Bagian 18

Selamat pagi & selamat membaca.
Kritik dan sarannya tetap ditunggu, ya.
Oh, iya buat kemarin yg nyari 'Bila', tapi belum nemu bisa kirim pm, ya:)). Kebetulan sy baru re.stok ^^
Sankyuu.

♥♥♥

Pagi yang cerah. Keluarga akan terasa lengkap jika semua berkumpul di meja makan dan menikmati sarapan bersama. Suasana semakin meriah ketika celotehan Si Kecil terdengar. Ada canda dan tawa di sana, keluarga yang nyaris sempurna.

"Yah, kemarin abang kan tidur sama Om Toro? Kok bangunnya di sini?" tanya Rey penasaran.

"Abang, ingat! Nggak boleh ngobrol kalau makannya belum habis, kan? Habisin dulu makannya, baru boleh," tegur Vira, yang ditegur langsung bungkam dan makan dengan kecepatan super. Rio dan Vira yang melihat hal tersebut menggelengkan kepala karena geli.

"Nah! Abis!" teriak Rey dengan senang, "jadi, kapan abang pulang?"

"Semalam abang nangis di tempat Om, jadi ayah sama ibu jemput di sana," jelas Rio setelah meneguk minumannya.

"Abang ndak nangis, abang udah gede."

"Terus yang tadi malam nyariin ayah siapa, ya?" tanya Rio.

"Ibu, ya?" tanya Rey sambil memandang Vira dengan serius. "Ibu ngapain nyari ayah?"

Vira yang tidak bisa menahan tawa memilih bangkit berdiri.

"Ibu mau cuci piring dulu, ya!" pamitnya melarikan diri. Dia menyerahkan pertanyaan Rey kepada pawangnya. Walaupun sedang mencuci piring, dia masih mendengar semua pertanyaan Rey yang terus bertubi-tubi. Hebatnya, Rio selalu mempunyai jawaban untuknya. Sekali pawang, tetaplah pawang.

Suara ketukan pintu membuat Vira mengalihkan perhatian. Dia memberikan kode kepada Rio akan ke depan untuk membuka pintu. Vira langsung menghela napas ketika melihat tamu yang tak diundang. Di saat hidupnya baru akan tenang, kenapa masalah seakan tidak bosan untuk menghampiri. Dia, Ayi, mantan istri rio, ibu Rey berdiri tegap di depan pintu sambil menyunggingkan senyum.

"Kenapa, Mbak?" tanya Vira dengan sedikit malas.

"Bisa bicara?"

Arghhhh! Vira nyaris berteriak frustrasi. Lama-kelamaan dia sudah seperti kurir antara Rio dan wanita ini. Kalau saja mereka berdua bisa berpikir lebih dewasa, dia cukup duduk dengan tenang dan menunggu hasil.

Fuhh, sabar, Vira!

Ada keinginan untuk memanggil Rio, tetapi Vira sendiri merasa ragu, takut kalau Rio belum siap dan masih terbawa emosi. Akhirnya, dia mengambil jalan aman dengan mengajak wanita itu bicara di teras. Tidak lupa, dalam hati berdoa agar Rio dan Rey masih lama bersiap di dalam.

"Gimana, Kak? Sudah bicara sama abang?"

"Abang masih butuh waktu, saya sudah bilang untuk menunggu kan, Mbak? Nanti, kalau mereka siap saya akan telepon dan kasih kabar. Saat ini sepertinya belum memungkinkan."

"Nanti itu kapan?"

Ya, Tuhan! Vira menahan napas untuk meredam emosinya. Cerita dari Rio semalam ternyata sangat berpengaruh. Ketenangan yang dia tunjukkan sebelumnya dalam menghadapi wanita ini nyaris menghilang. Dia saja yang tidak berhubungan langsung bisa emosi, apalagi Rio.

"Kenapa dulu kamu membuang mereka kalau sekarang masih menganggap mereka ada?"

Pertanyaan itu sudah nyaris keluar mulut, tapi akhirnya Vira hanya menyimpannya dalam hati. Kalau dia ikut emosi, masalah mereka berempat tidak akan pernah selesai.

"Mbak, tolong mengerti posisi abang. Abang butuh waktu untuk sekadar bertemu orang yang pernah meninggalkannya. Tunggu sebentar, saya akan coba bicara lagi sama abang. Mereka menunggu lama untuk kepulangan mbak dulu, tapi kenapa sekarang mbak nggak bisa menunggu sebentar saja? Saya memang nggak tahu apa alasan mbak pergi, saya juga nggak bermaksud membela abang, tapi minimal jika dulu ada masalah pasti juga ada solusinya. Sebentar lagi mereka akan berangkat, boleh mbak pergi sekarang? Nanti, Insya Allah akan saya telepon," pinta Vira sedikit mengusir. Hatinya tidak kunjung tenang ketika Ayi masih terlihat berpikir.

Vira baru bernapas lega ketika akhirnya Ayi setuju untuk pulang tanpa banyak berkomentar. Biarlah, Vira sendiri juga tidak ingin tahu alasan apa wanita itu dulu pergi. Baginya, masa lalu adalah tindakan yang harus dipertanggungjawabkan. Sosok Ayi baru saja hilang di pertigaan ketika Rio keluar bersama dengan Rey.

Nyaris.

"Siapa, Vi?" tanya Rio dengan tangan sudah membawa tas.

"Oh, tadi orang tanya alamat, Bang."

Berbohong untuk kebaikan boleh, kan?

Rio mengangguk paham. "Jalan dulu, ya? Kamu nggak papa antar Rey sendiri? Atau butuh supir?"

Vira mengernyitkan dahi tidak mengerti. "Supir?"

"Supir panggilan, om payah-nya Rey, Toro!" ujar Rio sambil terkekeh pelan.

"Abang sembarangan ish, kita punya hutang banyak tahu sama dia."

"Bercanda, Vi. Kamu serius amat nanggapinnya."

"Ayah buruan pergi. Nanti telat, lho!" teriak Rey menginterupsi keduanya. Rio tersenyum tanpa suara mendengarnya.

"Iya, ayah berangkat dulu ya, Abang! Abang belajar di sekolah."

Rey mengangguk patuh ketika Rio mengusap rambutnya pelan.

Rio beralih kepada Vira yang sudah mengangsurkan tangannya. Kemudian dia mengecup dahi Vira sambil berbisik pelan. "Kamu bohong, kan? Terima kasih."

Deg.

Vira tidak sempat menjawab pertanyaan Rio karena lelaki itu sudah berjalan meninggalkan mereka dengan melambaikan tangan.

**

Sepanjang hari itu Vira habiskan waktu dengan pikiran tidak tenang. Celotehan Rey pun tidak mengurangi kegelisahannya. Rio tidak marah karena kebohongannya, kan? Ucapan terima kasih itu tulus dan bukan sindiran, kan? Perasaan tidak enak itu makin menjadi ketika Rio tidak kunjung pulang di jam pulangnya.

-Abang kok belum pulang? Aman, kan?-

Satu menit.

Dua menit.

Lima menit.

Tiga puluh menit.

-Pak Redi telat, sebelum Maghrib pulang-

Vira meringis, jawaban Rio terlalu singkat dibandingkan pesan yang sering dia terima.

"Ibu!"

Vira langsung menoleh ke arah Rey yang sedang bermain mobil.

"Iya, Bang?"

"Kok Nte Rara perginya lama, Bu? Kapan pulang? Rey kan kangen sama dedek."

Baru juga dua minggu, padahal rencananya Rara akan berada di Malang selama lima bulan. Vira tidak bisa berpikir apa komentar Rey nanti ketika Rara tidak segera datang dalam lima bulan.

"Nanti juga kalau udah waktunya pulang kok, Bang. Kalau abang kangen ikut om Andra aja besok, gimana?"

"Boleh, Bu?" tanya Rey dengan semangat.

Vira mengangguk. "Boleh, asal abang nggak rewel sama nggak nakal."

"Beneran?"

"Iya. Katanya nanti om Andra mau mampir ke sini. Rey bilang aja, ya?"

Rey langsung mengacungkan jempol dengan semangat. Vira tersenyum di kursinya, menyingkirkan Rey sementara dia mengurus ibunya dirasa adalah solusi yang tepat. Urusan mengubah pikiran Rio, dia bisa bicarakan dengan baik-baik nanti.

**

"Kalian mau ke mana? Bulan madu? Ini anak main titipin aja, memangnya barang? Abang mah gitu, dulu Rara, sekarang Rey! Kalau dia rewel gimana? Dia ketemu Si Kembar aja udah ketakutan."

Andra memrotes panjang Rio yang menyampaikan keinginan Rey untuk ikut menemui Rara. Dia sengaja mampir ke sini untuk mengambil barang yang ketinggalan dan justru mendapat hadiah. Hadiah yang tidak tanggung-tanggung, membawa Rey.

"Rey katanya kangen sama Rara, terus katanya pengen nanyain kabar dedek. Lagian dia nggak bakal rewel kalau sama Rara. Kalau urusan Si Kembar, minta aja Nada supaya mereka nggak ketemu."

"Tap__"

"Coba kamu tanya Rara, dia pasti setuju," potong Rio tanpa menunggu pembelaan dari Andra."

Andra melakukan apa yang diperintahkan Rio. Lelaki itu masuk ke kamar dengan ponsel di telinga. Tidak lama kemudian, dia sudah muncul dengan wajah yang tidak bisa diartikan.

"Gimana?"

"Abang menang!"

Vira tersenyum geli. Dia mulai paham hubungan kedekatan antara Rio dan Andra. Andra, dia selalu menuruti keinginan Rio, patuh, lebih tepatnya menghormati. Sepertinya dia sedikit tahu alasan yang membuat Andra dan Rara menikah, tetapi untuk memastikan hal itu dia juga masih perlu memastikan kepada adik iparnya. Dia semakin penasaran dan tidak sabar untuk bertemu Rara.

"Rey pasti kalau tahu langsung girang," ujar Vira dengan senang. Dia bisa membayangkan Rey akan bersorak gembira ketika bangun nanti.

"Kak Vira gimana kalau ikut kami? Belum tahu rumah Papa di Malang, kan?" tawar Andra.

Sebuah bantal kursi langsung melayang tepat di wajahnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Rio yang duduk di seberang.

"Kalau gitu mendingan kami jalan sendiri nengokin Rara, Ndra!" protes Rio dengan kesal.

Andra tertawa miris. Dia harus melakukan hal baik bagi pasangan lain di saat nasibnya sebagai suami masih belum jelas karena ngidam Rara yang tidak keren.

**

Rey sudah ikut pergi bersama Andra beberapa waktu lalu. Sekarang di rumah hanya ada Rio dan Vira. Mereka sedang bersantai di kasur setelah selesai ibadah.

"Abang marah?" tanya Vira sedikit mendongak.

"Kamu ngusir Rey cuma buat nanya ini?"

"Aku nggak ngusir kok, Rey emang lagi pengen ketemu Rara," protes Vira tidak terima, "jadi, abang marah ya soalnya tadi aku bohong?"

"Kalau marah ngapain aku nurutin kamu yang bilang Rey mau pergi. Lebih baik Rey di sini, ada pengalihan."

"Kirain, soalnya balas pesannya singkat banget," ujar Vira dengan lega.

"Tadi baru sedikit sibuk, tapi aku akan marah kalau kamu nggak jelasin apa yang terjadi tadi pagi. Aku udah hampir keluar waktu sadar ada wanita itu," ujar Rio dengan suara sedikit meninggi. Harinya sudah menjadi kacau karena diberi pemandangan pagi yang tidak mengenakkan. Dia terus kepikiran. Sebenarnya rasa kesal untuk Vira itu ada, tetapi dia tahu pasti istrinya berbohong karena ada alasannya.

"Dia nagih buat ketemu Rey." Vira berkata pelan.

"Wanita nggak tahu diri!"

Rio mulai emosi sendiri, beruntung genggaman tangan Vira yang tiba-tiba mampu membuatnya kembali tenang.

"Bang, kayaknya masalah ini harus cepat diberesin. Abang mau ya ketemu sama dia? Dengarkan aja yang dia minta, turuti kalau itu masuk akal dan memungkinkan. Masalah yang udah lewat, abang bisa menanyakan alasan dia pergi dulu atau nggak tanya juga nggak masalah. Toh, semua sudah jadi masa lalu buat kalian berdua."

Rio terlihat ragu mendengar saran dari Vira. Dia menatap Vira yang memandangnya dengan penuh keyakinan.

"Kalau nanti justru emosi gimana?" tanyanya khawatir.

"Nggak akan."

"Serius, Vi. Lihat wajahnya aja malas."

"Bang!"

"Elvira."

"Aku bisa nemenin abang kalau diminta."

Rio terdiam dan mulai memikirkan perkataan Vira. Vira benar, jika ingin hidupnya tenang maka dia harus menyelesaikan segala urusan di masa lalu. Langkahnya akan semakin ringan seandainya beban di pundaknya berkurang.

"Baik, kalau gitu kamu atur waktunya."

Vira mengangguk mantap. "Siap! Besok aja, mumpung libur dan Rey nggak ada."

Rio langsung membulatkan mata tidak percaya. "Nggak besok juga kali, Vi."

"Lebih cepat, lebih baik."

Rio akhirnya berhenti mendebat. Kalimat Vira seakan menarik perhatiannya.

"Kalau begitu sekarang kita kabulin permintaan Rey. Lebih cepat, lebih baik," ujar Rio sambil mengedipkan mata.

"Permintaan Rey?" tanya Vira tidak mengerti.

"Adik buat Rey. Dia pasti bakalan nagih kalau Si Kembar udah lahir. Jadi, lebih cepat lebih baik."

Ingat tentang 'lima perkara sebelum lima perkara'? Intinya adalah agar kita kesempatan sebaik-baiknya, sebelum hilangnya kesempatan tersebut. Salah satu dari lima perkara itu adalah lapang sebelum sempit.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top