Bagian 2

Sebuah bangunan, yang bisa dikatakan baru berplakat nama "Klinik AIR" sedang menunjukkan kesibukannya. Beberapa pasien terlihat baru saja keluar dengan sekantong obat. Klinik yang berada di Jl. Jogja-Wonosari tersebut baru berdiri 2 bulan yang lalu. Klinik Air digagas oleh 3 pendiri yaitu Andra, Inasya dan Rio. Walau pun terlihat minimalis, klinik tersebut bisa dikatakan cukup besar.

Keadaan mendesak, seringkali membuat seorang berusaha lebih keras. Begitu juga yang dialami dengan ketiganya. Rio dengan jadwal shift selama di Rumah Sakit, sehingga tidak bisa menjaga Rey setiap waktu, akhirnya mempunyai ide tersebut. Dia sengaja mengajak Andra, setelah tahu kalau adik iparnya tersebut akan mempunyai anak kembar. Well, bisa dipastikan Andra tidak akan tega membiarkan istrinya sibuk seorang diri. Lalu Inasya, teman sekaligus istri sahabatnya, seorang apoteker sedang pulang kampung karena mutasi yang dialami suaminya. Setelah ketiganya sepakat, mereka sibuk mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan. Rio sengaja pindah rumah menjadi dekat dengan rumah Andra, mengingat tempat berdirinya klinik tidak jauh dari lokasi tersebut. Selain memudahkan untuk ke klinik, juga agar sewaktu-waktu dia bisa menitipkan Rey kepada Rara jika ada keperluan.

Rio baru saja melepaskan jas putih ketika pintu di depannya sedikit terbuka. Andra terlihat memunculkan kepala tanpa mau repot-repot masuk ke dalam.

"Kamu mau buka jadwal malam?" tanya Rio heran, padahal Andra sudah pulang sejak jam tiga sore tadi. Sekarang waktu sudah menjelang pukul sepuluh malam, dia pun baru bersiap untuk pulang.

"Untunglah Abang belum pulang." Andra berkata dramatis sambil mengusap dada.

"Bang, di ranjang UGD ada pasien. Barusan aku nggak sengaja nabrak dikit. Tolong diperiksa, ya! Aku buru-buru, Rara marah-marah karena aku beli breadtalk lama. Haih, padahal belum ada dua jam aku ke luar rumah. Wassalaamu'alaikum," tambahnya kemudian.

Pintu yang kembali tertutup membuat Rio mendengus. Bagaimana bisa dia mempunyai adik ipar yang tidak bertanggung jawab seperti Andra. Menabrak sedikit pasien katanya? Lalu tanpa dosa dia melarikan diri dan meninggalkan korban kepadanya. Sial!

Rio memakai kembali jasnya, meskipun dalam hati terus bergumam. Begitu ke luar, seorang wanita dengan rambut sebahu terlihat sedang memasang wajah lesu ada di hadapannya.

"Mbaknya pasien tabrak sedikit yang dimaksud teman saya tadi, ya?" tanya Rio sopan.

"Tabrak dikit? Dokter nggak lihat ini tangan sama kaki saya?" jawab wanita tersebut dengan galak.

Oh salahkan Andra yang memberi kamus kata 'tabrak dikit', sehingga Rio memakainya.

Setelah pemeriksaan selesai, dengan hasil balutan gips di tangan kanan dan sedikit perban pada kaki akhirnya pengobatan selesai. Tidak banyak perbincangan, karena wanita yang diketahui bernama Vira tersebut sibuk meringis menahan sakit.

"Sudah beres, untuk biaya dan segala macam karena kesalahan teman saya jadi gratis. Nanti bisa kembali ke sini saat jadwal pemeriksaan atau kalau masih ada keluhan. Selamat malam, Bu Vira."

"Dok, terus Mas yang antar saya tadi mana? Saya pulangnya gimana? Motor?"

"Andraaaaa," gumam Rio dengan kesal. Awalnya dia pikir hanya tinggal cek kondisi pasien dan urusan sudah selesai. Namun ternyata di luar dugaan, Andra menghilang dan melempar semua tanggung jawab kepadanya.

"Urusan motor, nanti teman saya yang urus. Sekarang apa Mbak nggak bisa telepon saudara buat jemput? Rumah dekat sini atau jauh? Kebetulan klinik sudah mau tutup."

"Dimana - mana korban tuh diantar, Dok. Saya sudah telepon Ayah tadi waktu jalan ke sini, tapi nggak ada jawaban."

Klinik yang sudah sepi mengingat tadi seharusnya dia akan pulang membuat Rio semakin frustasi. Tidak ada siapa pun, karena hanya tertinggal Inasya dan staff administrasi yang menunggu jemputan dengan security.

"Ya sudah kalau begitu saya antar. Mari ikut saya."

Mana ada dokter sebaik dia, kalau saja kondisinya masih di rumah sakit, pasti ini tidak akan Rio alami. Andra yang seenaknya dan dia yang harus bertanggung jawab kepada pasien klinik.

***

"Rumah?" tanya Rio ketika keduanya sudah berada di mobil.

"Lurus terus saja, nanti kalau mau belok saya beritahu. Ah ya, jangan lupa berikan KTP buat jaminan motor saya kembali ke rumah. Tadi temannya langsung pergi begitu saja, dia bilang praktek di klinik Air. Tetap saja saya nggak ada bukti kalau yang tadi nabrak dikit itu temannya Dokter."

Rio langsung mengeluarkan dompet dan mengambil tanda pengenal tersebut, lalu meletakkannya tepat di pangkuan Vira.

"Jadi bagaimana ceritanya kalian bisa bertabrakan tadi?"

"Temannya situ aja yang bawa mobil nggak pakai mata. Saya jelas banget ada di pinggir jalan, bisa-bisanya disenggol dari belakang. Lain kali ajari tuh temannya buat mengemudi yang benar."

Vira menjawab pertanyaan dengan enggan. Demi Tuhan, dia hanya berniat pergi ke toko buah terdekat dan harus mengalami kecelakaan naas. Satu hal yang pasti, ayahnya pasti akan melakukan ceramah setelah dia sampai rumah. Mengembuskan nafas pelan, selamat menjadi Tuan Putri Elvira.

"Oh, begitu!" Rio berkata singkat agar obrolan mereka tidak memanas. Wajah wanita di sampingnya sudah terlanjur menyeramkan. Sejak sampai klinik tidak ada sedikit pun senyum yang dia terima.

Mereka berhenti ketika sampai di rumah bercat coklat muda. Sebuah mobil lama terlihat ada di garasi. Rio baru saja akan membantu Vira turun, ketika pria paruh baya dengan kumis tebal datang menghampiri keduanya.

"Vira? Kamu kenapa, Nak? Ya Allah, kok bisa sampai kayak gini? Tadi katanya cuma mau ke toko buah depan, kan? Ayah bilang juga apa, kan tadi disuruh bawa mobil," tanya Pak Tyo, pria paruh baya tersebut dengan khawatir. Dia langsung mengambil alih Vira dari kekuasaan Rio.

"Vira ggak papa kok, Yah." Vira mencoba menenangkan.

"Kalau nggak apa kok sampai digendong itu tangan? Jadi Mas ini yang nabrak kamu tadi?"

"Bukan, Pak. Sa-"

"Pokoknya saya nggak mau tahu. Pekerjaan anak saya ini butuh kedua tangannya. Kalau dia cidera, bagaimana dengan nasibnya. Jadi selama anak saya off, Mas harus tanggung jawab."

Pak Tyo dengan cepat memotong kalimat Rio. Jangan lupakan bonus wajah sangar, sangat berbeda dengan ekspresi lembut saat menanyakan keadaan Vira.

"Vira masih bisa kerja kok, Yah." Sela Vira mencoba menengahi. Dia paling tidak suka jika seorang akan mencampuri pekerjaannya.

"Tidak bisa, Nak. Bagaimana kamu mau menyelesaikan pesanan kalau tanganmu begitu. Kursor bisa lari yang ada."

"Sudahlah, pokoknya Ayah nggak mau tahu. Mas ini harus tanggung jawab, minimal Ayah harus lihat pekerjaanmu selesai di tangan dia."

Pintu tertutup membuat Rio memejamkan mata. Bolehkah dia memaki dan mengumpat kepada Andra sekarang? Ibarat siapa yang mencuri, dan siapa yg mendapatkan hukuman tidak sesuai.

"Duduk, Dok. Ayah memang begitu orangnya. Tenang saja, saya masih bisa mengurus pekerjaan saya sendiri."

Vira mempersilakan Rio duduk di kursi teras. Kalau urusan dengan bapak berkumis memang selalu menjadi urusan panjang.

"Pekerjaanmu apa?"

"Freelance web designer dan programmer."

Oke, ini semakin buruk. Melihat kondisi tangan Vira sekarang, pasti akan sangat mengoperasikan laptop, terutama urusan design.

"Nanti saya bantu cari orang yang mengerti pekerjaan tersebut. Jadi kamu bisa serahkan kepadanya."

Vira menyipitkan mata ketika mendengar jawaban santai Rio. Ini bukan masalah pekerjaan, tetapi rahasia client. Sekali lagi, dia tidak suka pekerjaannya dicampuri orang lain, namun di sisi lain dia tidak suka pekerjaan yang tidak cepat selesai.

"Saya masih bisa mengerjakan sendiri, anda tidak perlu khawatir," jawab Vira ketus.

"Yakin?"

"Ya."

"Tanganmu? Yakin masih bisa mendesign? Kalau urusan mengetik mungkin masih bisa," jawab Rio diplomatis.

Vira terdiam, matanya memandang tangan lama.

Bisakah? Pikirnya ragu.

"VIRA! Jangan lupa satu minggu lagi kamu janji antar Eyang periksa. Ayah ada urusan ke luar kota."

Suara dari arah pintu masuk yang baru saja terbuka membuat Vira memutar bola mata. Ternyata Ayahnya masih menguping.

"Nanti Vira bisa minta tolong sama Mas Deni, Yah."

"Deni mau pergi sama Ayah."

"Om Tata?"

"Sama."

"Derif?"

"Dia kan sibuk skripsi."

"Sinta?"

"Dia nggak bisa bawa mobil. Lagipula Eyang maunya sama kamu, kan?"

"Maunya Ayah apa, sih? Bukannya bantuin Vira."

Pak Tyo berdeham, "maksud Ayah, kamu pergi sama Masnya aja. Bisa kan, Mas? Anggap saja bentuk tanggung jawab."

Vira menatap ayahnya tidak suka, sementara yang ditatap sudah berlalu.

"Abaikan permintaan Ayah. Anda boleh pergi, nanti saya ke klinik kalau mau periksa. Terima kasih dan sampaikan ucapan terima kasih saya yang sangat besar kepada temannya." Vira berkata panjang dan langsung berdiri, berniat masuk ke dalam rumah.

"Ah ya, jangan lupa motor saya."

"Tunggu," cegah Rio saat Vira akan melangkah. Tangannya tidak sengaja memegang bahu yang sedikit terluka, membuat pemiliknya meringis pelan.

"Maaf," ujar Rio sungkan.

Rio membuka dompet dan memberikan kartu nama kepada Vira.

"Ini kartu nama saya. Kalau ada masalah bisa hubungi di nomor tersebut. Saya permisi."

"Ya."

Vira langsung masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi sekadar menunggu Rio berlalu. Dengan langkah pelan, dia duduk tepat di samping ayahnya.

"Ayah apa-apan, sih? Dia itu bukan yang nabrak Vira, tapi temannya. Lagipula Vira masih bisa mengatasi semuanya sendiri kok, nggak perlu ngerepotin orang lain."

"Loh, tadi kamu nggak bilang ke Ayah kalau bukan dia. Sayang sekali, padahal Ayah pikir dia jodoh yang dikirimkan buat kamu."

"Ayah!" rengek Vira sambil memeluk lengan sang Ayah. Hal yang membuat Pak Tyo menyipitkan mata, lalu mengembuskan nafas panjang. Selalu saja begini kalau sudah membahas masalah jodoh.

"Vi, sampai kapan sih kamu tidak mau bahas pernikahan? Ayah bertanggung jawab untuk mencarikan lelaki soleh untuk menjadi Imammu. Ayah menjadi merasa tidak berguna kalau seperti ini."

"Vira nggak mau nikah, Yah."

"Sampai kapan?" tanya Pak Tyo sabar, dengan tangan mulai mengusap rambut Vira.

"Kapan pun."

"Elvira!"

"Vira bisa saja menikah, Yah. Hanya saja Vira nggak akan pernah bisa jadi ibu yang baik untuk anak Vira, nanti. Vi-"

"Vi," potong Pak Tyocepat.

Keduanya diam, tidak ada lagi yang terdengar kecuali sesekali isakan Vira terdengar. Setelah beberapa saat barulah Vira kembali membuka mulut.

"Jangan paksa Vira, Yah!" pintanya memohon.

Kalimat singkat, tetapi sanggup membuat Pak Tyo semakin bungkam, turut merasakan kesedihan yang anaknya ungkapkan.

**

"Ra, Andra ada?" tanya Rio begitu sampai di rumah adik iparnya.

"Di kamar, lagi sama Rey. Rey tadi ngambek lagi, di sekolah ada yang ngejek dia nggak punya ibu. Itu Bang Andra lagi coba bujuk supaya besok mau sekolah."

Rio langsung mengambil duduk di samping Rara, mengusap rambutnya dengan gusar. Dia pikir begitu sampai rumah dan menjemput Rey harinya akan damai, tetapi salah karena walaupun masalah dengan wanita bernama Vira selesai masih ada masalah baru. Ibu, tiga huruf yang akan membuat otaknya terasa buntu untuk berpikir. Di mana dia bisa menemukan ibu yang cocok dan baik untuk Rey.

"Nanti biar Abang yang bujuk Rey."

"Sampai kapan Abang mau bohongin Rey dan bilang nanti akan membawa ibunya? Rey itu cuma anak biasa, dia pasti juga ingin seperti temannya. Abang kenapa nggak nikah saja, sih?"

"Kamu bantu Abang cari calon ibu buat Rey kenapa, Ra?"

Rara mendengus, "ishhh, dibilangin Rara nggak ada teman lagi yang single. Lagian Abang kan waktu itu udah aku kenalin sama Najwa, kenapa nggak PDKT sama dia?"

Ingatan Rio memutar saat peluncuran buku Nada, kakak ipar dari Rara. Saat itu, Rara memperkenalkan dia dengan seorang wanita bernama Najwa. Sayangnya melihat penampilan Najwa, dia sudah pesimis terlebih dahulu. Dia merasa belum pantas bersanding dengan wanita seperti Najwa, terlebih lagi ditambah status duda.

"Abang minder sama dia, lihat penampilannya."

"Itu kan memang untuk menutup aurat. Memangnya Bang Rio mau yang bagaimana? Wanita penjual paha?" tanya Rara dengan kesal. Well, menurut Rara penampilan Najwa masih tergolong wajar. Rio saja yang lebai, seakan lupa kalau dulu seringkali memintanya memakai pakaian tertutup.

"Kamu lihat lah, Ra. Sekilas saja dipandang, Abang langsung merasa jadi itik buruk rupa."

"Menurut Rara dia itu calon yang pantas buat Rey. Dia juga suka anak kecil, pas banget kan. Ah, dia juga wanita karir loh, Bang. Kalau urusan buruk rupa, bahkan itik buruk rupa bisa menjadi angsa kalau didandanin."

"Justru itu, kemarin Andra sudah cerita dan Abang nggak suka cari istri yang sibuk bekerja. Kalau bisa pekerjaannya ya yang bisa dibawa ke rumah."

Rio melirik Rara yang menepuk jidat. Bagaimanapun juga, dia tidak mau mengulang kesalahan untuk yang kedua kalinya. Pernikahan yang pertama sudah memberikan dia pelajaran agar lebih selektif. Komunikasi yang jarang karena kesibukan awalnya, membawa malapetaka hingga terjadi perselingkuhan. Hal yang membuat dia tidak bisa memberikan toleransi lagi, setelah pertengkaran kecil yang hanya dia anggap sebagai batu kerikil. Baginya, perceraian adalah harga mati yang harus dibayar oleh mantan istri. Harga diri sebagai lelaki sudah terinjak-injak, membuat dia tidak menerima sebuah penawaran damai. Lagipula, sekali saja berbuat kesalahan, tidak akan menutup kemungkinan akan terulang. Jika masalah kecil rumah tangga dia anggap sebagai batu kerikil, yang bisa disingkirkan dengan mudah, maka perselingkuhan adalah batu besar yang butuh alat berat demi menyingkirkannya. Jadi, jangan salahkan dia yang kini tidak mudah mencari ibu baru untuk Rey. Semua butuh proses dan tidak mudah, terutama mencari orang yang tepat.

"Udah tidur, Ra. Kamu tidur gih," celetuk Andra yang baru saja keluar dari kamar memecah keheningan.

"Andraaaa,,,,,, tanggung jawab itu sama korban lo," desis Rio. Andra yang menampakkan diri, membuat kegalauannya langsung menghilang berganti dengan kekesalan.

"Abang nggak hamilin anak orang, kan?" tanya Rara sensitif, wajahnya sudah merah menahan kesal kepada Andra yang berdiri tegak sambil menggaruk tengkuk.

"Kamu juga anak orang!" ujar Rio sambil menepuk dahi Rara pelan. Hal yang membuat Rara terkekeh.

Andra mengambil duduk di seberang keduanya, menghindari Rara yang mual jika berdekatan. "Aku sudah urus motornya, besok aku minta orang Pak Asep buat antar, kebetulan tetangganya wanita tadi."

Pak Asep adalah warga dekat klinik yang merangkap sebagai penjaga klinik.

"Masalahnya tidak segampang itu, bapaknya ngamuk-ngamuk, Ndra. Beliau minta tanggung jawab. Bah! Mana itu wajahnya serem banget lagi," jelas Rio cepat. Wajah Pak Tyo dengan kumis tebal langsung melintas cepat di kepala.

Andra langsung tersenyum lebar mendengar kalimat tersebut, "Alhamdulillaah bukan aku yang antar, kata Pak Asep memang bapaknya galak sih."

Sebuah bantal sofa langsung jatuh, tepat di wajah Andra. Walaupun begitu dia masih saja memasang wajah santai, seakan tidak pernah membuat celaka orang. Bayangkan kalau Vira sampai luka parah, apakah tidak ada rasa peduli sedikit pun di benaknya?

"Kamu nggak nanya keadaannya gitu, Ndra?"

"Aku sudah tanya Mbak Inasya, katanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Jawaban Andra sukses membuat Rio mencibir, pantas saja Andra sangat santai.

"Kalian ini bahas siapa, sih? Daripada roaming lebih baik bicara di luar sana!" usir Rara dengan galak. Percayalah, mendengar orang berbicara seru tentang hal yang tidak kita ketahui adalah hal paling menyebalkan. Mau tidak didengarkan, terdengar tetapi tetap tidak paham.

Rio langsung menceritakan apa yang terjadi kepada Rara. Sayangnya, bukannya mendapatkan pembelaan sekarang Rara justru terbahak-bahak. Dia seakan mendapatkan hiburan ketika mendengar Rio berjumpa dengan tuan rumah yang galak.

"Jangan ketawa kamu, Dek. Coba aja mertua kamu kayak gitu, dijamin nggak bakal betah di rumah. Lihat kumisnya sebenarnya geli-geli serem."

Andra menggelengkan kepala geli melihat Rara yang semakin terbahak dan Rio yang sudah bersungut-sungut.

"Aku lagi bayangin Papa Revan berkumis, Bang. Pasti lucu!"

Sepertinya Rio memang sudah bercerita kepada orang yang tidak tepat. Ingatkan dia untuk tidak bercerita apa pun lagi dengan adik, sekaligus iparnya. Niat hati ingin meminta pertanggungjawaban, justru mendapatkan tertawaan.

"Ahhh! Siapa tahu wanita itu jodoh yang dikirimkan buat Bang Rio. Jodoh kan nggak tahu kapan ketemunya. Gimana kalau Abang lamar saja terus jadiin ibu buat Rey?" Rara membuka mulut ketika tawanya mereda.

Rio langsung mencibir, " nggak cocok,."

"Kenapa? Padahal dia cantik loh." Andra berkata, seakan-akan mendukung pendapat Rara.

"Dia itu jutek, udah lah stop bahas ibu buat Rey. Aku mau ambil Rey dulu, pokoknya besok kalau kenapa-kenapa kamu yang berurusan dengan wanita itu ya, Ndra. Enak saja lari dari tanggung jawab."

Rio baru saja akan mengangkat Rey ketika mata kecil itu terbuka. Masih dengan mata sayu, kali ini mulutnya juga ikut terbuka. "Ayah, Rey mau beli ibu baru!"

Meminta maaf adalah hal yang mudah untuk diucapkan, tetapi untuk memberi maaf selalu membutuhkan hati yang besar. – ini untuk mantan istri Bang Rio. ^^

TBC

Mohon maaf untuk Friend-Love masih pending  :( ..

Kalau ada kritik & saran boleh banget untuk cerita ini boleh banget, kebetulan pengetahuan saya dengan dunia Rio sangat sedikit jadi masih butuh banyak koreksi. Terimakash ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top