08
Chapter 08 : Lauren
"Kau hanya akan melakukan tugas rutinmu hari ini di kantor, setidaknya itu yang dapat kubaca dari schedule meeting yang diberikan oleh Mr. Jackson kepadaku."
Taylor tersenyum manis dengan alis yang terangkat, setelah menjawab pertanyaan dari Zayn. Selain memberitahu tentang jadwal pertemuan, Taylor juga baru saja memberikan beberapa berkas yang harus ditandatangani Zayn. Berkas yang dititipkan para manajer kepada Taylor, sambil sesekali berlelucon dengan Taylor.
Kurang dari dua minggu bekerja, Taylor sudah menjadi karyawati kesukaan para manajer, meskipun mereka hanya menyukai Taylor dari penampilan dan sikapnya kepada orang lain mengingat Taylor tidak bekerja untuk mereka, tapi untuk Zayn.
Taylor berdiri diam, menunggu respon dari Zayn. Tapi Zayn diam saja dan membuat gadis yang tidak bisa diam itu menghela nafas dan sedikit membungkukkan tubuh.
"Aku juga sedang tak dalam mood baik untuk menggodamu hari ini. Hanya ingin memberitahu jika kau tampak makin tampan tiap hari. Jadi, aku akan kembali ke ruanganku, Mr. Malik."
Taylor baru hendak berbalik dan melangkah pergi saat suara Zayn akhirnya terdengar.
"Ibuku mengundangmu untuk makan malam, malam ini."
Taylor membalikkan tubuh dan mengernyitkan dahi. "Benarkah? Makan malam bersama keluargamu?"
Zayn yang semua diam dan tak ada semangat bekerja untuk hari ini. "Aku menyarankan supaya kau menolak undangan Ibuku dan mencari alasan serasional mungkin."
Taylor menggeleng cepat dan berkacak pinggang. Karyawan mana yang berani berkacak pinggang di hadapan atasannya? Taylor Swift.
"Masakan Ibumu itu salah satu masakan terbaik yang pernah kumakan jadi, aku tak akan melewatkan undangan berharga ini! Apa kita akan langsung pergi setelah jam pulang kantor?" Taylor bertanya antusias.
Pemuda berdarah Pakistan itu berdecak. "Kita? Mungkin maksudmu, kau dan aku. For your information, Ibuku mengundangmu, tapi bukan berarti aku juga akan bergabung makan malam satu meja denganmu, mengerti?"
"Lalu, aku pergi ke sana dengan taksi lagi?"
Zayn mengangkat satu alis. "Terserah."
"Kenapa aku tak bisa ke rumah bersamamu? Ayolah!"
Taylor memasang wajah memelas dan tanpa menoleh menatap Taylor, Zayn menjawab, "Aku tak langsung pulang ke rumah. Ada urusan di luar dan tak akan keburu jika kalian ingin menungguku pulang."
Tangan Taylor menarik kursi dan kembali duduk di kursi dengan tangan yang terlipat di tepi meja kerja Zayn. Sungguh, jika Taylor bukan anak dari keluarga Swift, Zayn sudah memecat karyawati seperti ini.
"Karena aku?"
Zayn mengernyit. "Apa?"
Taylor menghela nafas. "Apa aku alasan kenapa kau tidak mau pulang dan makan malam bersama keluargamu? Jika kau tidak mau aku datang, aku tidak akan datang sehingga kau bisa makan malam bersama keluargamu dengan tenang."
Baru kali ini ucapan Taylor benar-benar menyentuh perasaan Zayn. Begitukah yang ada di pikiran gadis itu? Jika dia benar-benar mengganggu Zayn dan selalu membuat Zayn risih akan keberadaannya? Well, memang benar. Tapi untuk urusan yang satu ini, bukan itu alasan utama Zayn tidak mau makan malam bersama keluarganya malam ini.
Sejak mulai sibuk dengan perusahaan, Zayn memang jarang pulang ke rumah dan makan malam bersama keluarganya. Terkadang, Zayn menyewa kamar hotel untuk beristirahat, atau tertidur di atas sofa ruang kerjanya. Karena Zayn tidak mau berhadapan dengan orangtua yang selalu mendesaknya melakukan apapun yang tak dia inginkan.
"Err, aku akan kembali ke ruanganku. Sudah masuk jam makan siang. Jangan lupa makan siang, Zayn."
Taylor bangkit dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan ruangan kerja Zayn. Zayn menghela nafas.
Kenapa sekarang dia merasa bersalah?
*****
Zayn Malik duduk di kursi meja bartender dengan rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengah kanan panjangnya. Sudah hampir satu jam pemuda itu berada di sana, sudah menghabiskan hampir setengah dari isi kotak rokok yang dia miliki.
"Serius kau tidak mau makan apapun?" Louis yang baru kembali dari toilet mengambil tempat duduknya yang berada di samping Zayn.
Zayn menggeleng cepat. "Aku belum lapar. Hanya ingin mengalihkan perhatian saja." Zayn menyelipkan rokok di sela-sela bibir, menghirup dan mengeluarkan asap dari mulut dan hidungnya.
Louis menghela nafas. "Pesanlah sesuatu. Aku tak mau rugi dengan mendiamkanmu duduk di sini selama lebih dari satu jam dan tanpa memesan sesuatu."
"Baik-baik. Aku ingin secangkir kopi Americano." Zayn akhirnya memesan dan senyuman Louis mengembang.
Pemuda itu menepuk bahu Zayn sambil berkata ceria, "Secangkir kopi Americano untuk pria Brittish akan segera datang."
Louis bangkit dari kursi dan segera memberitahu pesanan Zayn kepada karyawannya. Louis adalah pemilik kafe yang terkadang merangkap sebagai pekerja. Dia menghabiskan harinya di kafe yang baru tiga tahun berdiri. Karena kafe ini pula, pemuda itu bisa mempunyai rumah dan kendaraan tanpa perlu merengek kepada orangtuanya.
Menunggu Louis kembali dengan pesanannya, Zayn melanjutkan kegiatan merokoknya. Zayn menatap sekeliling sebelum akhirnya pemuda itu tercekat melihat apa yang terpampang jelas di luar kafe.
Lauren?
Zayn langsung mematikan bara rokok, meletakkan rokok-rokoknya asal sebelum melangkah ke luar dari kafe dan mencoba untuk menggapai gadis yang tadi dilihatnya tengah berjalan seorang diri, menenteng beberapa kantung plastik.
Sial!
Pemandangan yang ada di hadapan Zayn membuat semuanya semakin sulit. Banyak sekali orang yang hilir-mudik di jalan dan Zayn tidak dapat melihat apa yang dicarinya.
Kenapa cepat sekali kau menghilang?!
Zayn memutuskan untuk terus mencari, memasang mata dan terus melirik kanan dan kirinya. Zayn mencari sebelum akhirnya memutuskan untuk menyerah saat tak mendapati apa-apa.
Apa aku hanya berkhayal?
Pemuda itu menghela nafas pasrah. Zayn menggelengkan kepalanya. Kupikir, aku sudah berhenti memikirkannya. Tapi dia terus muncul dan menghilang seperti ini.
Zayn memejamkan mata sebelum berbalik dan hendak melangkah kembali menuju Tommo's Cafe namun, langkahnya terhenti saat mendapati seseorang yang dicarinya, ternyata berdiri tepat beberapa langkah di hadapannya. Sama terkejut seperti Zayn dan dia bahkan menjatuhkan plastik belanjaan yang dibawanya.
Gadis berambut kecokelatan itu memejamkan mata dan dengan cepat mengangkat plastik belanjaannya dan berbalik, melangkah menjauh. Zayn masih terpaku selama beberapa saat sebelum mulai melangkah, sambil sesekali memanggil gadis berambut kecokelatan itu.
"Lauren! Berhentilah! Kita harus bicara!"
Gadis yang dipanggil Zayn itu tak menghentikan langkah, justru malah mempercepat langkah kakinya. Tapi jika dibandingkan dengan langkah kaki Zayn, tak heran jika akhirnya Zayn mampu menggapai gadis itu, menahan lengannya dan membuat Lauren menghentikan langkah kakinya. Tepat di dekat toko yang menjual berbagai macam hiasan.
Lauren menoleh dan menatap Zayn dengan tatapan yang Zayn sendiri sulit untuk mengerti. Lauren menepis tangan Zayn dari lengannya dan mulai mengatur pernafasan. Zayn menundukkan kepala.
"Apa lagi yang ingin kau bicarakan?" Lauren mulai buka suara dan Zayn mengangkat wajahnya.
Zayn tersenyum tipis. "Kau tahu apa yang harus kita bicarakan, Lauren. Aku sudah mencarimu ke manapun. Kupikir, kau benar-benar sudah berada di luar, seperti yang mereka bicarakan."
Lauren menundukkan kepala dan menggeleng. "Aku harus pergi."
Gadis itu baru hendak melangkah pergi namun, Zayn kembali menahan lengannya sambil berkata tegas. "Kau tidak akan pergi setelah menjelaskan semuanya."
Lauren menghempaskan tangan Zayn dari lengannya lagi, cepat. "Bukankah semuanya sudah jelas? Kau dan aku, tak ada harapan lagi." Lauren mengucapkannya dengan tegas dan Zayn menatap gadis itu lekat.
"Katakan sekali lagi."
Lauren memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya. "Aku sudah tak mencinta-,"
Belum sempat Lauren melanjutkan ucapannya, Zayn sudah menarik tubuh gadis itu dalam pelukan hangatnya. Lauren terkejut, bibirnya kelu. Gadis itu memejamkan mata ketika Zayn terus mempererat pelukannya.
"Kau mencintaiku. Jangan pernah membohongi perasaanmu sendiri, Lauren."
Lauren menahan nafas dan akhirnya, tangisnya pecah. Tak mampu lagi menahan semuanya, Lauren balas memeluk Zayn erat, sangat erat. Walaupun pelukan itu masih belum cukup untuk meluapkan rasa rindu terhadap satu sama lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top