21
Chapter 21 : Can I Trust You?
Taylor Swift baru menyelesaikan sesi menyanyinya sekitar delapan jam kemudian. Bahkan, gadis itu melewatkan jam makan siangnya hanya untuk berkaraoke. Rasanya seperti melepas segala beban di pikirannya. Ketika Taylor selesai, Zayn adalah orang paling berbahagia.
Ke luar dari tempat karaoke tepat pukul tiga sore dan Zayn langsung menyeret Taylor menuju ke restoran terdekat. Zayn mati-matian menahan lapar hanya untuk mendengar Taylor menyanyi ke luar nada dan benar-benar sangat mengganggu indra pendengaran.
Zayn memesan makan siang sangat terlambat untuk keduanya saat Taylor memeriksa ponselnya yang sudah penuh dengan panggilan masuk ataupun pesan masuk. Gadis itu menggigit bibir bawah membaca pesan masuk paling atas yang adalah pesan dari sang ayah.
Cepat pulang. Ada yang harus kita bicarakan.
Tumben sekali Scott Swift mengirimkan pesan singkat kepada putrinya. Scott jarang sekali menghubungi Taylor, biasanya hanya Andrea yang menghubungi dan mengirimi Taylor banyak pesan untuk menanyakan keadaan putrinya tersebut. Jika kali ini Scott yang mengirimi pesan kepada Taylor terlebih dahulu, pasti ada sesuatu.
"Tak keberatan dengan omlet? Katanya, itu menu terbaik di sini."
Taylor mendongak dan Zayn tampak menarik kursi untuk duduk di dekatnya. Zayn mengangkat satu alis mendapati Taylor yang menatapnya seperti itu.
"Ada apa? Ada sesuatu di wajahku?" Zayn menyentuh wajahnya, bingung.
Taylor terkekeh geli. "Tidak. Hanya mengagumi salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang terindah."
Zayn memutar bola mata dengan senyum di bibirnya. Setelah itu, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing sampai makanan pesanan mereka datang. Zayn yang paling antusias, tentu saja. Dia yang paling kelaparan.
"Dad bilang, ada yang perlu dibicarakan denganku. Jadi, sepertinya aku akan langsung pulang ke rumah setelah ini." Taylor berkata, matanya menatap fokus kepada pemuda yang baru berniat untuk makan, tapi terhenti karena ucapan Taylor.
Zayn meletakkan garpu dan pisau di atas piring sebelum menatap gadis pirang di dekatnya sambil menganggukkan kepala.
"Aku akan mengantarmu pulang."
Taylor menahan nafas. "Firasatku buruk. Dad sepertinya ingin berbicara serius. Apa yang harus kulakukan?"
"Dengarkan dan pahami baik-baik, maksud dari ucapannya."
Taylor mengangguk. "Aku akan berkonsultasi denganmu. Jangan matikan ponselmu."
Zayn mengernyit. "Kenapa harus aku?"
Taylor memasang wajah memelas. "Aku tak punya teman berbicara lagi selain kau, Zaynie! Kau tahu sendiri jika Harry pergi meninggalkanku, Niall sangat tak bisa diandalkan. Teman dekatku hanya kau sekarang!"
Zayn tersenyum sinis.
"Teman dekat, ya?"
*****
Taylor menarik nafas dan menghelanya perlahan saat melihat sang ayah yang berjalan mendekat sebelum duduk di sampingnya. Taylor tak mengerti, sesampainya di rumah, tak didapatinya orang lain selain sang ayah, Scott Swift.
"Dad?" Taylor memanggil ayahnya yang diam, menundukkan kepala.
Scott memejamkan mata dan menatap putrinya. Scott melepas kacamata yang dikenakan kemudian meletakkan di atas meja.
"Ada yang ingin kau sampaikan kepadaku?" Scott langsung bertanya dan membuat Taylor mengernyit bingung.
"Bukankah kau yang ingin berbicara denganku, Dad?"
Scott memejamkan mata lagi dan menghela napas. "Aku tahu apa yang terjadi dan Taylor, aku tak mengerti kenapa kau sangat bodoh dan membiarkan hal itu terjadi."
"Dad, aku tak mengerti apa yang kau bicarakan."
"Kau hamil dan ayah dari anak itu adalah salah satu orang yang paling kubenci." Scott menggertakkan gigi-giginya ketika Taylor menahan mafas dengan jantung yang mulai berdegup cepat.
Taylor menundukkan kepala. Pikirannya mulai kacau.
"Aku ingin pernikahanmu dan Zayn dipercepat. Aku tak peduli dengan janin di rahimmu. Pernikahanmu dan Zayn harus tetap terlaksana."
Taylor menggigit bibir bawahnya. "Kau tidak melakukan sesuatu yang buruk pada Harry, kan?"
Scott tersenyum sinis. "Taylor, bukankah kita sudah membuat perjanjian? Kalian harus menjauhi satu sama lain dan jika kalian gagal, kalian tahu konsekuensinya. Aku tak tahu jika selama ini kalian masih berhubungan bahkan sampai nekat untuk mempertahankan kehamilanmu. Jika bermain cerdas, sejak tahu kau hamil seharusnya kau sudah langsung menggugurkannya."
"Daddy! Kau gila? Menggugurkan sama halnya dengan membunuh seseorang!"
Scott mengangkat satu alisnya. "Kalaupun kau mempertahankannya, dengan apa kau menghidupinya kelak? Pria bodoh itu tak akan sanggup dan karena kau memilih untuk mempertahankannya, aku mengikuti maumu. Kau harus segera menikah dengan Zayn supaya semuanya tak terlihat jelas."
Taylor membulatkan matanya. "Maksudmu, kau memintaku untuk membuat skenario di mana janin ini akan menjadi anak dariku dan Zayn kelak?"
Scott tersenyum dan bangkit berdiri. "Kau sangat cerdas. Sederhana dan mudah, kan? Kau juga tidak memberitahu Zayn, kan?"
Taylor menggelengkan kepala. "Aku tak mau dan katakan padaku, di mana Harry?!" Taylor mendesak, bangkit berdiri berhadapan dengan sang ayah.
Pria paruh baya itu menghela nafas dan melipat tangan di depan dada. "Acara pertunangan kalian akan langsung dialihkan menjadi pernikahan. Bersiap-siap, Taylor. Aku akan mengawasimu secara ketat."
"Di mana, Harry?" Taylor mengulangi pertanyaannya.
Scott Swift tersenyum sinis dan mengedikkan bahu. "Kembali ke kamarmu dan beristirahat, Taylor Alison Swift."
Gadis itu menggeleng dan wajahnya mulai kalut. Gadis itu mencengkram dadanya yang terasa sakit. Perasaannya memburuk. Benar-benar buruk.
"Dad, di mana Harry?"
Ini ketiga kalinya Taylor bertanya. Senyuman sinis di wajah Scott menghilang, tergantikan dengan raut tanpa ekspresi yang membuat Taylor semakin kalut.
"Kau akan tahu besok, setidaknya sampai ada yang menemukan tubuh pemuda itu."
Scott memutar tubuhnya dan melangkah menjauhi sang putri yang berdiri kaku tanpa ekspresi.
*****
Zayn menekan pedal rem dengan cepat ketika mobil yang dikendarainya nyaris menabrak seseorang yang tiba-tiba saja muncul dari sebuah jalan kecil dan melangkah dengan gerakan aneh.
Mata cokelat Zayn menatap pemuda yang tertunduk dan menyentuh bagian depan mobilnya. Zayn baru saja hendak menekan klakson ketika pemuda yang nyaris ditabraknya mengangkat wajah dan menatap Zayn dengan wajah lebam dan penuh darah.
Bukankah itu...
Tanpa pikir panjang, Zayn ke luar dari mobil dan menghampiri pemuda itu. Belum sempat Zayn bertanya, pemuda itu sudah berkata dengan suara terputus-putus.
"Tolong...aku..."
Zayn langsung menggopoh tubuh pemuda itu menuju mobilnya. Zayn menatap kanan-kiri sebelum melajukan mobilnya menjauhi area tersebut. Padahal, niatan awal Zayn adalah untuk pergi menemui sahabat-sahabatnya.
"Apa kita perlu ke rumah sakit? Lukamu sangat banyak." Zayn berkata, membuka percakapan ketika seseorang yang duduk di sampingnya itu membuka mata dan tampak dapat duduk dengan tenang.
Pemuda itu menggeleng. "Tidak, terima kasih."
"Aku tak akan bertanya banyak, tapi ke mana aku harus membawamu jika kau tidak ingin pergi ke rumah sakit? Kau ingin kuantar pulang?" Zayn kembali bertanya dan pemuda itu kembali menggelengkan kepala.
"Aku tak aman di rumah. Mereka pasti akan mencariku dan membunuhku."
Zayn bergidik ngeri mendengar jawaban pemuda itu. "Lalu, kau ini apa? Seorang buronan yang lari dari penjara? Kenapa mereka mencarimu dan mencoba untuk membunuhmu?"
Pemuda itu menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. "Zayn. Namamu Zayn, kan?" Pemuda itu menoleh masih dengan kepala bersandar.
Zayn tersenyum tipis. "Kau masih mengingat namaku, ya, Edward?"
Pemuda itu balas tersenyum tipis. "Edward adalah nama tengahku. Tapi biasanya orang-orang memanggilku Harry."
Zayn mengangguk. "Aku tahu dan mungkin sementara kau bisa tinggal di apartemenku. Aku pastikan aman dan aku akan memberitahu Taylor tentang posisimu."
Harry buru-buru menggeleng. "Tidak, jangan beritahu dia. Aku dan dia sudah benar-benar berakhir. Apa dia tak memberitahumu?"
Zayn menoleh sekilas sebelum fokus kepada jalanan. "Kau bercanda? Kenapa harus putus di saat kau tahu dia tengah hamil anak kalian berdua?"
"Aku tak punya pilihan lain." Harry memejamkan mata.
"Apa?"
"Bisakah aku mempercayaimu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top