05
Chapter 05: Trust
Suasana kota Bradford hari ini cukup cerah dan memasuki musim gugur yang indah. Entah, apa yang membuat musim gugur cukup dinanti oleh seorang Zayn Malik. Berjalan di bawah pepohonan dengan daun-daun yang berguguran. Satu tangan memegang segelas cokelat hangat dan satu tangan lagi...menggenggam tangan seseorang yang dicintai.
Lauren...
Zayn memejamkan mata dan menggelengkan kepala, menatap ke luar kaca mobil dengan hampa. Musim gugur kali ini benar-benar mengingatkan Zayn pada rencana-rencana yang pernah dibuatnya bersama sang mantan, Lauren James. Gadis berusia sama dengannya dengan rambut kecokelatan bergelombang dengan senyuman termanis yang pernah ada, menurut Zayn.
"Saat musim gugur nanti, aku ingin pergi ke festival lampion denganmu. Bukankah sangat romantis jika kita terus bergandengan tangan di tepi jalan, dengan daun-daun gugur yang berjatuhan seiring dengan langkah kaki kita?"
Pemuda berambut hitam pekat itu berdecak dan hanya dapat tertawa sinis saat mengingat tiap rencana yang pernah dia buat dengan seorang gadis yang dikencaninya hanya selama satu musim
Mobil Range Rover yang dikendarai oleh seorang supir itu berhenti tepat di halaman parkir gedung Malik's Contractor. Zayn buru-buru ke luar dari dalam mobil dan disambut oleh deru angin penanda datangnya musim gugur.
Zayn sempat diam, mencoba menikmati angin yang menerpa kulitnya tersebut sebelum mengingat satu hal yang harus dia pastikan. Zayn melangkah memasuki gedung, mengabaikan tiap sapaan para karyawannya dan memilih untuk langsung menuju ke elevator pribadinya.
Elevator berhenti di lantai 8, lantai teratas di mana ruangan kerja Zayn dan beberapa petinggi perusahaan berada. Zayn langsung melangkah menuju ke ruangannya. Baru hendak membuka pintu, pintu ruangan sudah dibukakan oleh dua orang petugas kebersihan yang memang tiap paginya bertugas membersihkan ruangan Zayn.
"Selamat pagi, Sir."
Sapa petugas kebersihan dengan ramah namun, Zayn mengabaikan mereka dan langsung melangkah menuju ke meja kerjanya. Pemuda itu menahan nafas mendapati tugas yang dia berikan kepada Taylor telah selesai dan berada di sana, tertata rapih.
Zayn duduk di kursinya sambil membaca berkas yang Taylor kerjakan tersebut. Zayn cukup terkejut, melihat banyak sekali koreksi yang Taylor berikan. Itu berarti, gadis itu benar-benar mempelajari isi dari draft perjanjian ini.
Tunggu. Bagaimana bisa?
Perjanjian itu setebal hampir 200 halaman dan Zayn saja butuh lebih dari dua hari untuk memahami dan mempelajari satu per satu halaman yang ada. Perjanjian kontruksi kali ini juga tergolong rumit dan banyak rincian yang harus benar-benar dipahami.
Zayn berdecak. "Di mana dia?"
Pemuda itu bertanya, membuat dua petugas kebersihan yang tengah mengelap kaca ruangan Zayn menoleh dan menatap satu sama lain. Sebelum mendapat jawaban dari mereka, Zayn sudah tahu apa yang akan mereka jawab dengan wajah polos penuh tanda tanya itu.
"Asisten baruku. Gadis berambut pirang sebahu, dengan poni ke samping. Tingginya kurang lebih sama denganku. Kalian melihatnya?" Zayn memperjelas pertanyaannya.
Salah satu petugas kebersihan menggelengkan kepala. "Kami orang pertama yang memasuki ruangan ini, sejak pukul setengah tujuh pagi, Sir dan tak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di sini."
Zayn menghela nafas. "Kalian harus tahu dia, harus mengenali wajahnya. Dia asisten baruku dan namanya adala—,"
"Selamat pagi!"
Perhatian Zayn dan dua petugas kebersihan teralihkan oleh kedatangan tiba-tiba seseorang. Zayn mengernyit, mendapati seorang Taylor Swift yang tampak sangat ceria pagi ini—atau memang dia selalu ceria. Tapi Zayn baru menyadari satu hal yang berbeda dari gadis itu.
Tanpa banyak berkata, Taylor berjalan mendekati meja Zayn dan langsung duduk di kursi tamu yang berhadapan dengan Zayn. Zayn memberi isyarat agar kedua petugas kebersihan pergi ke luar, meninggalkan Zayn dan gadis pirang itu hanya berdua.
Taylor melipat tangan di atas meja. "Kau sudah membaca beberapa koreksian dariku? Bagaimana? Apa bisa diterima?" Gadis pirang yang mengenakan kemeja putih dan rok hitam tepat selutut itu langsung bertanya cepat.
Zayn menghela nafas dan mulai membuka satu per satu halaman perjanjian itu. "Aku baru tiba lima belas menit yang lalu, hanya informasi untukmu." Sindiran halus.
Taylor malah terkekeh geli tanpa mengatakan sepatah katapun. Zayn mulai membaca beberapa hasil koreksian Taylor sebelum berkomentar, "Jangan terlalu percaya diri, tapi caramu merapihkan kalimat-kalimat itu cukup bagus. Apa kau lulusan sastra Inggris?"
Zayn mengalihkan pandangan kepada gadis di hadapannya. Zayn menahan nafas, berhasil memastikan keganjalan apa yang ada di diri gadis aneh ini.
"Aku harap, aku adalah lulusan sastra Inggris."
Satu alis Zayn terangkat. Pemuda itu menutup draft perjanjian dan ikut melipat tangan di atas meja. Senyuman miring muncul di bibir Zayn.
"Aku mengerti bagaimana rasanya. Sejujurnya, aku juga tak ingin berada di sini."
Taylor nyengir lebar mendengar perkataan Zayn. "Aku tahu, kok. Sangat terpampang jelas di wajahmu. Kau bukan tipikal pebisnis, seperti ayahmu."
Zayn menyeringai. "Terpampang jelas di wajahku?"
Taylor mengangguk. "Ya. Menurutku, ekspresi datarmu menjelaskan hal itu. Selama hampir tiga hari bekerja di sini menjadi asistenmu, aku jarang sekali melihatmu tersenyum, karena apa yang kau kerjakan." Gadis itu menarik nafas dan menghelanya cepat, "Boleh kutahu, sebenarnya ada di mana minatmu? Yang jelas itu bukan bisnis."
Zayn diam sejenak sebelum menunduk dan kembali menatap gadis itu sambil bertanya, "Di mana kau tidur semalam?"
Mendengar pertanyaan Zayn, Taylor mengangkat satu alis. Gadis itu berpikir dan mulai menyeringai. "Aku tidur di kamarku, tenang. Jangan khawatir."
Zayn bertopang dagu dengan seringai di bibirnya. "Kupikir, kau serius dengan perjodohan ini. Tapi ternyata tidak."
"Apa?"
"Kau tidak pulang ke rumahmu. Orangtuamu menghubungiku dan menanyakan apakah kau bersamaku. Kau beruntung, aku sedang dalam kondisi baik. Jadi, aku berbohong dan mengatakan jika kau memang bersamaku semalaman." Zayn menjelaskan.
Memang, orangtua Taylor atau lebih tepatnya Andrea Swift, menghubungi Zayn tengah malam hanya untuk menanyakan apakah putrinya itu ada bersama Zayn atau tidak karena Andrea tidak bisa menghubungi nomor Taylor. Awalnya, Zayn cukup terkejut dan akhirnya, Zayn harus berbohong dengan mengatakan jika Taylor bersamanya. Untungnya, Andrea langsung percaya dengan jawaban Zayn.
Iris cokelat keemasan yang semula tertunduk kembali menatap Taylor yang kali ini menunduk. "Kau benar-benar bermalam di sini? Menghabiskan waktu untuk mempelajari perjanjian setebal itu?"
Tanpa mengangkat wajahnya, Taylor mengangguk.
"Kenapa kau sangat bodoh? Kudengar kau lulusan Harvard, tapi dibohongi dengan hal seperti ini saja sangat mudah! Aku mana mungkin memberimu tugas seperti itu! Harusnya kau sadar, aku hanya main-main dengan ucapanku! Lagipula, perjanjian itu tidak perlu direvisi lagi dari pihak kita, hanya menunggu revisi dari pihak mereka." Zayn memejamkan mata dan menurunkan oktaf suaranya. "Jika orangtuamu dan orangtuaku tahu, mereka pasti akan menyalahkanku."
Taylor mengangkat wajah dan menggelengkan kepala. "Aku tidak akan memberitahu mereka, janji!"
Zayn memicingkan mata, menatap tajam Taylor yang kali ini terlihat gelisah. Sebenarnya, Zayn lebih gelisah lagi. Gadis itu terlihat pucat dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Meski dia mencoba menutupi lingkaran hitam itu dengan make up, tetap saja masih terlihat jelas di mata Zayn.
"Apa kau sudah sarapan? Sarapanlah, lalu kau bisa menggunakan ruang kesehatan untuk tidur. Aku tak ingin kau kembali ke rumahmu dengan wajah seperti ini. Mengerti?" Zayn memberi perintah.
Taylor menahan nafas dan mengangguk. "Baiklah, terima kasih."
Gadis itu bangkit berdiri dari kursinya dengan kepala tertunduk. Sebelum benar-benar melangkah pergi, Zayn hanya dapat terdiam mendengar perkataan gadis itu.
"Aku hanya ingin menjadi orang yang kau percaya, Zayn karena aku benar-benar percaya padamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top