Bagian 15

Tok tok tok.

"Iya, masuk," ujar Rio ketika Rina - staff administrasi mengetuk ruang praktiknya.

"Permisi, Dok."

Rio menyipit heran karena Rina berbasa-basi. Biasanya dia langsung masuk dan memberikan dokumen untuknya.

"Dok, barusan ada telepon dari Pak Toro. Katanya Ibu sama Rey ada di rumah sakit Harapan," ujar Rina pelan, berharap info yang dia sampaikan tidak mengejutkan atasannya.

"Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Oke, kamu boleh ke luar."

Berbagai pikiran buruk langsung melintas di kepala Rio. Dia langsung ingat Vira yang sejak tadi menelepon, tetapi tidak dia angkat sama sekali. Panggilan yang sudah berhenti sekitar tiga puluh menit yang lalu.

"Ah, Rin! Tolong sampaikan ke Pak Redi kalau saya pulang lebih awal, minta Beliau handle semua pekerjaan sebelum Andra datang," tambah Rio cepat ketika Rina sudah meraih pintu.

"Baik, Dok!"

Rio masih berusaha menghubungi Vira. Sayangnya, panggilan yang dia lakukan tidak diangkat. Setelah panggilan kedua, barulah terdengar suara dari ujung telepon.

"Rey, Budhe! Rey!"

Suara tangisan pilu dari ujung telepon sukses membuat Rio menahan napas. Itu jelas adalah suara Vira. Lalu, kenapa dia terus menyebut nama Rey?

"Yo, ini Toro!" suara Toro akhirnya mengambil alih suara Vira.

"Rey nggak papa, Vi! Kamu istighfar." Kali ini suara Budhe Rila ikut terdengar. Dari suara yang terdengar lirih, sepertinya Toro berdiri agak jauh dari Vira maupun Budhe.

"Yo!"

"Iya, Ro. Gimana keadaan mereka? Saya baru mau jalan ke sana, tolong jaga mereka."

"Rey masih diperiksa. Vira ... kamu lihat saja sendiri ke sini. Jangan lama-lama."

Rio berjalan semakin cepat menuju tempat parkir. Perasaan was-was kian menjadi ketika sadar bahwa mereka tidak membawa keduanya ke klinik, melainkan rumah sakit. Keadaannya tidak parah, kan? Arghhhh, seandainya sejak tadi dia mengangkat telepon, pasti sekarang dia sudah ada di sana bersama mereka.

**

Suasana di rumah sakit terbilang tidak terlalu ramai. Rio bisa melihat Vira dan Budhe berada di luar ruangan. Begitu mendekat, tampaklah Vira yang terus memeluk budhe Rila sambil terus menyebut nama Rey.

"Rey ada di dalam sama Toro," ujar Budhe ketika Rio sudah ada di hadapan mereka.

Rio mengangguk paham, melihat sekali lagi keadaan Vira, lalu masuk ke dalam. Dia sedikit tenang ketika melihat Rey duduk bersandar dan sedang berbicara dengan Toro. Tampaknya, dia baik-baik saja. Namun, dia tidak akan merasa baik jika belum melakukan cek seluruh fisik Rey.

"Dia nggak papa. Beruntung kepalanya nggak bentur aspal soalnya tangan dia reflek. Jadi, tangannya aja yang luka. Katanya pingsan karena syok," jelas Toro ketika Rio mulai melihat Rey.

"Udah diperiksa lebih lanjut kepalanya?" tanya Rio.

"Lagi tunggu hasil keluar."

Rio langsung merasa lega. "Syukurlah, minimal dia baik-baik saja. Semoga hasilnya juga."

"Ayah kok sendiri? Ibu mana? Tadi abang sama ibu baru pulang sekolah, terus ada motor lewat cepet banget. Abang jadi jatuh, kan," tanya Rey penasaran. Dia sudah kembali banyak bicara, itu artinya dia memang sehat.

"Ah, Bu Vira lagi beli minum, Rey. Nanti ke sini kalau udah beli," jawab Toro cepat tanggap memberi alasan.

"Tadi katanya beli makan, sekarang beli minum. Tapi, kok ibu lama? Gimana sih, Om?"

Toro langsung merutuk dalam hati. Dia terlalu payah dalam berbohong dan mencari alasan. Mana dia sadar kalau tadi memberikan alasan sedang mencari makan. Seingatnya dia hanya berkata Vira sedang keluar.

Rio yang ada di antara keduanya langsung merasa tidak enak. Ada sesuatu yang ganjil ketika menyadari Toro berbohong kepada Rey, padahal Vira jelas-jelas menunggu di depan. Mereka tidak sengaja beradu pandang dan Toro mengangkat bahu tanda angkat tangan, tidak mengerti apa yang harus dia lakukan selain berbohong.

"Ayah coba cari ibu dulu ya, Bang? Takutnya ibu lupa jalan. Abang sama Om, ya?"

Rey langsung mengangguk patuh.

"Ro, titip Rey!"

"Siap!"

Selepas kepergian ayahnya, Rey langsung berkata dengan polos. "Om Toro payah! Kenapa nggak cari ibu dari tadi? Kalau ibu ilang gimana?"

"Kalau Om cari ibu, nanti kamu sendirian Rey."

"Rey udah gede, udah mau jadi abang. Jadi nggak papa sendirian," protes Rey.

Oke, fine!

Toro akhirnya mengalah dengan minta maaf dan menyuruh Rey tidur. Sepertinya berhadapan lama dengan anak ini akan membuatnya semakin menunda rencana menikah.

**

Rio keluar kamar perawatan dan menemukan Vira yang sudah tertidur. Budhe Rila langsung paham dan membiarkan Rio menggantikan posisinya sebagai sandaran.

"Vira tidak apa-apa, cuma syok. Dari tadi terus menyebut nama Rey, tetapi malah ketakutan waktu diajakin masuk."

Budhe Rila menghentikan kalimatnya dan kembali menatap Vira dengan prihatin.

"Anak ini, sepanjang umurnya selalu merasa bersalah. Padahal kemarin dia sudah mulai berubah, tetapi sekarang justru menjadi buruk. Semoga saja ini hanya sementara dan besok sudah kembali normal."

"Iya, Budhe."

"Berhubung adikmu ada di Malang, untuk sementara biar Rey menginap di rumah kami. Ada Toro yang bisa menemaninya, takutnya kalau berhubungan sama Vira justru runyam. Setelah Vira membaik, baru nanti kalian tinggal bersama lagi. Kalau Vira yang ke rumah kami, takutnya di saat seperti ini dia teringat sama ayahnya."

Rio terlihat ragu mendengar tawaran dari Budhe Rila. "Tapi, nanti Rey rewel kalau bangun tidur, Budhe. Dia tidak terbiasa di tempat baru."

"Tenang saja, Budhe sudah berpengalaman kalau soal anak kecil. Pun ada Toro, sepertinya Rey sudah dekat dengannya. Sekarang yang paling penting itu Vira," ujar Budhe menenangkan.

Rio tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Urusan soal kecelakaan semua sudah diurus oleh Pakdhe, semua murni hanya kecelakaan sehingga Rey tersenggol motor. Berhubung tidak ada yang terluka fisik parah, mereka sepakat untuk berdamai. Setelah semua selesai, Rey akhirnya tetap tinggal di rumah Budhe Rila. Anak itu tidak banyak bertanya ketika melihat Vira tertidur dan mendengar bahwa ibunya kelelahan.

**

Rio memandang Vira yang saat ini masih terlelap di ranjang. Semua masalah yang ada di dalam keluarganya datang bertubi-tubi dan tidak kunjung selesai. Setelah Vira mulai berdamai dengan Rey, kini ketakutannya kembali. Belum lagi ditambah masalahnya dengan mantan istri. Dia belum bisa berdamai dengan masa lalu, tetapi juga belum menyiapkan diri untuk membahasnya dengan Vira. Lagi pula, melihat keadaan Vira sekarang, dia perlu menunggu waktu. Dia tidak pernah tahu apa yang akan Vira lakukan setelah bangun. Entah itu akan terus menuntutnya dengan banyak pertanyaan tentang masa lalu, atau justru dia harus menenangkan Vira. Satu hal yang dia takutkan sekarang adalah jika wanita itu kembali datang di saat yang tidak tepat. Kepalanya nyaris berasap, dia tidak bisa menjamin apa yang akan dilakukan jika mereka kembali bertemu.

Panggilan masuk dari nomor Rara menarik perhatian Rio.

"Assalaamu'alaikum. Kenapa, Dek?" jawab Rio dengan suara pelan, tidak semangat.

"Wa'alaikumsalaam. Abang katanya dapat musibah? Rey sama Kak Vira gimana?"

"Andra udah gosip? Dia nggak kerja malah teleponan sama kamu?"

"Aku nanya serius, Abang. Bang Andra kan belum jam masuk, tapi tadi disuruh datang awal. Terus kenapa abang semalam nginep di rumah? Ada masalah?"

Rio langsung gelagapan. Ah, dia salah jika semalam memilih rumah Andra sebagai tempat menginap. Adik iparnya itu sudah pasti akan cerita semua hal kepada Rara.

"Kemalaman, Dek. Kasihan kalau abang bangunin Vira," elak Rio mencoba mencari alasan paling pas.

"Bohong! Tadi malam Kak Vira telepon aku. Terus dia tiba-tiba nanyain soal Ibu Rey, memangnya ada apa?" tanya Rara. Tanpa Rio ketahui, Rara yang sudah tahu dari cerita Vira kalau ibu Rey datang hanya ingin menguji kejujurannya. Dia penasaran akan seperti apa tanggapan Rio mengenai hal ini.

Rio mendesah. "Hah! Entahlah, Dek ... kamu tahu nggak betapa kesalnya abang waktu lihat dia tiba-tiba muncul di depan rumah? Rasanya pengen maki-maki dia, lihat mukanya aja bikin muak. Terus Vira, dia minta ijin buat nemuin Rey sama wanita itu. Walaupun itu cuma sekali, tetap aja dia nggak punya hak ketemu sama Rey. Di__"

"Bang!"

"Dia itu u__"

"Abang!" potong Rara dengan kesal. Dia tahu di tempatnya Rio sudah mulai kesal, tetapi dirinya juga kesal karena tidak diberi kesempatan bicara.

"Abang bisa diam terus dengar aku ngomong nggak, sih?"

Rio menarik napas panjang, berusaha mengatur emosi. "Iya."

"Si kembar lagi gerak-gerak ini. Dia ikut emosi kayak abang," ujar Rara sambil tertawa kecil.

Mau tidak mau Rio tersenyum, di saat dia sedang serius bisa-bisanya Rara masih bercanda. Dia yang tadinya sedang kesal menjadi berdecak karena geli.

"Apaan sih, Dek? Mereka pasti senang dengerin abang ngomong," ujarnya.

"Gini loh, Bang. Abang memang masih kesal sama ibu Rey, tetapi bukan berarti abang keras kepala nggak mau cerita sama Kak Vira. Abang tahu rasanya jadi Kak Vira? Rasanya sangat menyebalkan, kita seperti orang yang nggak berguna dan nggak dianggap keberadaannya. Abang secara nggak langsung menyimpan kenangan yang buruk itu di sudut hati tanpa mau membaginya. Kak Vira bukan hitungan hari lagi hidup bareng kalian, terus sampai kapan abang mau tutup mulut? Semakin lama abang diam, Kak Vira akan merasa semakin nggak dianggap. Kak Vira dulu juga membuka lukanya karena abang terus memaksa, kenapa sekarang abang kayak gini?"

"Bukan be__"

"Selama abang diam, masalah kalian nggak akan selesai."

Rio sangat sadar apa yang diucapkan oleh Rara. Hal yang perlu dia lakukan sekarang adalah belajar mengatur emosi yang meledak jika berhubungan dengan mantan istri. Namun, sekarang masalahnya semakin rumit ketika Vira mulai kembali seperti yang dulu. Kalau saja kemarin dia sudah berbicara baik-baik dengan Vira, mungkin sekarang akan lain cerita. Masalahnya berkurang satu dan tidak menumpuk. Seandainya, ya, seandainya saja.

"Masalahnya, Ra, kemarin Vira ngambek, terus karena kecelakaan ini dia balik kayak dulu. Dia ketakutan, nggak mau lihat Rey. Abang nggak tahu harus gimana sekarang."

"Kak Vira kembali kayak dulu? Nggak mau dekat sama Rey?"

"Iya, tadi dia ketakutan waktu diajak lihat Rey. Abang bingung harus ngapain," jawab Rio dengan frustrasi.

"Ra, abang tutup dulu. Vira bangun, assalaamu'alaikum," tambah Rio cepat ketika melihat Vira gelisah dalam tidurnya.

Selamanya, kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Satu hal yang pasti, apa yang terjadi di masa depan tergantung apa yang kita lakukan hari ini.

TBC

Nb. Karena sebagian besar (hampir semua) lebih suka judul dan cover lama, akhirnya saya galau dan mengembalikan Calon Ibu seperti asalnya.. :P  #labil. Kritik dan saran selalu ditunggu, ya... ~ Sankyuu ^,^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top