Bagian 27

Vira berulang kali membalik kalender meja. Perasaannya menjadi campur aduk, antara senang dan juga khawatir. Dia takut kecewa. Hari ini sudah telat satu minggu dari jadwal bulanan. Dia ingin mengecek, tapi takut kekecewaan itu akan membuatnya down seperti beberapa bulan lalu. Akhirnya, dia memilih aman, menunggu lebih lama lagi.

Hal yang sama dilakukan oleh Rio tanpa sepengetahuan Vira. Siapa sangka kalau dia juga memberi tanda sendiri di kalender tempat kerjanya sejak beberapa bulan lalu. Kali ini dijamin aman, Vira tidak akan tahu kalau dia diam-diam memerhatikan tanggal. Dia tersenyum tipis ketika tanggal terus berjalan tanpa tanda seru. Harapan itu mulai tumbuh sedikit, demi sedikit. Namun, dia takut harapannya harus kembali pupus. Dia juga tidak berani meminta Vira untuk melakukan tes sederhana sekadar menggunakan test pack. Istrinya itu terlalu sensitif jika sudah menyangkut momongan. Wajahnya akan langsung seperti langit mendung jika ada yang bertanya tentang hal tersebut. Lalu, di malam hari akan turun hujan deras sebagai pelampiasan. Esoknya, barulah terang datang. Bayangkan kalau setiap hari ada yang bertanya? Yang ada setiap malam dia mati gaya hanya bisa melihat Vira menangis.

Rio menatap apotek yang terlihat dari lampu merah. Jarinya sudah gatal ingin menepi setelah lampu berubah hijau.

Beli, nggak, beli, nggak!

Ah, sudahlah. Nanti saja!

Beli aja kali, ya?

Akhirnya, Rio tetap berjalan lurus tanpa menepi. Wajahnya berubah murung, seperti Rey kalau keinginannya tidak terpenuhi.

**

Satu Minggu kemudian, Vira masih belum mendapatkan jadwal bulanan. Penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan tes dengan test pack, tentu saja tanpa sepengetahuan Rio.

Detik demi detik berlalu, tidak ada tanda bahagia yang muncul.

Anda belum beruntung!

"Ibuuuu!"

Suara teriakan dari kamar sebelah membuat Vira dengan cepat membereskan test pack dan bungkusnya ke tempat sampah. Rey akan menangis setiap bangun tidur jika tidak menemukan orang lain selain dirinya di dalam kamar.

"Ibu ke mana aja? Abang kira di rumah sendiri," tanya Rey yang sudah nyaris terisak.

Vira tersenyum lembut. Lima hari yang lalu, dia terpaksa meninggalkan Rey yang sedang tidur karena gas habis ketika sedang memasak. Rey terbangun pada saat yang tidak tepat. Vira kembali dengan disambut suara tangisan dari Rey yang terkunci di rumah. Sejak hari itu, Rey setiap bangun tidur akan berteriak untuk mencari ayah atau ibunya.

"Ibu lagi beres-beres. Nggak pergi ke mana-mana, kok."

"Bohong! Kemarin abang tidur terus ibu sama ayah pergi. Abang di rumah sendiri, ndak bisa keluar," ujar Rey sambil mencebikkan bibir.

Antara mau tertawa dan juga merasa bersalah. Akhirnya Vira mengusap kepala Rey dengan sabar.

"Nggak lagi, janji. Sekarang pipis dulu, yuk, Bang? Sekalian mandi, ya?"

"Abis mandi ke tempat dek Uzan, ya, Bu?" tanya Rey dengan berbinar.

"Adeknya lagi pergi kan ke rumah Opa Revan."

Rey langsung menekuk wajahnya, kecewa. "Kok lama banget, Bu? Ndak pulang-pulang."

"Besok pagi baru pulang. Udah, yuk sekarang mandi dulu. Nanti habis mandi kita jalan-jalan naik sepeda."

Namanya anak kecil, mudah sekali dipengaruhi. Wajah Rey kembali berbinar menerima tawaran dari Vira.

"Naik sepeda ke rumah Om Toro ya, Bu?"

Vira langsung menatap Rey tidak percaya. Kalau ditolak nanti Rey pasti cari-cari alasan untuk tidak mau mandi. Musim penghujan ini entah mengapa Rey jadi pemalas. Ketika diminta mandi selalu bilang dingin, ditawari dengan air panas juga tidak akan berpengaruh. Katanya cukup cuci muka saja. Tapi, kalau diiyakan, rumah Budhe Rila itu berjarak hampir satu kilometer. Bukan jalan-jalan namanya, tetapi olahraga. Ujung-ujungnya Rey akan lelah menaiki sepeda roda empatnya dan akan minta digendong.

"Sepedanya dinaikin mobil, ya? Nanti main sepedanya di rumah Om. Mau?"

Rey menggeleng.

"Terus?" tanya Vira kemudian.

"Naiknya dari sini. Kayak kalau kita ke rumah Dek Uzan, Bu. Ibu jalan terus abang naik sepeda gitu."

Rumah Dek Uzan kan cuma lima puluh meter, Rey! Seperduapuluhnya.

"Ya udah, sekarang abang mandi. Nanti kalau ayah pulang, jalan bareng ayah, ya?"

"Oke!"

Vira tersenyum puas, masalah Rio yang mengomel panjang dan protes urusan nanti.

Satu jam kemudian, Rey berubah menjadi lebih segar dan sudah duduk manis di sepeda kecilnya. Dia sedang menunggu Vira yang pamit untuk mengambil makan.

"Abang turun dulu, makan biar kuat ngayuh sepedanya."

"Disuapin ajalah, Bu. Abang kan capek."

Vira memutar bola mata. Alasan basi. Rey yang sekarang berusia 5.5 tahun memang masih malas untuk makan sendiri. Ada saja alasan yang dia pakai agar tidak perlu repot-repot makan.

"Capek ngapain?"

"Tadi di sekolah abis jalan-jalan."

"Kan jalannya pakai kaki, Bang? Makan pakai tangan."

"Pokoknya capek, Bu. Nanti malam dipijitin, ya?" ujar Rey tidak mau menyerah.

"Kalau capek kok mau sepedaan ke rumah Om Toro?"

"Naik sepeda ndak capek. Kalau jalan baru capek."

Vira menyerah. Daripada terus berdebat dengan Rey yang semakin hari semakin pintar berbicara, waktunya dia gunakan untuk menyuapi pasti sudah membuat kenyang.

"Ayahhhhhh! Ayo ke rumah Om Toro!" teriak Rey sambil mengayuh sepeda dengan cepat ke arah Rio yang baru saja selesai parkir.

"Ngapain? Salamnya mana?"

"Assalaamu'alaikum. Ke rumah om ya, yah?"

"Wa'alaikumsalaam." Rio menjawab sambil tersenyum, "Mau ngapain, Bang?"

"Sepedaan."

Rio tertawa melihat Rey yang menjawab sambil terus mengayuh sepeda memutari halaman rumah. Sepeda berwarna biru yang baru dibelinya satu minggu yang lalu. Jadi, maklum saja kalau Rey masih menempel dengan sepedanya. Ke mana-mana maunya bawa sepeda.

"Oke. Ayah mandi dulu, kamu habisin makannya, ya," jawab Rio yang melihat Vira membawa piring.

"Dia maunya naik sepeda dari sini sampai sana lho, Bang!" kata Vira selesai menyalami Rio yang akan masuk ke dalam rumah.

"Gila! Beneran?"

Vira mengangguk mantap.

"Palingan juga baru seperempat jalan udah capek terus minta gendong," tebak Rio sambil tertawa.

"Iya, makanya tadi aku bilang suruh nunggu abang. Aku di rumah aja, capek kalau jalan."

"Gampang. Kamu standbye aja di rumah. Nanti kalau dia capek, aku telepon. Sekarang mau mandi dulu."

Ah, ide ini tidak terpikirkan sama sekali. Tadi, Vira membayangkan Rio yang akan menggendong Rey sambil menuntun sepeda. Ck!

Rio melangkah masuk ke kamar mandi. Ada penampakan benda tak asing di lantai. Dia melihatnya dan langsung tersenyum lebar. Ini Vira sengaja memberi kejutan, ya? Vira dengan sengaja menaruh di lantai agar dia menemukannya. Kejutan dua garis merah walaupun yang satu terlihat agak samar. Demi apa, dia akan memiliki bayi. Bayangan bayi mungil berjenis kelamin perempuan kembali muncul di kepala. Dia langsung bersiul senang, sampai selesai mandi senyum tak hilang dari wajahnya.

"Udah?" tanya Vira ketika Rio sudah muncul di halaman dengan pakaian santai.

Rio mengangguk. "Besok pagi kita ke dokter, ya?"

Wajah Vira kembali berubah menjadi masam. Dia ingat hasil tesnya yang sama sekali tidak memuaskan.

"Buat apa? Baru dua minggu kok," tolaknya halus. Dia tidak ingin jika Rio harus kembali kecewa.

"Dua minggu? Kok kamu tahu? Nggak papa, aku penasaran dan ingin memastikan."

Ya tahulah, kalendernya kan penuh warna.

"Tap__"

"Nggak ada tapi-tapian. Kami jalan dulu, kamu istirahat aja," ujar Rio tegas tidak ingin dibantah.

Vira menghela napas. Lagi, dia selalu saja ingin menangis jika sudah diungkit masalah bayi. Selepas kepergian Rio dan Rey, dia langsung pergi ke kamar untuk menenangkan diri. Semoga saja Rio tidak melihat test pack yang sudah dibuang ke tempat sampah.

**

"Bang, jangan sekarang ke dokternya. Minggu depan aja," pinta Vira ketika Rio pulang dari mengantar Rey ke sekolah.

Semoga sebelum itu jadwal bulanan segera datang, sehingga Rio tidak perlu kecewa tingkat parah.

Bayangan wajah kecewa Rio yang keluar dari ruangan periksa selalu terngiang di kepala sejak kemarin sore. Vira takut itu akan jadi kenyataan.

"Sekarang aja. Mumpung Rey sekolah terus aku masuk siang. Kebetulan udah buat janji juga. Dia kenalanku dan juga dokternya Rara. Kamu siap-siap gih, ganti baju."

Vira menghela napas. Rio itu memang keras kepala, sulit untuk dipengaruhi.

"Oh iya, Vi. Ini enaknya kita bawa apa tinggal?"

"Apa yang dibawa?"

Vira yang sedang berganti pakaian tidak paham apa yang dimaksud oleh Rio sehingga menoleh ke belakang. Matanya menatap tidak percaya melihat test pack yang kemarin dia gunakan sudah ada di tangan Rio.

"Lho? Kok bisa sama abang? Abang kan udah tahu kalau hasilnya negatif, kenapa harus ke dokter? Beberapa bulan yang lalu kan kita sudah cek kesehatan. Abang udah nggak sabar, ya?" tanya Vira panjang. Matanya sudah berkaca-kaca, merasa bersalah karena keinginan Rio belum juga terwujud.

"Negatif?" tanya Rio tidak mengerti.

Vira menatap Rio tanpa merespon.

"Ini positif kok," tambah Rio kemudian.

"Positif?" ulang Vira tidak percaya.

"Iya. Ini dua garis, yang satunya agak samar-samar. Bukannya kamu sengaja naruh di lantai buat kejutan?"

Vira langsung berjalan cepat menuju Rio dan mengambil test pack. Benar saja, ada dua garis merah dengan satu garis terlihat samar.

"Eh, dua? Kemarin cuma satu," gumamnya pelan.

"Kamu yakin? Dari kemarin juga dua kok."

"Kemarin satu tahu, Bang. Ini jangan-jangan bukan punyaku, ya?"

"Dua, Vira. Kemarin kamu lihat udah ditunggu belum? Berapa lama nunggunya? Lagi proses mungkin terus kamunya nggak sabar. Jadi, kenapa itu bisa di lantai kalau kamu nggak sengaja?" tanya Rio penuh selidik.

Vira memutar ingatan pada kejadian kemarin sore. Dia sedang melihat hasil tes ketika Rey memanggil. Hasilnya negatif dan dia langsung membawanya ke tempat sampah karena tidak ingin Rio melihatnya. Ah, berarti terjatuh di lantai saat terburu-buru.

"Memang kemarin aku nunggunya udah berapa menit, ya? Kayaknya udah lama deh," kata Vira kepada diri sendiri.

"Satu menit ada? Atau dua menit? Kan bisa ada juga yang harus tunggu lima sampai sepuluh menit kalau nggak salah, Vi."

Vira menggeleng, dia kemarin memang tidak melihat waktu dan hanya menunggu beberapa saat. Ketika Rey berteriak, dia sudah terlanjur putus asa.

"Aku lupa. Kemarin lihat cuma satu, terus Rey teriak waktu bangun tidur. Jadi aku cepat-cepat beresin supaya abang nggak lihat. Nggak sadar kalau jatuh."

"Untung aja jatuh. Jadi, sekarang ke dokter, kan?" tanya Rio yang paham dengan keengganan Vira.

"Iya, jadi!" Vira menjawab yakin, setidaknya sekarang ada harapan.

**

Sepanjang perjalanan pulang dari dokter, senyum tidak lepas dari wajah Vira dan Rio. Dokter Kayna mengatakan kehamilan Vira sudah berumur enam minggu. Morning sickness memang belum dialami Vira, sehingga tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau dia hamil.

"Akhirnya yang ditunggu datang juga. Nanti, ini mau aku simpan buat kenangan. Saksi pertama adanya dedek bayi. Moga aja cewek, ya!" kata Rio senang.

"Serius mau disimpan? Jorok ah, buang aja."

"Kan nanti bisa dicuci, dibersihin."

"Terserah abang aja. Terus, Bang, kalau dedeknya cewek pasti Rey kecewa," ujar Vira yang ingat betul kalau Rey selalu ingin adik lelaki. Kasihan kan kalau nasib adiknya seperti Ziya yang selalu dicuekin Rey.

"Tinggal nambah lagi biar dapat cowok. Usaha terus. Asal kita usaha pasti akan ada hasil, buktinya sekarang kamu hamil. Usaha yang ini dengan senang hati aku mau kok," kata Rio sambil tertawa.

Vira mencebikkan bibir. Selalu saja, kode keras!

Vira menoleh ke samping ketika Rio menggengam tangannya saat mereka berhenti di lampu merah.

"Makasih ya, Vi sudah mau jadi istri dan ibu dari anakku," kata Rio sambil tersenyum dan langsung mencium punggung tangan Vira dengan lembut.

Vira speechless. Kata-kata Rio memang terdengar sederhana, tetapi penuh makna.

"Lho, kok kamu nangis lagi. Jangan-jangan kamu hobi nangis itu bawaan hamil, ya? Digombalin masa malah nangis?" tanya Rio ketika melihat Vira tiba-tiba meneteskan air mata.

"Ah, iya. Pasti bawaan hamil, makanya kalau ada yang ngomongin bayi tiap malam kamu jadi cengeng." Rio kembali berkata, menarik kesimpulan sendiri.

Masih dengan air mata yang menetes, Vira menarik sudut bibirnya. Mungkin benar jika kemarin dia sering menangis karena efek hamil, tapi sekarang adalah karena dia sedang terharu. Selama ini, cukup ayah dan ibunya yang mengucapkan terima kasih atas kehadirannya di dunia. Sekarang, ada orang lain yang melakukannya.

Akan selalu tiba waktu untuk kita berbahagia. Akan selalu ada waktu juga untuk kita tidak bahagia. Keduanya tidak bisa terlepas dari roda kehidupan.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top