerti."

"Nah, makanya abang sekarang ngaji. Belajar biar nanti bisa baca Al-Quran, ya?" tawar Vira mencoba membujuk.

"Kan di rumah abang juga belajar baca."

Vira terdiam, berbicara dengan Rey memang diperlukan memutar otak. Entah kenapa berbagai pertanyaan selalu saja muncul dari otak kecilnya. Padahal tujuannya hanya satu, membuat Rey dengan senang hati bergegas ke luar rumah untuk menuntut ilmu. Dengan ikut TPA, selain bisa belajar membaca juga belajar bagaimana bersosialisasi. Tapi, seringkali jika sedang sibuk dengan hal yang disukai Rey lupa diri.

"Abang," panggil Vira setengah merajuk.

"Sekaliiiii aja, Bu. Abang bolos sekali, ya?"

Sekali dalam seminggu, akan menjadi 4 kali dalam sebulan.

"Nggak boleh."

"Ah, Ibu ndak seru!" kata Rey sambil turun dari sofa dan berjalan sambil menghentakkan kaki menuju kamar mandi. Dia enggan, tapi terpaksa menurut.

Melihat hal itu, Vira tertawa senang. See, walaupun banyak alasan tetapi Rey tetap pergi juga.

**

Vira sedang menata buku yang baru saja dibawanya dari rumah Rara. Buku itu adalah semua hal tentang kehamilan. Rara yang mendengar kabar kehamilannya langsung dengan semangat menaruhnya dalam tas untuk dibawa pulang.

'853 nama bayi islam'

Vira mengambil buku itu dan langsung duduk di kursi. Matanya meneliti satu per satu nama yang ada.

Arfan

Azzam

Azril

Adiba

Amira

Anisa

Ya, ampun. Semua nama bayinya bagus-bagus, artinya pun tidak ketinggalan bagusnya. Dia jadi galau sendiri.

"Ngapain, Vi?" tanya Rio yang menyusul masuk ke dalam, membuat Vira terhenyak karena tidak mendengar suara sebelumnya.

"Abang udah pulang?"

"Iya, tadi pas kebetulan di mushola bubaran ngaji, jadi aku bawa Rey sekalian."

"Oh."

Rio berdecak, seingatnya dia yang bertanya terlebih dahulu.

"Kamu lagi ngapain? Serius banget sampai suami dianggurin?"

Eh.

Vira langsung menaruh bukunya kembali, ingat kalau Rio baru pulang dan dia belum melakukan penyambutan. Dia berdiri untuk menghampiri Rio, menyalami tangannya, dan mengamankan tas kerjanya.

"Ya, ampun. Aku nanya kok dicuekin sih dari tadi?"

Astaghfirullah.

Vira tertawa. "Aku lagi senang sampai lupa kalau abang nanya terus. Itu lagi baca buku nama bayi dari Rara. Bagus-bagus semua sampai bingung sendiri."

Rio tersenyum mendengarnya. Dia teringat sudah menyiapkan sebuah nama tepat sehari setelah mendapat kabar bahagia itu.

"Rana Nurul Wafa," ujar Rio datar dan pelan.

"Kenapa, Bang? Siapa tadi?" tanya Vira tidak mengerti.

"Rana Nurul Wafa."

"Iya, dia siapa terus kenapa?"

"Itu nama adik Rey nanti. Dipanggil Rana atau Rai."

Vira melongo takjub. Di saat dia baru mulai membuka referensi nama, ternyata Rio sudah memiliki satu nama. Satu hal yang akhirnya membuat dia berdecak pelan ketika menyadari nama tersebut untuk bayi perempuan.

"Kalau laki-laki?" tanyanya kemudian.

"Nggak tahu, belum kepikiran. Adeknya kan nanti perempuan," kata Rio penuh percaya diri.

Oke cukup, kalau sudah seperti ini Vira memilih mengabaikan Rio yang mulai bermimpi. Kemarin, pulang dari bekerja, tahu-tahu Rio sudah membawa bando bayi berwarna pink. Katanya, matanya sudah terjerat ketika pertama kali melihat bando itu saat dia ke supermarket membeli susu untuk Rey.

"Aku lihat Rey bentar sekalian manasin sayur. Abang mandi dulu aja," ujar Vira undur diri.

Dia langsung melangkah ketika Rio sudah menganggukan kepala.

**

"Ayah ngapain ke sini, sana pergi!" ujar Rey sambil mendorong tubuh Rio yang baru saja berbaring di samping kirinya.

Vira yang ada di samping kanan Rey tertawa melihat hal itu. "Kenapa, Bang?

"Kasurnya abang kan sempit, Bu. Cuma muat bertiga, kan udah ada abang, ibu, sama dedek. Ayah sana pergi!"

Rey kembali berusaha mendorong tubuh Rio yang masih tetap diam, tidak terpengaruh dorongan tangan kecil.

Rio menatap Rey dengan frustrasi. Bagaimana bisa dia diusir hanya karena calon bayi yang ukurannya saja belum sebesar ibu jari. Pun masih di perut sehingga tidak makan tempat.

"Abang, dedeknya kan masih kecil. Masa ayah tidur sendiri?"

"Dedeknya masih kecil, ayah udah gede. Makanya ayah tidur sendiri," kata Rey tetap tidak mau kalah.

"Abang duluan ke kamar gih, Rey-nya tadi matanya udah sipit jadi belo lagi diajakin debat."

Vira yang melihat pertengkaran keduanya membuka mulut. Rey yang mendapatkan dukungan langsung menjulurkan lidah, disambut dengan Rio yang berwajah datar. Rio pun mengalah dan bangkit untuk menuju kamarnya.

"Lihat, Vi! Anakmu itu, keseringan kamu manjain jadi begitu."

Vira memutar bola mata, mengabaikan kalimat Rio. "Abang, kita lanjut ceritanya, ya?"

Rey mengangguk. Tidak lama kemudian, dia sudah terlelap. Vira menyelimuti Rey dan menutup pintu kamar. Satu bayinya sudah aman.

"Kok Rey tahu soal adik, Vi? Kamu udah cerita?" cecar Rio ketika Vira baru saja membuka pintu.

Vira teringat kejadian tadi sore. "Iya tadi sore cerita. Rey abis pulang dari tempat Rara manyun nggak boleh bawa Uzan. Eh, abis dikasih tahu dianya nggak mau ngaji."

"Apa hubungannya sama ngaji?"

"Kata Rey, dia mau nemenin adiknya. Terus aku bilang kalau dia bisa ngaji kan nanti bisa ngajarin adiknya. Rey jawab kalau dia udah pintar ngaji, hafal huruf hijaiyah. Dia nyanyi tuh lagu huruf hijaiyah-nya Ipin Upin. Pokoknya ada aja alasannya buat bolos, akhirnya dia mau berangkat walaupun mukanya dilipet."

Rio mencoba membayangkan apa yang Vira ceritakan. Ekspresi ngotot dan manyunnya Rey langsung muncul di kepala. Dia tertawa renyah. Rey memang tidak ada tandingannya kalau dalam urusan merajuk.

**

-Abang, mau rujak ice cream-

Sebuah pesan masuk dari Vira membuat Rio hilang konsentrasi. Dia baru saja kembali bekerja setelah istirahat. Ada beberapa pasien yang sudah menunggu untuk diperiksa. Akhirnya dia memilih untuk menghubungi Inasya.

"Assalaamu'alaikum, In, kamu udah istirahat?" tanyanya.

"Wa'alaikumsalaam. Sudah, Yo. Kenapa?"

"Oh, oke. Nggak papa, makasih, ya."

Obrolan diakhiri begitu saja, meninggalkan pertanyaan dalam benak Inasya. Tapi, dia tidak mau ambil pusing dan memilih melanjutkan pekerjaannya.

Tidak habis ide, Rio mencoba menghubungi Andra di ruangan sebelah. Hendak meminta pertolongan.

"Ndra, saya ijin sebentar, ya. Mau beli rujak ice cream buat Vira," kata Rio setelah bertukar salam.

"Abang kan baru aja dari luar. Kok nggak dari tadi?" terdengar protes dari Andra di ujung telepon

"Mintanya baru sekarang."

"Dua jam lagi juga abang udah jam pulang."

"Bentar doang kok, Ndra. Cuma satu jam langsung balik, kamu urus di sini, ya?" pintanya mencoba membujuk Andra yang menolak menggantikan pekerjaannya.

"Abang nggak lihat itu antrian? Masih banyak."

Rio menghela napas. Adik iparnya kini memang sudah mulai sering membantah sejak menjadi rekan kerja degan level yang sama.

Akhirnya dia pun mengeluarkan jurus terakhir yang dia miliki. "Ndra, kamu nggak lupa kan kalau dulu waktu Rara hamil saya yang urusin?"

Terdengar dengusan kasar dari Andra. Kesal karena setiap kali keinginan Rio tidak dituruti, selalu saja mengungkit masa lalu.

"Bang, katanya kalau kebaikan itu nggak boleh terus diungkit-ungkit. Nanti pahalanya dihapuskan."

Andra tersenyum ketika Rio diam tanpa meminta lagi. Suaranya hilang seperti ditelan bumi. Sambungan telepon belum terputus, tetapi hening.

"Bang?"

"Ya udahlah, Ndra. Moga aja ponakanmu nggak ileran."

Rio menjawab dengan kesal dan langsung menutup telepon. Dia benar-benar merasa sebagai ayah yang tidak berguna. Mengacak rambutnya dengan asal, Rio mengambil ponsel, rasanya tidak tega mengetik balasan yang menolak permintaan Vira. Ah, salahnya sendiri yang terlalu protektif sampai-sampai kunci mobil Vira dia bawa agar istrinya tidak mengemudi.

Di tempat lain, Andra terus mengulang kalimat Rio. Kalimatnya terdengar biasa, tetapi membuat hatinya sedikit teroyak. Seperti kalimat dari orang yang sudah sangat putus asa.

"Ya udahlah, Ndra. Moga aja ponakanmu nggak ileran."

Sial.

**

"Gimana, gimana, Kak?" tanya Rara dengan semangat. Ziya yang sedang dalam gendongan pun sampai menatap mamanya. Mungkin jika bayi itu bisa berbicara, sudah bertanya kenapa mamanya bisa heboh seperti sekarang.

"Katanya oke," jawab Vira membaca ulang pesan dari Rio. Balasan atas pesannya, hanya tiga huruf, oke.

Beberapa menit yang lalu, Rara sukses membuatnya gatal untuk mengirimkan pesan. Adik iparnya bilang kalau masa kehamilan itu saatnya uji kecekatan suami. Akhirnya, rasa penasaran atas respon Rio jika dia meminta hal dadakan membuatnya mengirimkan pesan. Pesan untuk membelikannya rujak ice cream. Namun, sekarang saat Rio mengatakan kesanggupannya, ada rasa bersalah menghampiri. Dia sudah mengganggu waktu suaminya bekerja.

"Aku cancel aja ya, Ra. Kasihan, Abang. Dia nanti jadi bolak-balik padahal dua jam lagi pulang."

"Janganlah, nggak papa sekali-kali. Kalau di-cancel nggak tahunya abang udah di jalan kan, kasihan."

Vira menggigit bibir. Dia bingung hanya karena rujak. Ah, seharusnya dia tidak perlu menuruti ide konyol Rara.

Rara melihat Vira yang sedang terdiam, akhirnya dia menjadi merasa bersalah juga.

"Nanti kalau abang sampai minta maaf aja," katanya pelan, mencoba memberi solusi.

Vira menghela napas, sepertinya memang lebih baik dia menunggu Rio datang.

Tiga puluh menit sudah berlalu, yang ditunggu belum muncul juga. Tidak ada pesan, juga tidak ada telepon.

"Buuuuu, ada kakak cantik!"

Suara teriakan Rey yang ada di teras rumah terdengar sampai dalam. Vira yang tadi sedang menggantikan Rara untuk memangku Ziya bangkit berdiri untuk ke ruang depan.

"Tumben, Nin ke sini? Nyari Rara, ya? Ada tuh di dalam lagi nidurin Uzan," tanyanya ketika melihat Nia, adik ipar Rara muncul di siang hari. Sejauh ini Nia belum pernah datang ke rumahnya. Mereka hanya beberapa kali bertemu di rumah Rara.

"Ah, nggak, Kak. Ini tadi Bang Andra nyuruh aku ke sini buat beliin rujak ice cream. Dia bilang urgent pake banget. ASAP!" Nia menjawab sambil mengulang kalimat Andra di pesan whatsapp. Dia sudah bilang kalau ada kelas, tetapi dengan masa bodohnya Andra cuma menjawab dengan dua kata yang diakhiri tanda seru.

URGENT! ASAP!

Vira tersenyum kikuk, ternyata Nia ikut menjadi korban keisengannya.

"Jadi, kamu yang akhirnya beli, Nin? Ah, abang nggak keren. Kirain dia bakal datang ke sini sambil lari-lari kecil terus abis itu kasih rujak langsung balik kerja lagi," kata Rara yang baru datang dari arah kamar. Dia sedikit kecewa karena yang terjadi tidak seperti harapan.

"Suaminya kakak tuh, kalau nyuruh pokoknya semua dibilang urgent," gerutu Nia.

Rara tertawa, satu-satunya orang yang menurut dengan suaminya memang hanya Nia. Jadi, Nia yang sering menggerutu sudah tidak asing di telinga. Melihat rujak yang dibawa, dia pun ikut tergiur. Rara langsung mengambil mangkuk dan membawanya ke meja. Dia biarkan saja Ziya yang sudah dipangku kembali oleh Vira. Sementara Nia duduk di seberang Vira sambil mengipasi wajah dengan buku, kepanasan.

"Buuuuu, ada Om Toro!"

Suara teriakan dari Rey kembali terdengar. Anak itu dari tadi memang sibuk bermain truk mainan di teras sejak para bayi sudah mengantuk.

Toro mengucapkan salam dan langsung melenggang masuk ke dalam setelah menyapa Rey. Dia berhenti tepat di hadapan tiga wanita berada.

"Vi, ini rujak ice cream pesan...an," kalimat Toro terhenti di ujung lidah. Dia mengernyit heran ketika melihat Rara sedang menuang rujak ke mangkuk.

What the hell!

Dia sudah rela ijin kepada bos demi semangkuk rujak ice cream karena Rio yang terus membujuknya. Namun, sekarang saat dia sudah sampai, sudah ada rujak lain di mangkuk.

Nanti kalau ponakanmu ileran gimana, Ro?

Kamu mau diilerin kalau lagi gendong?

Ayolah, Ro. Please, demi keponakanmu.

Kalimat-kalimat Rio di telepon terngiang di telinga, sementara laporan bulanan yang belum selesai muncul seperti ada di depan mata. Toro mendesah, dia sekarang masih harus kembali ke kantor dan lembur untuk menyelesaikannya.

Bodo amat dengan keponakan ileran!

Mulai besok, dia akan mengabaikan permintaan Rio yang berhubungan dengan calon keponakannya. Seharusnya Rio yang siap siaga, kenapa dia juga? Gezz.

Alangkah baiknya jika kita tidak terus mengungkit kebaikan yang sudah lalu. Karena pada saat melakukannya, bukankah kita tidak mengharapkan imbalan di masa depan?

TBC.

Assalaamu'alaikum.

Lama, ya baru update? Terima kasih buat teman-teman yang sudah mau menunggu mereka, maaf membuatmu menunggu *.*. Rencananya kalau tidak ada perubahan, part depan cerita ini bakalan selesai, kemudian 1 part lagi bonus cerita dan tutup lapak. Tapi, kapan mau diupdatenya belum tahu ><. Jadi, misal ada kritik dan masukan untuk cerita ini boleh banget, ya.

Sankyu,

Alyaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top