Bagian 13
Vira melihat jam di tangan yang menunjukkan waktu masih kurang lima menit sekolah Rey akan berakhir. Ingatannya kembali memutar pada kejadian tadi malam.
"Bang, soal ibu Rey. Kapan abang mau cerita?" tanya Vira kepada Rio ketika mereka akan tidur.
"Nanti," jawab Rio dingin.
Vira mendesah. Ini bukanlah pertama kali dia bertanya dan jawaban Rio masih selalu sama. Nanti yang entah kapan akan terjadi.
"Nanti kapan?" tanyanya lagi.
"Iya, nanti. Sekarang kita tidur, udah ngantuk."
Vira tidak bisa berkata apa pun lagi karena Rio langsung menarik selimut hingga dada dan memejamkan mata. Sekali lagi, pembahasan masa lalu menemukan jalan buntu.
"Ibu kok sendiri? Nggak sama Nte Rara?" tanya Rey yang ternyata sudah muncul di hadapan Vira. Dia sudah ke luar gerbang ketika Vira masih sibuk dengan pikirannya. Rey belum paham kalau kemarin Rara hanya dimanfaatkan untuk merayunya agar mau pulang. Kalau saja Rara tidak ikut, mungkin dia akan tetap merajuk dan tidak mau pulang. Lalu, perdamaian tidak akan pernah terjadi.
"Iya, katanya mau pergi ke rumah saudara Om Andra."
"Oh, kok abang nggak diajak, Bu?"
"Abang kan sekolah."
"Oh, iya. Terus kok nggak nunggu abang perginya?"
Vira masih bungkam. Otaknya berpikir keras untuk menjawab pertanyaan polos dari anak sekecil Rey. Pertanyaan yang tidak akan pernah menemukan ujungnya. Lihat saja bagaimana akhir dari percakapan ini.
"Kalau nunggu abang nanti kelamaan dong. Abang kan sekolahnya lama."
"Nggak lama kok. Ini abang udah pulang. Emang saudaranya Nte siapa, Bu?"
"Ehm, siapa, ya? Kalau nggak salah Nte Rara bilang mau ke rumah Tante Bila."
"Nte Bila?"
"Iya."
"Nte Bila rumahnya mana?"
"Mana Ibu tahu, Rey!" batin Vira gemas.
"Rumahnya jauh."
"Jauh?" tanya Rey memastikan
"Huum," jawab Vira sambil menganggukkan kepala dengan mantap.
"Jauhnya, jauh mana? Jauh banget?"
"Huum. Banget."
"Nte Bila yang mana sih, Bu?"
"Nte Bila siapa saja Ibu nggak tahu, Rey!"
"Ibu juga lupa yang mana."
Rey tampak berpikir. "Uhmmmm, kayaknya Nte Bila yang punya dedek bayi deh."
"Iya, kayaknya."
"Dedeknya cewek, Bu."
"Iya."
"Kalau Nte Rara katanya cewek sama cowok ya, Bu?"
"Iya."
"Dua?"
"Iya, adeknya ada dua nanti. Banyak, kan?"
"Terus kapan Ibu punya adek?"
SKAK MAT!
Vira langsung bungkam seketika. Pertanyaan ringan Rey bagaikan petir di siang yang terik. Siapa yang menyangka kalimat tanya tersebut bisa muncul dari anak sekecil Rey. Jika saja saudara atau orang lain yang bertanya, maka dia cukup menjawab "Belum dikasih. Doain aja." . Namun, lain cerita jika Rey yang bertanya. Dia bingung dengan jawaban apa tepatnya yang harus dia sampaikan.
"Ah, nanti Rey tanya sama ayah aja, ya?"
"Tanya ayah, ya? Nanti abang tanya."
Rey mengangguk mantap, sementara Vira tersenyum geli. Ternyata dia cukup pintar untuk menjawab pertanyaan dari Rey. Urusan adik, serahkan kepada Rio yang akan bersilat lidah.
"Abang, kita ke rumah Eyang Uti, ya? Ibu udah bawa baju ganti di tas. Nanti ayah langsung nyusul ke sana." Vira mengalihkan pembicaraan yang dianggapnya netral.
"Eyang Uti?"
"Iya. Eyang Uti, itu loh tempat Om Toro."
"Mau ngapain, Bu?"
Perjalanan ibu dan anak itu terus diikuti dengan kalimat tanya dari Rey dan jawaban dari Vira. Sejak kemarin, tepatnya setelah Rey mau berdamai dengan Vira, anak itu kembali ke habitat awalnya. Cerewet! Ah, tepatnya adalah rasa ingin tahunya yang tinggi. Jika kemarin dia menahan diri karena masih takut dengan Vira, sekarang dia bisa lepas, seakan menemukan partner untuk berbicara selain dengan ayahnya.
Tiba di rumah, Vira langsung disambut dengan Budhe Rila dan putra semata wayangnya, Toro.
"Eh, ada pengantin udah nggak baru," ujar Toro ketika mereka selesai berucap salam.
Vira langsung berdecak, "Eh, ada bujangan udah nggak muda."
Sekarang berganti Toro yang berdecak. Dia langsung bangkit berdiri dan memakai sandalnya.
"Mau ke mana?" tanya Vira cepat.
"Mancing ikan! Kalau di sini sama kamu cuma mancing keributan."
Vira terkekeh, sangat hafal dengan tingkah sepupunya. Walaupun kalimat Toro diucapkan dengan segalak apa pun, tetap saja membuatnya tertawa. Lelaki ini selalu bercanda.
"Ajakin Rey, Om! Aku mau bersihin rumah dulu."
"Lihat, Ma kelakuan Vira sekarang! Main suruh aja kayak bos."
Budhe Rila tersenyum melihat keduanya. Dua anak tunggal yang bertemu selalu akan berakhir dengan debat kecil, tetapi justru membuat keduanya saling memahami satu sama lain. Mereka sudah seperti saudara kandung jika sudah menyangkut masalah salah satu di antaranya.
"Budhe, nikahin Toro, gih! Biar nggak manja terus, masa udah tua masih ngadu! Pakdhe suruh milih mahasiswinya satu aja yang paling jelek."
"Gini-gini aku ganteng loh, Vi!"
Vira baru akan menimpali ketika Rey menggoyangkan tangannya sebagai tanda minta diperhatikan. Dia memaki dalam hati, bertemu dengan Toro dan Budhe telah membuatnya lupa akan kehadiran Rey. Dia langsung berjongkok untuk menyejajarkan tinggi dengan Rey.
"Abang ikut Om Toro dulu, ya? Om Toro mau mancing ikan, nanti kalau udah dapat biar ibu yang goreng. Sekarang ibu mau bersih-bersih rumah."
"Mancing ikan?" tanya Rey dengan antusias.
"Iya. Nanti kalau belum dapat ikan banyak jangan pulang dulu, ya? Minta Om Toro buat mancing yang banyak, kalau udah banyak baru pulang. Oke?"
"Oke!"
Vira langsung berdiri begitu mendapat persetujuan dari Rey. Dia menepuk bahu Toro pelan. "Ingat, yang banyak ikannya ya, Om?"
"Itu mah sama saja minta dibeliin, Vi! Mana pernah aku bawa pulang ikan banyak."
"Emang!" jawab Vira sambil menyeringai.
Selanjutnya, Vira langsung berpamitan untuk pulang setelah Rey dan Toro pergi. Dia sengaja pulang ke rumah untuk bersih-bersih. Urusan menunggu rumah memang diserahkan kepada keluarga Budhe Rila, tetapi dia tidak sampai hati jika harus meminta untuk membersihkan rumah juga. Minimal dua kali dalam satu minggu datang tidak akan menjadikan rumah sebagai sarang laba-laba.
**
"Assalaamu'alaikum."
Vira mengecilkan api kompor ketika mendengar suara salam yang sudah tidak asing. Suara yang akhir-akhir ini selalu terdengar akrab di telinga. Siapa lagi kalau bukan suaminya, Rio.
"Wa'alaikumsalaam," jawabnya sambil mengambil punggung tangan lelakinya untuk dibawa ke dahi.
"Aku lagi masak, abang langsung ke dalam, ya?" tambahnya sambil kembali berjalan cepat menuju dapur, meninggalkan Rio yang menggelengkan kepala karena geli. Tangannya yang sudah terangsur untuk menyerahkan tas kerja kepada Vira langsung dia tarik kembali.
"Kok sepi? Rey ke mana?" tanya Rio menyambangi Vira yang sekarang sedang menata makanan di atas meja. Matanya melirik sekilas Rio yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian.
"Pergi sama Toro, tadi sih katanya mau mancing, tapi nggak pulang-pulang. Udah sore padahal. Apa mau disusul aja?"
Rio menganggukan kepala tanda mengerti. Lalu, sebuah seringaian muncul di wajahnya. " Nggak usahlah, bagus dia jalan-jalan. Kita jadi ada waktu berdua."
"BU VIRAAAAA! ASSALAAMU'ALAIKUM."
Bersamaan dengan suara nyaring terdengar, seringai di wajah Rio langsung memudar.
"Nggak tahu waktu banget sih, Rey!" gerutunya pelan yang terdengar di telinga Vira dan membuat wanita itu tertawa sambil meninggalkan Rio di kursi.
"Wa'alaikumsalaam."
"Oh, itu ayah udah pulang, Bu?"
"Iya, sana salim sama ayah dulu. Ikannya mana, Bang?" tanya Vira sambil mengikuti Rey ke dalam.
"Om Toro payah, Bu! Masa nggak dapat ikan terus, padahal yang dekat sama abang dapat banyak."
Vira nyaris tergelak mendengar rey mengatakan kata 'payah'. Dia tidak tahu dari mana Rey bisa mendapat kosakata tersebut.
"Gimana mau dapat ikan, Rey? Pancingnya kamu gerakin terus," protes Toro yang muncul tidak lama kemudian.
"Punya bapak tadi juga gerak-gerak terus, Om. Abis itu langsung dapat ikan."
"Ya, ampun, Vi! Anakmu ini nggak berhenti ngajak debat terus. Dibilangin itu kail gerak karena udah gigit ikan nggak percaya. Dia bilang harus digerakin dulu baru dapat ikan, yang ada malah pada kabur. Udah ah, ini ikannya."
Vira tersenyum mendengar curahan hati dari Toro. Pasalnya dia juga baru mengetahui sifat asli Rey yang cerewet dalam hitungan jam. Dia saja masih butuh penyesuaian, apalagi Toro. Mungkin, orang yang saat ini mampu mengimbangi dan memahami Rey hanyalah suami dan adik iparnya. Ibaratnya, mereka itu adalah pawangnya Rey.
"Udah dari sananya dia begitu," jawab Vira pada akhirnya. "Kamu nggak mampir? Aku udah siapin makan."
"Nggak, gerah. Mau mandi dulu."
Selepas kepergian Toro, Vira berbalik dan mendapati Rey sudah duduk di pangkuan Rio. Anak itu sudah mulai berceloteh menceritakan pengalaman memancing yang baru saja dia dapatkan. Vira pun ikut bergabung bersama keduanya.
"Besok abang juga mau mancing sama ayah, ya?" pinta Rey kemudian.
"Iya, kalau ayah pas libur, ya?"
"Asikkkk! Oh, iya, Yah! Kapan ibu punya adek bayi?"
Rio mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan baru dari Rey. Pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan perbincangan sebelumnya. Dia menoleh ke arah Vira, yang kini memandang ke kiri sehingga hanya bisa melihat rambutnya. Hal yang tidak dia ketahui adalah Vira nyaris terkikik geli akan pertanyaan Rey.
"Adek?" tanya Rio memastikan.
Rey menangguk semangat. "Iya, adek. Adek bayi itu loh, Yah!"
Rio manggut-manggut, seakan sudah paham atas pertanyaan Rey. "Kalau soal adik bayi, abang tanya sama ibu, ya?"
"Tadi kata ibu suruh nanya ayah, terus sekarang ayah suruh nanya ibu. Gimana, sih? Abang kan jadi bingung."
Vira langsung tergelak mendengar jawaban dari Rey. Lain halnya dengan Rio yang memandangnya dengan tatapan penuh protes. Dia baru sadar kalau ini seperti pertanyaan buangan pada acara cerdas cermat.
"Gimana, Yah? Adiknya?" tanya Rey yang masih menuntut jawab.
"Adik, ya?" ujar Rio menggantung. "Nanti kalau adiknya Nte Rara lahir baru ibu punya adik, ya? Gantian gitu, Bang."
"Ohhhh, gitu! Ya udah, sekarang abang lapar. Abang mau makan, Bu."
**
Semua hal berjalan dengan lancar dalam kehidupan Rio dan Vira. Keduanya semakin dekat, pun dengan Rey. Sampai dengan satu bulan selanjutnya, Rey masih sibuk dengan pertanyaan kapan ada adik. Jawaban yang dia terima pun masih sama, yaitu menunggu Rara punya bayi. Sayangnya, di saat usia kandungan adik iparnya sudah mencapai hitungan tujuh bulan dan bahkan mulai diungsikan ke keluarga Andra, tanda-tanda kehamilan itu belum ada. Hal yang membuat Rio dan Vira harus menyiapkan jawaban baru jika Rara sudah melahirkan. Di sisi lain, Vira masih sibuk dengan pertanyaan masa lalu Rio yang selalu mendapatkan jawaban sama yaitu nanti.
Di siang yang terik, saat Vira baru saja selesai menidurkan Rey. Seorang wanita yang ditafsir berusia kepala tiga mengetuk rumahnya. Awalnya dia tidak curiga ketika wanita tersebut bertanya soal kepemilikan rumah ini atas nama Rio, lalu bertanya apa hubungan Rio dengan Vira. Namun, semua berubah setelah wanita tersebut meminta ijin untuk berbicara sebentar dengan Vira.
"Perkenalkan, saya ibu dari Reza Ramadhan...."
Hanya satu kalimat itu yang masuk ke dalam pikiran Vira. Kalimat selanjutnya seperti angin bising yang terus berbunyi semakin keras. Akhirnya hal yang paling dia khawatirkan akhir-akhir ini menjadi kenyataan. Dia dihadapkan pada mantan istri Rio di saat dirinya masih belum siap. Dia bahkan belum sempat dan masih ragu menanyakan masa lalu Rio kepada Rara. Di sisi lain, Rio selalu bungkam dan mengalihkan pertanyaan jika dia menanyakan hal tersebut.
"Kak," panggil wanita tersebut sambil menepuk bahu Vira.
Vira tidak bisa berkata apa pun, dia hanya menatap wanita di hadapannya tanpa ekspresi. Beruntungnya Rey sekarang sedang tidur dan mereka hanya berbicara di teras.
"Kak, saya bisa bertemu dengan Reza sebentar?"
"Entahlah," jawaban dari Vira tidak sampai ke luar mulut. Dia masih bungkam.
"Kak, saya mohon. Ijinkan saya bertemu dengan Reza, meskipun hanya satu kali. Bagaimanapun masa lalu kami, tetapi kita adalah sama-sama wanita. Kakak seharusnya mengerti apa yang saya rasakan. Saya ingin bertemu dengan Reza. Anak saya sendiri."
Vira masih menutup mulutnya dengan rapat. Dia tidak tahu harus berbuat apa karena tidak pernah tahu masa lalu seperti apa yang sudah terjadi. Ingin memberi ijin, tetapi dia merasa ini di luar kuasanya.
"Anak? Kamu masih ingat punya anak? Lalu, ke mana saja selama ini?"
Sebuah suara menginterupsi keduanya. Rio yang ternyata baru saja tiba sudah berdiri di hadapan keduanya. Vira merasakan aura dingin ketika Rio tanpa basa basi sudah menarik tangannya untuk berdiri dan sedikit menariknya ke dalam rumah. Pintu rumah langsung dikunci, menyisakan wanita yang baru saja ditemuinya ada di luar.
"Lain kali kalau dia datang jangan pernah ditemui!" Rio berkata dingin.
"Tapi, Bang. Di__"
"Nggak ada tapi-tapian, Vira. Juga jangan sampai Rey bertemu dengannya."
Vira memandang Rio tidak mengerti, hanya larangan tanpa penjelasan yang dia terima. Dia tidak bisa memahami kondisi yang ada dan siapa yang harus dia ikuti. Wanita tadi dengan tatapan rindunya untuk Rey, atau Rio yang tampak sangat membenci.
"Abang masih nggak mau bicara sama aku? Nggak mau cerita soal masa lalu abang? Soal ibu Rey? Sampai kapan abang mau kayak gini, terus menghindari topik yang sama sampai akhirnya aku seperti orang bodoh waktu bertemu mantan istri abang. Aku nggak tahu siapa dia. Dia yang tiba-tiba tanya buat mastiin ini rumah abang atau bukan. Dia juga tanya aku siapanya abang. Terus tiba-tiba dia memperkenalkan diri sebagai ibu Rey. Dia bilang mau ketemu sama Rey. Aku nggak tahu siapa dia dan nggak tahu mesti jawab apa!" ujar Vira panjang dengan sedikit frustrasi. Masa lalu Rio bukan lagi abu-abu baginya, tetapi gelap.
"Nanti."
Vira makin kesal mendengar jawaban dari Rio. "Nanti? Abang selalu bilang nanti, nanti, dan nanti. Tapi, kapan, Bang? Apa abang mau lihat aku terus kayak orang bodoh yang nggak tahu apa-apa?"
"Iya, nanti."
"Bang, sekali, dua kali, tiga kali abang boleh terus bilang nanti. Tapi, minimal waktu wanita itu datang, abang berhenti bilang nanti," protes Vira. Sebelumnya dia memang selalu bersabar atas kediaman Rio. Namun, dengan hadirnya wanita yang sering menjadi pertanyaan utama dalam otaknya hadir, dia tidak bisa bersabar lagi. Jika dia biasanya hanya bungkam dan berakhir pada pengalihan topik pembicaraan, maka kini dia menuntut jawab.
"Elvira!"
"Abang tahu nggak? Dengan kediaman abang selama ini, itu berarti abang belum bisa percaya sama aku. Jadi, apa arti kehadiranku di keluarga ini? Sebagai beban buat abang karena dulu aku minta dinikahin? Atau hanya sebagai ibu pengganti buat Rey?"
"Vira, bukan begitu."
"Terus gimana, Bang?"
"Nanti aku jelaskan semua, sekarang mau mandi dulu."
Vira langsung berdecak, dia sudah sangat hafal jurus menghindar Rio yang satu ini. Setelah mandi, pembahasan masalah mantan akan langsung hilang berganti dengan topik baru.
"Nantinya abang itu entah tahun kapan!" ujarnya sambil berjalan meninggalkan Rio yang masih belum beranjak.
Vira pergi dengan emosinya yang menggebu dan menuntut penjelasan. Di sisi lain, Rio masih diam di tempat dan mengacak rambutnya dengan frustrasi.
Mengingat masa lalu yang pahit, sama saja dengan membuka jahitan pada luka yang belum kering. Rasanya masih sama, tetap sakit seperti sebelumnya, bisa jadi justru lebih perih.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top