01
Chapter 01: Introduction
Kediaman keluarga Malik tampak sangat berbeda malam ini. Semua anggota berkumpul dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dimulai dari sang kepala keluarga, Yaser Malik berdiri di hadapan istri tercinta, Trisha Malik yang tengah membantu sang suami mengenakan dasi hitamnya dengan lebih rapih. Yaser Malik terlihat gagah meski usianya sudah menginjak angka 52 dengan balutan tuxedo kesayangannya. Begitupun juga Trisha yang mengenakan gaun malam senada dengan Yaser, gaun elegan lengan panjang berwarna hitam yang jatuh sedikit di bawah lutut. Tak lupa dengan rambut kecokelatan yang digerainya dan sedikit make up di wajah cantiknya. Siapa sangka jika Trisha juga sudah berusia 50 tahun dengan tampilan seperti itu?
Kemudian, tiga putri dari Yaser dan Trisha juga sibuk membantu satu sama lain berdandan. Doniya—putri sulung keluarga Malik yang baru genap berusia 28 tahun—sibuk merapihkan tatanan rambut Waliyha—anak ketiga berusia 19 tahun—sedangkan Waliyha sibuk membantu memberi sentuhan make up di wajah manis Safaa—yang merupakan anak bungsu keluarga Malik dan masih berusia 16 tahun.
Malik adalah salah satu keluarga yang cukup terpandang di Bradford, bahkan Inggris dan Eropa. Yaser Malik sendiri adalah pemilik dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor. Yaser baru saja memutuskan untuk berhenti bekerja dan memberikan posisinya sebagai pemilik sekaligus direktur utama dari Malik's Contractor kepada satu-satunya putra yang dia miliki, Zayn Malik.
"Di mana Zayn? Apa dia masih bersiap? Bukankah kita sudah berjanji datang sebelum pukul tujuh? Pukul berapa sekarang?"
Yaser bertanya sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Ketiga putrinya juga tampak sudah cukup menawan, siap untuk pergi. Doniya dengan gaun hijau marun panjangnya, Waliyha dengan gaun merah darah tanpa lengan dan Safaa dengan gaun kuning tanpa lengan. Bukan rahasia lagi jika darah atau keturunan Malik merupakan salah satu darah atau keturunan terbaik.
Trisha menghela nafas dan menyentuh pundak sang suami dengan lembut. "Bagaimana jika kau dan anak-anak tunggu di mobil sementara aku memanggil Zayn?"
Yaser menghela nafas dan menggeleng. Pria itu kemudian menatap salah satu putrinya, Doniya sambil berkata, "Doniya, panggil adikmu. Kita akan terlambat."
Doniya mengangguk dan baru hendak melangkah saat Trisha berjalan menghampiri dan menahan bahu Doniya. Trisha menoleh kepada Yaser yang memberinya tatapan bingung sambil mengangguk mantap.
"Aku yang akan memanggil Zayn. Kalian tunggulah di mobil."
Yaser memejamkan mata dan mengangguk mendengar ucapan sang istri. "Cepatlah, Trisha. Kau tidak ingin keluarga Swift marah besar kepada kita, kan?"
Kemudian, Yaser berbalik dan mengisyaratkan agar ketiga putrinya mengikuti. Trisha segera melangkahkan kaki menaiki tangga, hingga sampai di lantai dua rumah besar yang sudah hampir lima belas tahun ditempatinya.
Langkah Trisha berhenti tepat di depan pintu kedua sebelah kiri dari tangga. Tanpa mengetuk, wanita itu menekan sambil mendorong pintu hingga terbuka. Trisha mendapati sang putra kebanggaannya tengah duduk di tepi ranjang sambil menundukkan kepala, menyembunyikan wajah tampannya.
"Zay—,"
"Mom, aku belum siap untuk ini. Apa aku harus selalu mengikuti keinginan Daddy? Pertama, soal pekerjaan. Sekarang, pasangan. Aku bisa gila kalau terus begini!"
Trisha terdiam sejenak sebelum berjalan mendekat dan duduk tepat di samping putranya. Trisha menarik Zayn, memeluknya dari samping dengan cukup erat.
"Bukankah sudah jelas jika Daddy ingin kau mendapat masa depan yang jelas dan bahagia?" Trisha menyandarkan kepalanya di pundak datar sang putra.
"Tapi kenapa harus selalu aku yang harus diaturnya? Kenapa tidak dengan Doniya atau Waliyha atau Safaa? Kenapa Daddy memberikan kebebasan untuk mereka, tapi tidak untukku?" Zayn menarik diri dari Trisha dan menatap sang ibu dengan iris karamel bercahayanya.
Trisha merengkuh pundak kanan Zayn dengan tangan kirinya. "Karena kau satu-satunya putra yang kami miliki."
"Aku baru putus dengan Lauren seminggu lalu dan apa-apaan dengan perjodohan ini?!" Zayn berkata dan berusaha keras menahan emosinya.
Trisha menatap sang putra dengan lekat. "Bukankah aku sudah mengatakan berulang kali padamu jika ini bukan perjodohan? Kami hanya ingin memperkenalkanmu dengan gadis yang jauh lebih baik dari gadis itu. Hanya memperkenalkan, bukan langsung menjodohkan kalian berdua."
Zayn terdiam dan menundukkan kepala. "Aku baru putus seminggu yang lalu."
Trisha memukul lengan Zayn sambil berkata, "Kau tahu bagaimana tampangmu sekarang? Aku penasaran apa yang akan para karyawanmu katakan saat tahu direktur utama mereka sedang patah hati dan bertingkah sangat dramatis."
Zayn memutar bola matanya. "Aku tidak bertingkah dramatis!"
Trisha terkekeh. "Kalau begitu, bangun dan ayo, berangkat! Daddy-mu akan marah jika kita terus mengobrol di sini dan tidak menyusulnya." Trisha bangkit berdiri sambil menarik tangan Zayn supaya pemuda itu juga berdiri.
"Pernah dengar kutipan ini? 'Salah satu balas dendam yang terbaik adalah menjadi sukses'. Dalam kasusmu, sukses yang dimaksud adalah sukses untuk melupakannya dan hidup tanpanya." Trisha berkata penuh semangat.
Zayn berdecak kecil. "Mom, aku ikut, tapi jangan paksa aku untuk bersikap manis dengan gadis yang kalian jodohkan denganku itu."
Kemudian, Zayn melangkah mendahului Trisha ke luar dari kamarnya. Trisha hanya dapat menghela nafas dan menyusul langkah kaki Zayn.
*****
Limousin yang membawa keluarga Malik berhenti tepat di teras sebuah rumah megah dengan gaya Inggris klasik. Dua orang pelayan sudah menunggu dan membantu membukakan pintu mobil. Yang pertama ke luar adalah Yaser dan Trisha, kemudian Zayn dan ketiga saudara perempuannya.
"Selamat datang."
Pelayan yang tidak membukakan pintu mobil menyapa ramah dan dibalas dengan senyuman ramah para wanita Malik sambil berjalan memimpin lalu, membukakan pintu rumah masih dengan senyuman ramahnya.
"Yaser!"
Suara berat langsung terdengar saat pintu terbuka, bersamaan dengan seorang pria tinggi yang langsung berhambur memeluk Yaser dan menepuk punggung Yaser berulang kali.
"Scott, apa kabar?" Yaser langsung bertanya ramah, melepas pelukan hangatnya dengan sang empunya rumah, Scott Swift sekaligus sahabat baiknya dalam bermain golf.
Scott Swift merangkul Yaser layaknya kawan lama yang berjumpa kembali sambil menjawab, "Kabar baik, seperti yang kau lihat dan sepertinya, aku tak perlu bertanya kabarmu. Kau pasti baik-baik saja."
Tatapan Scott kemudian beralih pada Malik yang lain. Dimulai dari Trisha. Scott tersenyum ramah dan berjalan mendekati Trisha, "Trisha, apa kabar?" Scott mengulurkan tangan dan Trisha menyambutnya ramah, "Kabar baik, Mr. Swift."
Scott terkekeh sambil berkata, "Scott. Bukankah sudah berulang kali kukatakan jika kau bisa memanggilku Scott?" Trisha hanya tersenyum mendengar ucapan Scott.
Tatapan pria yang seusia dengan Yaser itu beralih kepada satu per satu putri Malik sambil tersenyum, "Kalian sudah tumbuh dewasa dengan cepat."
Terakhir, tatapan Scott terhenti di Zayn yang hanya berdiri tegap dan sangat gugup. Scott tersenyum kepada Zayn, tapi senyumnya berbeda dengan senyuman yang diberikannya kepada Malik yang lain.
"Kau pasti Zach?" Scott menebak, menunjuk Zayn.
Zayn tersenyum tipis sebelum menjawab tenang, "Namaku Zayn."
Scott terkekeh dan langsung merangkul Zayn, memukul punggung pemuda 26 tahun itu beberapa kali. "Aku hanya bercanda. Tentu saja aku tahu namamu adalah Zayn! By the way, kenapa kita berdiri di sini? Makanannya sudah siap sedari tadi. Ayo, masuk!"
Scott merangkul Zayn dan mengajak pemuda itu menuju ke ruang makan. Malik yang lain mengikuti dari belakang.
*****
"Kau baru putus dengan Harry tiga hari yang lalu dan sekarang, kau langsung mengiyakan saat orangtuamu memintamu untuk berkenalan dengan anak dari teman mereka."
Niall Horan menghela nafas memperhatikan sepupunya yang tengah asyik memoleskan make up di wajah cantiknya. Padahal, sebenarnya tanpa make up pun dia terlihat cantik. Lagipula, ini hanya makan malam.
Gadis itu tersenyum melihat hasil make up-nya sendiri di cermin sebelum menoleh kepada Niall dan mengedipkan mata berulang kali, "Apa aku sudah cukup cantik untuk dapat bersaing dengan Jennifer Lawrence?"
Niall mengernyit. "Kau bercanda? Bahkan ketiak Jennifer terlihat lebih cantik dari wajahmu!"
Gadis berambut pirang itu mendengus dan kembali menatap pantulan wajahnya di cermin. Niall ikut menatap pantulan bayangan gadis itu di cermin. Sepupu yang tumbuh bersamanya. Taylor Swift.
"Zayn Malik itu tampan, Niall. Aku sudah melihat fotonya berkali-kali dan dia sangat tampan. Aku hanya ingin memberitahu Harry, jika aku bisa mendapatkan seseorang yang lebih tampan dari dia. Dia harus menyesal telah selingkuh dariku." Taylor berkata tegas, menyatukan alis.
Niall memutar bola matanya. "Kau ingin menggunakan Zayn untuk balas dendam dengan Harry? Begitu maksudmu?"
Taylor menggeleng. "Tidak juga. Aku sudah berencana untuk jatuh cinta padanya. Kuharap dia juga jatuh cinta padaku dan mempermudah segalanya."
Niall tak pernah mengerti dengan jalan pikiran sepupunya yang satu ini.
Percakapan Niall dan Taylor terinterupsi ketika pintu kamar Taylor terbuka tiba-tiba oleh Andrea Swift, ibu Taylor yang langsung berkata, "Taylor, Niall, keluarga Malik sudah menunggu di meja makan."
Niall melirik Taylor yang tampak menelan saliva dengan gugup. Niall menahan tawa. Sepupunya itu memang terlewat polos.
----
I changed the name from Olivia to Taylor :)
Oh iya, aku syok banget waktu Tay sama Zayn ngepost barengan buat ngasih tau single duet mereka! Tambah syok lagi pas tau itu soundtrack buat Fifty Shades Darker wkwk Zayn ngepost polaroid sama Tay, terus Tay ngefollow Zayn di IG. Huaa my faves berinteraksi!!
Udah hilang harapan sama Haylor tapi aku masih ngeship mereka. ya semoga ada keajaiban nantinya utk mereka berdua. Aamiin.
Hope you guys like this one. Thanks for reading! :)
All the love. A x
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top