Calling Somebody Else Baby

[Hai hai hai! Ini kisah lanjutan dari cerpen judul Calling It End. Jumlah chapter ada 5 dan jumlah halamannya ada 51, ya. Silakan langsung mampir ke Karyakarsa kataromchick. Di bawah ini juga aku share kode voucher potongan harga untuk pembeli tercepat 😍. Happy reading!] 

Satu hal yang paling menyebalkan bagi Arok sekarang ini adalah bagaimana dia tidak bisa mengendalikan pikirannya dari kemungkinan mantan istrinya yang bisa dekat dengan pria lain sesuka hatinya. Bayangan semacam itu sungguh mencekik Arok. Meski dia mendapati bahwa ucapan menyindir adiknya selalu masuk akal untuk menjadi peringatan dini. 

"Katanya Mas Arok nggak punya perasaan sama Mbak Ari? Bahkan Mbak Ari bilang kalian beneran cuma pure sahabatan saja. Sampe nikah pun, Mas Arok masih anggap Mbak Ari sebatas sahabat aja. Kenapa uring-uringan kalo Mbak Ari sama yang lain?" 

Arok menoleh pada adiknya yang begitu enteng sekali untuk bicara. Belum saja Jemaini mengalami problematika perasaan yang tidak bisa dijelaskan dan dimengerti begitu saja. 

"Kamu udah pernah jatuh cinta memangnya?" 

Jemaini tersenyum misterius. "I'm not a fool like you, Mas. Aku tahu ketika aku jatuh cinta. Aku mengatakan apa yang aku mau. Aku bukan orang yang suka denial sama perasaanku sendiri." 

"I am not denial!" ucap Arok. 

"Nah, itu. Apa barusan kalo nggak denial namanya?" 

"Serius, Mai. Aku nggak denial, aku memang nggak tahu isi perasaanku sendiri." 

"Ya, kalo gitu emang dasarnya Mas Arok bodoh aja, sih. Nggak ada penjelasan lain." 

Mereka yang duduk di kursi tempat makan milik Talia itu hanya mengamati bagaimana Carita ikut bekerja melayani pelanggan yang datang. 

Yang membuat Arok dan Jemaini saling membicarakan mengenai rasa cinta dan penyangkalan adalah karena Carita yang sedang berbincang akrab dengan salah satu pelanggan di sana. 

Carita tidak tampak canggung ketika bicara dengan pelanggan tersebut. Bahkan senyumannya begitu tulus dan manis. 

Sejak kapan senyuman Carita jadi begitu? 

Rasa-rasanya Arok baru bisa melihat semua itu setelah tidak memiliki Carita lagi. Kehilangan memang cara yang paling ampuh untuk menyadarkan seseorang akan perasaan mereka sendiri. 

"Kemana Haria? Kenapa dia nggak jagain Haria dan malah ngurusin pelanggan genit itu?" gumam Arok sendiri. 

Jemaini hanya bisa menghela napas karena kelakuan sang kakak. Jika Jemaini tidak ikut menemani, besar kemungkinan Arok mencari ribut di tempat itu. Melakukan skema murahan untuk menunjukkan kecemburuannya di depan semua orang. Padahal, rasa cemburu itu terlambat untuk ditunjukkan. Dulu semasa masih menjadi suami malah tidak peduli istrinya mau bicara dan tertawa dengan siapa. 

"Kalo Mbak Ari nggak pegang Haria, itu artinya bayi kalian lagi tidur. Istirahat. Nggak selamanya bayi harus melek terus, Mas." 

"Ya, tapi ini tidurnya kelamaan. Biasanya bayi—"

"Bayi, anak kecil, balita dan sebagainya butuh jam tidur yang panjang untuk pertumbuhan mereka. Jadi, Haria perlu banyak tidur. Mas Arok mendingan diem dan amati apa yang bisa diamati. Jangan bikin masalah. Emang nggak cukup apa masalah yang Mas Arok bikin sampe kalian cerai?" 

Sialan. Arok memang tersindir dan tidak suka dengan ucapan adiknya, tapi apa yang Jemaini katakan memang ada benarnya. Rasanya dia semakin sulit saja untuk bisa bergerak untuk menutup kesempatan pada pria lain mendekati Carita jika begini caranya. 

*** 

"Ya ampun, Mas Darian, makasih banyak." 

Carita memang sengaja untuk mendekati pria bernama Darian yang menjadi langganan tetap di tempat makan milik mamanya itu. Dia tahu bahwa dari kejauhan, Arok selalu diam-diam mengamati dengan mata tajamnya. 

Mantan suaminya itu seperti seorang pengangguran karena hampir setiap hari mengawasi kegiatan Carita. Rupanya, dengan diberikan kesempatan dekat dengan bayi mereka saja tidak cukup bagi Arok. 

Pertanyaannya, kenapa baru sekarang? 

Carita tidak habis pikir, selama mereka menjadi sahabat, dan Carita menunjukkan dengan terang-terangan mengenai perasaannya terhadap pria itu. Lalu, selama lima tahun, mereka bersama dan Carita tidak pernah meninggalkan pria itu ... ke mana saja pria itu sampai tidak sadar sudah memiliki nama Carita di hatinya? 

Sekarang, jika Arok menderita karena keinginannya untuk memiliki Carita sepenuhnya, itu salah Arok sendiri. Sekarang, biarkan Arok menikmati waktu dimana perasaan cemburu membakarnya dengan cepat. 

"Kamu suka?" tanya Darian. 

"Sangat suka. Terima kasih, Mas Darian. Gelang ini sesuai dengan tipe yang saya suka." 

Darian tersenyum dengan penuh kelembutan. "Saya akan bawakan sesuatu untuk kamu setiap kali saya selesai dari luar kota." 

"Oh, nggak perlu repot-repot, Mas Darian. Saya nggak mau menerima yang lain lagi. Ini sudah cukup." 

Ekspresi Darian langsung menjadi lesu. "Kenapa? Apa itu membuat kamu terbebani?" 

"Ya, sejujurnya memang begitu. Tolong jangan berikan saya hadiah apa pun lagi, ya, Mas. Bagaimana pun saya nggak ingin menjadi seseorang yang menerima tanpa memberi." 

"Tapi kamu selalu memberikan makanan terbaik untuk saya, Carita. Saya—" 

"Jangan memaksa kalau dia bilang nggak." 

Carita tidak begitu saja menyelak ucapan Arok. Sedikit banyak, Arok yang begini membantu Carita juga supaya Darian bisa mundur dan tidak melangkah lebih jauh.

Ya, begitulah perempuan. Maunya yang mana, bersikap baik pada yang lainnya. 

"Ar, kamu mau main sama Haria, kan?" Carita mengalihkan. 

"Ya." 

"Kalo gitu kamu bisa naik—" 

"Dengan kamu, Ari." 

Dengan ketegasan Arok itu, Carita menoleh pada Darian dan menyampaikan permintaan maaf sebelum meninggalkan meja Darian dan mengikuti Arok. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top