Bagian 25

Ada yang nungguin mereka, kah? Semoga part ini cukup ngobatin kangen, ya. Abang Rey-nya cuma numpang iklan bentar ^^. Btw untuk cerita ini konflik berat udah nggak ada, sekarang cuma buat unyu-unyuan yang menghibur aja. Semoga nggak bosan, ya, nggak lama lagi mau tutup lapak kok. ^^

Selamat membaca! Saran dan kritiknya ditunggu selalu 

Alyaaa

***

"Abang ada masalah?" tanya Vira sambil meletakkan teh di atas meja. Sejak bangun tadi pagi, Rio lebih banyak bungkam daripada biasanya. Tidak mungkin jika urusan Rey merajuk mengubah mood-nya.

"Nggak papa kok, Vi. Cuma capek aja," ujar Rio pelan.

Capek nunggu dedek bayi!

"Beneran? Capek kenapa?"

"Capek kerja sama nyiapin resepsi."

"Beneran? Nggak bohong?"

"Aku udah kayak tersangka yang lagi diwawancara aja. Beneran kok," jawab Rio mencoba untuk meyakinkan. Dia mengambil teh dan meneguknya pelan untuk menyamarkan sedikit rasa gugupnya. Tidak keren kalau sampai Vira tahu alasan kediamannya. Hei, dia bukan Rey yang merajuk karena belum dapat dedek bayi.

"Bukan karena bayi?"

Lho?

Rio memandang Vira sambil mengerutkan dahi. Apakah di wajahnya tertulis dengan jelas kalau dia ingin bayi?

"Tadi malam waktu abang ke kamar aku belum tidur. Jadi, aku tahu apa yang abang lakuin. Abang pengen punya bayi sama kayak Rey, kan? Terus waktu aku dapat jadwal bulanan jadi kecewa. Abang lupa balikin kalender di bulan ini, masih di bulan kemarin," kata Vira pelan.

Akhirnya,Vira mengungkapkan apa yang sedikit mengganjal hati. Dia bisa membaca dengan jelas keinginan Rio walaupun itu tidak diungkapkan. Masalahnya adalah mengungkit hal tersebut juga sama saja dengan mengusik hatinya. Wanita mana yang tidak ingin segera punya keturunan? Sepertinya hampir semua wanita menginginkannya. Namun, setelah usaha dan doa, sekarang yang dia lakukan adalah tawakal dan hanya bisa menunggu.

Sekarang bukan lagi Rio yang bungkam, melainkan Vira. Dia merasa belum menjadi istri sempurna. Dia tidak bisa mewujudkan keinginan dari dua orang yang menjadi bagian hidupnya. Melihat kediaman Vira, Rio menjadi serba salah. Dia tahu jika mengungkapkan keinginannya secara jelas akan seperti ini pada akhirnya. Oleh karena itu, dia memilih diam. Sayangnya apa yang dia lakukan secara diam-diam dengan jelas diketahui oleh Vira. Semua menjadi semakin rumit.

"Vi," panggil Rio pelan.

"Maaf, Bang."

"Ini bukan salah kamu."

"Apa kita ke dokter aja?"

"Sebelumnya kan kita udah pernah periksa dan sehat. Memang belum waktunya. Aku emang ingin punya bayi sama kayak Rey, tapi juga tahu kalau masalah itu justru akan kasih beban ke kamu. Makanya aku memilih diam. Kemarin, aku pikir kamu telat datang bulan karena biasanya maju, ditambah lagi kamu bilang kelelahan. Aku aja yang terlalu berharap ada bayi, terus akhirnya kecewa sendiri."

Rio berkata panjang, sementara Vira masih diam.

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, masih ada Ziya yang bisa kita culik nanti kalau mereka udah balik ke sini. Pokoknya nanti dia manggil kita ayah sama ibu," ujar Rio dengan tenang.

Vira yang mendengar kalimat Rio akhirnya tertawa. "Memangnya Ziya itu barang?"

"Dek Ziya kenapa, Bu?" tanya Rey yang sudah ada di hadapan keduanya dengan mata belum sepeuhnya terbuka.

"Abang udah bangun?"

Bukannya menjawab, Rey langsung merangkak naik ke sofa dan meletakkan kepalanya di pangkuan Vira.

"Abang maish ngantuk. Tadi Dek Ziya kenapa?" jawab Rey dengan suara lirih.

Tangan Vira terulur mengusap kepala Rey. Dia tidak mau repot-repot menjawab karena mata Rey sudah terpejam. Rio yang melihat itu tersenyum senang. Ah, mungkin ini yang dinamakan dikasih hati minta jantung, dia sudah memiliki anak menggemaskan seperti Rey tetapi masih menginginkan seorang bayi lagi.

"Rey sudah lebih dari cukup," gumamnya pelan.

"Apa, Bang?" tanya Vira yang mendengar suara Rio, tetapi tidak jelas.

"Rey sudah lebih dari cukup, kalau ada bayi itu bonus. Mungkin kita belum dikasih bayi karena nanti bisa saja cinta kita terbagi. Selama ini Rey belum menerima cinta sepenuhnya dari ibu, sekarang dia baru dapat dari kamu. Kalau ada bayi takutnya nanti dia sedikit terabaikan, mungkin ini emang yang terbaik buat kita semua."

Vira menggeleng tidak setuju. "Walaupun nanti ada bayi, aku tetap sayang sama Rey."

"Iya itu kamu, tapi nanti kalau ngidamnya aneh-aneh? Bahaya kalau nanti kamu kayak Rara yang nggak mau dekat Andra, terus di sini kamu nggak mau dekat sama Rey. Kasihan, kan."

"Moga aja nggak," ucap Vira dengan tulus.

"Tapi, kenapa sih dulu Rara bisa ngidam anti gitu sama Andra, Bang? Setiap aku tanya dia cuma bilang rahasia terus?" tanya Vira kemudian.

"Ceritanya panjang. Kamu coba tanya lagi aja nanti sama Rara, kalau aku yang cerita nggak seru. Aku mau mandi dulu, udah siang. Rey mau diangkat, dibangunin, apa biarin?"

"Sekarang hari Sabtu, dia libur. Biarin aja, makanan juga udah aku siapin di meja. Abang makan duluan, nanti biar aku sama Rey."

"Oke. Ingat ya, lupain soal bayi. Masih ada Ziya sama Uzan yang bisa kita angkat jadi anak," kata Rio sambil melangkahkan kaki.

Vira tertawa, kalau Rara mendengar hal ini pasti sudah mengomel panjang.

**

Waktu terkadang terasa cepat berlalu tanpa terasa. Begitu pun yang dialami oleh Vira. Tahu-tahu saja hari H sudah hampir di depan mata. Besok dia akan berpisah dengan Rio, dia tinggal di tempat Budhe Rila karena rumahnya penuh dengan kerabat jauh, sementara Rio ada di rumahnya. Konon, mereka harus dipingit dengan tujuan agar waktu hari besar tiba tampak berbeda.

"Vi, yang benar saja. Kita kan udah beberapa bulan nikah, buat apa coba pakai istilah pingitan segala? Kamu ngomong gih sama Budhe, berasa belum sah," protes Rio. Ini adalah protesan entah sudah yang keberapa. Dia menentang ide ini dari awal, tetapi sayangnya tidak diindahkan.

"Abang kan udah bilang sama Budhe, tapi tetap nggak dikasih, kan? Ya udah, kita ikut aja apa kata orangtua."

"Terus selama satu minggu aku di rumah berdua sama Rey gitu? Nanti siapa yang nyiapin makanan? Kalau capek siapa yang mijitin?"

Vira memutar bola mata. "Memangnya aku ada cuma buat masak sama jadi tukang pijit? Satu minggu itu nggak lama, lagian dulu juga masak-masak sendiri, kan?"

"Dulu ada Rara."

"Abis Rara nikah?" tanya Vira menyelidik

"Iya juga, ya," Rio menjawab sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Oh iya, nanti Rey biar ikut aku aja. Daripada di rumah repot kalau mau ditinggal kerja. Kata Budhe, nanti bisa-bisa Rey jadi alasan buat abang nemuin aku."

Rio mendelik.

Sadis!

"Jadi, satu minggu ini aku sendirian di rumah, Vi? Kayak bujangan yang nunggu pesta gitu? Dulu aja Andra besoknya akad sama resepsi malamnya masih sempat ketemu Rara."

"Andra sama Rara ketemuan sebelum akad?" tanya Vira tertarik. Kisah adik iparnya itu memang masih misteri karena baik Rara maupun Rio selalu bungkam. Padahal dia sudah kepo akut.

"Iya, hampir nginep malah kalau Andra nggak dicariin Om Revan."

"Kok bisa?"

"Penasaran, ya? Mau diceritain? Kamu ngomong dulu sama Budhe biar kita tetap tinggal sama-sama," ujar Rio sambil mengedipkan mata.

Vira berdecak, masih saja tetap masalah tempat tinggal.

"Bang, satu minggu itu nggak lama. Perasaan Si Kembar aja baru kemarin lahir sekarang udah mau satu bulan aja."

"Ya udahlah. Mulai besok aku mau lembur. Pergi pagi, pulang pagi."

Vira langsung tergelak mendengar kalimat Rio, nyaris sama seperti lirik lagu. Rio itu labil, terkadang dewasanya keterlaluan, tetapi terkadang sama saja dengan Rey jika sudah kembuh manjanya.

"Serius ini, Vi!"

"Iya, serius."

"Ngomong-ngomong Rey main di mana?" tanya Rio yang akhirnya menyadari Rey belum menampakkan batang hidungnya.

"Biasa, rumah Rara. Tadi habis pulang sekolah langsung minta diantar ke sana, terus diajak pulang nggak mau. Katanya nanti pulangnya kalau abang udah pulang."

Rio menggelengkan kepala. "Terus nanti waktu kita berdua jemput dia bilang tunggu kalau udah malam baru pulang. Anak itu!"

"Dia di rumah ini cuma numpang tidur sejak Rara pulang bawa Si Kembar," tambah Vira melengkapi.

Keduanya tertawa, seakan sudah hafal dengan rutinitas yang ada. Biarlah seperti ini, tidak perlu memaksakan kehadiran keluarga baru pun sudah cukup. Asalkan tidak ada tangis yang tercipta, tidak ada Rey yang merajuk minta adik lagi. Bagi Rey, asalkan ada Fauzan yang bisa dibajak pun dia sudah lupa dengan keinginannya beberapa waktu yang lalu.

**

"Cantiknyaaaaaa! Abang pasti nggak nyesel abis dipingit satu minggu. Aku aja hampir pangling," ujar Rara sambil tersenyum. Dia mengamati Vira yang baru selesai dirias dari atas sampai bawah, sempurna.

Vira tersipu, keluarga Rio memang jago kalau urusan menggombal.

"Bocil pada ke mana, Ra? Kok nggak dibawa?" tanya Vira mengalihkan perhatian.

"Sama papanya di luar. Katanya selagi libur mau puas-puasin main sama mereka."

Vira mengangguk paham.

"Kak, udah siap jadi pajangan? Behhh, tunggu aja satu jam kemudian, pasti Kak Vira bakal bosan terus itu bulu mata berasa jadi berat banget. Rasanya pengen cepat habis tamunya biar bebas," tambah Rara yang membuat Vira tersenyum kecut.

"Itu dia yang bikin malas buat adain resepsi. Emang segitunya banget, Ra?"

"Waktu aku nikah sih gitu, mana baru aja duduk ada tamu lagi terus harus berdiri, foto, senyum, behhh! Beruntunglah sewa gedung cepat habis jadi mau nggak mau harus bubar."

"Tahu gitu kemarin acaranya di gedung aja, ya?" sesal Vira setelah mendengar penjelasan Rara.

Kali ini giliran Rara yang tertawa. Ada-ada saja.

"Aku ke depan dulu ya, Kak! Mau lihat bocil, sekalian aku bilangin ke Budhe kalau Kak Vira udah siap."

"Oke."

Selepas kepergian Rara, Vira menghela napas. Belum mulai saja, dia suda merasa lelah lebih dulu.

"Hai pengantin baru!"

Suara teriakan disertai pintu terbuka mengalihkan perhatian Vira. Di sana berdiri Rega bersama istrinya, Keenan, juga Ali. Sahabat yang sepanjang kuliah selalu menemani akhirnya berkumpul kembali layaknya reuni.

"Kok kamu tahu-tahu udah sah aja, Vi? Kemarin Rega cerita katanya mau kasih undangan malah baru tahu kalau kamu udah nikah, nggak kabar-kabar lagi! Kamu keluar dari grup buat nikah?" cecar Keenan yang paling cerewet di antara semuanya.

Vira menggeleng, dia memang keluar dari grup beberapa bulan yang lalu karena pembahasan yang mulai tidak bisa diterima oleh pikirannya. Bagaimana tidak, obrolan para lelaki tidak jauh-jauh dari soal wanita hingga ke bentuk tubuhnya. Dia menyerah dan memilih untuk menghilang. Toh, kalau ada perlu masih bisa berbicara di luar grup.

"Suami duren, Vi? Tahu gitu kan sama gue aja yang masih jelas ting-ting!" ujar Ali menambahi.

"Coba aku belum nikah," tambah Rega yang langsung mendapat cubitan maut dari istrinya.

Vira tertawa mendengarnya, dia tahu betul kalau ketiga temannya hanya bergurau. Bagi mereka, Vira hanyalah teman dan tidak pernah dianggap sebagai wanita.

"Suamimu kayak gimana, Vi? Kok di undangan nggak ada fotonya?" tanya Keenan lagi.

"Kamu lewat, Nan! Undangan dikasih foto nanti kamu injek-injek kan sakit," jawab Vira tenang.

"Lagian kemarin kenapa kalian berdua nggak datang ke nikahan kami? Jadi, belum lihat suami Vira, kan? Apa itu cuma kirim video ucapan. Giliran Vira nikah kalian pada datang, pilih kasih," protes Rega.

"Yang penting itu rekening nambah saldonya, kan?" Keenan berkata cepat yang membuat Rega diam.

"Doa kami mengiringi pernikahanmu kok, Bro!" Ali menepuk bahu Rega pelan.

"Ehm!"

Suara dehaman menghentikan interaksi mereka. Rio yang berniat untuk menemui Vira menampakkan wajah kurang suka begitu mendengar suara tawa dari Vira bersama para lelaki. 

"Kok abang ke sini?" tanya Vira heran.

"Nggak suka? Kata Budhe kan acaranya nggak pakai adat, jadi boleh ke sini terus nanti keluarnya bareng," jawab Rio dengan nada sedikit kurang enak didengar. Vira yang sudah menghabiskan waktu cukup lama hidup bersama pun mengerti suasana hati Rio yang kurang bersahabat. Lama tidak bertemu, sekalinya bertemu dia bersama para lelaki. Walaupun masih ada istri Rega, tentu saja Rio tidak suka dengan suasana ini.

"Bang, sini kenalin. Ini Ali dan ini Keenan, mereka jauh-jauh datang dari luar kota lho. Kalau Rega sama istrinya masih ingat, kan?" kata Vira sambil melambaikan tangan kepada Rio. Dia sedikit kesulitan untuk berdiri dengan pakaiannya yang luar biasa panjang.

Ingatlah, dia kan alasan dibalik resepsi ini!

Rio belum mengubah ekspresinya ketika menjabat tangan teman Vira satu per satu. Hingga akhirnya, dia berdiri di samping Vira dan memegang pundaknya posesif.

"Ah, berhubung udah ada yang nemenin, kami ke depan ya, Vi? Mau icip-icip makanan, takutnya nanti keburu habis," ujar Keenan yang akhirnya undur diri diikuti dengan yang lain.

Vira meraih tangan Rio yang ada di pundak dan menggenggamnya pelan begitu ruangan menyisakan mereka berdua.

"Abang marah?"

"Nggak," jawab Rio cepat.

"Maaf, mereka datang pas aku sendiri. Nggak mungkin kan diusir, mereka jauh-jauh datang demi kita. Lagian ada istri Rega kok," kata Vira mencoba menjelaskan.

"Aku nggak marah, cuma nggak rela aja kalah cepat sama mereka lihat kamu dandan cantik kayak gini!"

Rio berkata sambil tersenyum hangat, membuat Vira mau tidak mau ikut tersenyum.Vira tidak habis pikir kalau ekpresi Rio ternyata hanya karena kalah cepat.

Persahabatan itu akan tetap ada walaupun jarak telah memisahkan mereka.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top