13
Chapter 13: Stay The Night
Zayn Malik membaca dengan teliti kertas-kertas yang berada di dalam map merah, yang baru saja diserahkan salah satu pesuruh kepadanya. Pesuruh itu bernama August dan yang Zayn perintahkan kepada pria itu adalah untuk mencari sebanyak mungkin informasi tentang seorang Taylor Swift.
Pemuda keturunan Pakistan itu membaca biodata Taylor dengan penuh ketelitian. "Aku tak pernah tahu jika dia adalah seorang pecinta kucing dan bergabung dalam paduan suara semasa sekolah. Dia terdengar seperti anak kecil." Zayn tak yakin dengan apa yang dibacanya tentang Taylor.
"Dia memang pecinta kucing. Dia memelihara dua kucing di rumah. Namanya Olivia Benson dan Meredith Grey. Jika kau tahu, itu merupakan nama karakter dalam sebuah serial televisi." August menjelaskan detail.
Zayn berdecak. "Karakter serial telivisi? Yang benar saja." Pria itu berkata pelan dan bertanya, "Tentang paduan suara, kau serius dia pernah bergabung? Kau lihat saja tingkah dan caranya berbicara. Sangat seperti anak kecil."
August mengangguk setuju. "Memang benar. Tapi saat dia bernyanyi, kau pasti tak akan percaya. Dia memiliki suara yang bagus dan pernah menyanyikan lagu kebangsaan di hadapan ribuan orang ketika hari kemerdekaan."
"Woah. Aku baru tahu itu. Kau punya video-nya?"
August mengangguk cepat. "Aku akan langsung mengirimnya via email, bagaimana?"
Senyuman mengembang di bibir Zayn sebelum menggelengkan kepala. "Tidak, tidak perlu. Mendengar nada seriusmu, aku yakin seratus persen jika kau tidak berbohong."
Kemudian, Zayn membuka lembar berikutnya dan membaca. Ada sekitar dua puluh lembar kertas berisikan informasi mengenai Taylor Swift, yang sudah August kumpulkan selama lebih dari satu bulan. Sejak dijodohkan dengan Taylor, Zayn langsung meminta bantuan August untuk mencaritahu tentang gadis yang berhasil menarik hati kedua orangtua Zayn.
Tatapan Zayn terhenti di lembar ke-delapan di baris tiga dari bawah. Pemuda itu diam, menggigit bibir bawah sebelum kembali menatap August dengan mata yang meruncing.
"Siapa Harry Styles?"
August menyeringai. "Mantan kekasihnya."
Zayn terkekeh dan mengangguk. "Aku tahu, August. Aku bisa membaca jika kau menulis dia sebagai mantan kekasihnya. Maksudku, siapa dia? Apa dia orang terkenal? Pengusaha? Apa kau punya fotonya?"
August memejamkan mata dan mengangguk. "Dia bukan siapa-siapa. Yang kudengar, dia hanya seorang penjaga toko. Mereka berpacaran cukup lama sebelum akhirnya putus. Untuk foto, aku juga akan mengirimkan via email nanti."
Senyuman tipis muncul di bibir Zayn, pemuda itu mengangguk dan menutup map tersebut. Zayn melipat tangan di atas meja sebelum berkata penuh ketegasan, "Aku ingin kau mencaritahu tentang hubungan mereka dulu. Aku pernah bercerita tentang hubunganku dan Lauren dengan gadis itu, tapi dia benar-benar tertutup dengan hubungannya sendiri."
"Berapa lama waktu yang kau berikan untukku mencari tahu tentang pria ini?"
Zayn menyeringai. "Aku tahu kau bisa mencaritahunya dalam waktu sangat cepat."
August balas menyeringai sebelum bangkit berdiri dan kembali mengenakan topi yang diletakkannya di atas meja.
"Satu minggu lagi aku akan membawakan biodata lengkapnya kepadamu."
*****
Taylor yang sedang sibuk mengecat kuku-kuku indahnya tiba-tiba terlonjak terkejut ketika pintu ruangannya terbuka. Jarang sekali ada yang mau berkunjung ke ruangan Taylor, mengingat letaknya yang sangat tidak strategis. Di sudut dan cukup jauh dari elevator.
Mata Taylor melotot tak percaya melihat siapa yang datang menghampirinya. Bahkan, dia sama sekali tak peduli dengan cat kuku yang berserakan di meja kerjanya saat ini.
"Woah. Zaynie. Kau berkunjung ke ruanganku?! Astaga, apa aku bermimpi?!" Taylor berkata histeris dan Zayn memutar bola matanya.
Zayn melangkah menuju bangku kosong yang berhadapan dengan meja kerja Taylor, pendangannya berkeliling. "Aku tak mengerti. Ini ruang kerja atau kamarmu karena semuanya serba merah muda." Zayn berkomentar heran.
Taylor nyengir kuda. "Ruangan ini seperti rumah keduaku. Aku sangat menyukainya. Sampaikan terimakasihku lagi pada Ibu-mu yang sudah menyiapkan ruangan kerja ini." Taylor kembali duduk di bangkunya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Zayn bertanya.
Taylor diam sejenak dan melirik cat kuku yang berserakan di atas meja. Untungnya, map-map berisikan dokumen berharga tidak berada di atas meja. Jika ada dan terkena cat kuku sialan itu, mungkin Zayn akan mengamuk satu minggu penuh siang malam.
"Kau tidak memiliki pekerjaan dan diam saja, sibuk mewarnai kuku-kukumu?" Zayn mengernyit dan Taylor diam.
Zayn menghela napas. "Ada beberapa perjanjian yang harus kau periksa. Jika sudah benar, letakkan saja di mejaku. Aku harus bertemu klien hari ini dan aku ingin kau menyelesaikan pekerjaanmu hari ini juga. Besok, perjanjian-perjanjian itu sudah harus kembali berada di mejaku."
Taylor menganga. "Maksudmu, perjanjian yang sangat banyak itu? Kau memintaku untuk menyelesaikan koreksi dalam waktu sehari? Lagi?"
Zayn mengangguk sebelum bangkit berdiri dan sekali lagi, menatap sekeliling ruang kerja Taylor. "Kau pernah melakukannya dan bisa. Jadi, aku tak melihat celah jika kau akan kesulitan."
"Ta—tapi..."
"Sampai berjumpa besok, Swift."
Zayn tak membiarkan Taylor menyelesaikan protesnya. Pemuda itu melangkah ke luar dari ruangan, meninggalkan gadis pirang dengan wajah yang mulai murung. Senyuman muncul di bibir pemuda tampan itu saat melangkah menjauh.
*****
"Kau menyiksa anak orang, Bajingan bodoh!"
Louis memutar bola mata setelah memaki Zayn yang tampak hanya terkekeh sebelum menyelipkan rokok di sela-sela bibirnya tersebut. Zayn menghirup rokok dan mengeluarkan asap dari mulut dan hidungnya.
"Aku tak menyiksanya. Aku hanya membutuhkan bantuannya dan dia tak memprotes." Zayn membela diri, santai.
Pemuda lain yang duduk di samping kanan Zayn berdecak. "Kau yakin dia tak protes? Dari cerita tentangnya yang kau ceritakan, dapat kupastikan jika dia pasti memprotes, tapi kau tak membiarkannya memprotes."
Zayn mengangguk. "Memang, Liam. Tapi kau tahu sendiri, siapa bos di sana? Aku. Dia hanyalah asisten yang sebenarnya sama sekali tak kubutuhkan. Seorang gadis polos yang sangat mudah diperalat." Zayn mengecap kopi hitam sebelum kembali merokok.
Liam menghela nafas. "Kau pikir, apa dia sudah selesai? Sudah jam 11 malam, Zayn dan dia seorang gadis. Dengan siapa dia pulang? Jika orangtuanya tahu kau memperlakukannya seperti ini, kau akan mati, sungguh."
Zayn terdiam dan dengan cepat melirik jam yang tergantung di dinding kafe yang masih tampak ramai. Sialan. Benar pukul 11 dan Zayn tak menyadari itu.
Zayn merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Benar saja. Ada sekitar 27 panggilan masik yang sebagian besar dari Mrs. Swift dan Ibunya sendiri. Zayn merutuk dalam hati. Ada banyak pesan juga yang dikirimkan untuknya. Pesan teratas adalah dari Andrea Swift.
Zayn, Taylor masih bersamamu? Kalian pasti sangat bersenang-senang sampai lupa untuk pulang.
Bersenang-senang? Yang benar saja!
Seperti orang kesetanan, Zayn meraih jaket kulit dan segera melangkah meninggalkan Louis dan Liam, menuju ke pintu ke luar kafe. Pesan terakhir yang Andrea kirimkan adalah lima menit lalu. Gadis itu masih berada di kantor!
*****
"Akhirnya...selesai!"
Taylor mengangkat tangan dengan senyuman lebar di bibirnya. Gadis itu menghela nafas lega sebelum mulai merapihkan perjanjian-perjanjian itu menjadi satu tumpuk.
"Aku benar-benar ingin menonjok pria bodoh itu, sungguh."
Senyuman di bibir Taylor muncul ketika tangannya bersentuhan dengan tangan pemuda tampan yang memang sudah menemaninya sedari tadi. Lebih tepatnya sejak Taylor dapat memastikan, tak akan banyak orang yang melihat. Karena memang semua tak semudah itu.
"Aku sangat lelah. Baru kali ini aku mengoreksi hal-hal seperti ini." Taylor merenggangkan otot-otot tubuhnya ketika si pria tersenyum sebelum mengacak-acak rambut Taylor.
"Lelah? Aku yang mengoreksi semuanya dan kau hanya perlu mencatat koreksi. Kau bahkan tak membaca perjanjian dengan baik. Bagaimana mungkin wanita manja sepertimu menjadi seorang wanita karir?"
Ucapan pemuda itu membuat Taylor mengerucutkan bibir dan menjauhkan tangan si pemuda dari puncak kepalanya. "Kupikir, kau tak akan suka jika aku menjadi wanita karir."
Pemuda itu tersenyum. "Tentu saja. Kau hanya perlu menjadi seorang istri dan ibu di rumah. Itu sangat cukup, untukku."
Senyuman juga muncul di bibir Taylor sebelum gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak kokoh si pemuda. Dengan manja, dia berkata, "Aku capek."
"Hubungi Ibumu dan pria bodoh itu. Kau menginap di apartemenku lagi malam ini."
Taylor tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh seorang pemuda tampan yang sejak lahir memiliki nama Harry Styles.
----
No matter how far I go, I am still a Haylor trash
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top