Nastar

[...]

Ye Ji melangkah kan kaki nya gontai ke arah apartemen nya. matanya sayu dan tubuhnya panas dingin. Inilah akibat ia bekerja terlalu keras. Itu karena  anak-anak korea entah kenapa susah sekali makan obat. Tak mau disuntik dan itu benar-benar menyebalkan. Beda dengan anak-anak jepang yang tenang walau diberi sebutir permen.

Ia menekan password apartemen nya tak niat. 0821-itu benar password nya-tapi kenapa pintu apartemen itu tak ingin terbuka sama sekali. Sekali lagi ia tekan kombinasi angka password nya, tapi masih sama. Ia tak mungkin salah apartemen, ini benar-benar nomor apartemen nya.

"Aggashi," Panggil seorang pria paruh baya dengan kacamata minus yang menyebalkan-Penjaga apartemen.

"Apa?" Ucap Ye Ji sambil menyenderkan kepala di pintu apartemen. Sekarang ia benar-benar lelah. Jangan sampai ada berita buruk tentang apartemen nya.

"Maaf, tapi pintu apartemen anda sedang rusak."

"APA?" Teriak Ye Ji sambil membelalak kan matanya. Sedangkan Jimin yang tadinya sedang makan ramyeon pun tersedak oleh teriakan dari luar. Membuatnya penasaran dan mengintip di belakang pintu.

"Bagaimana bisa? Aku bayar mahal-mahal disini, tapi bagaimana ini? Aghh, kepala ku hampir saja pecah. Pokoknya aku tidak mau tau, aku mau pintu apartemen ku terbuka."

"Tapi, tukang nya akan bekerja besok. Lagian, bukan hanya apartemen agasshi saja yang rusak, pintu apartemen deretan ini semuanya rusak. Menginaplah di rumah teman atau orangtuamu."

"Enak saja adjushi bilang seperti itu. mana ada malam-malam bus? Mana rumah orangtua ku jauh pula. Aku tidak mau tau, adjushi harus panggil tukang nya sekarang."

"Tidak bisa. Bagaimana bisa kami menyuruhnya seenak jidat. Kalau begitu tidur di sauna saja. Masih untung diperbaiki."

"APA? aku tidak mau, cepat panggil tukang nya sekarang."

"Tida--

Ucapan penjaga apartemen itu terpotong dengan ucapan Jimin.

"Menginap disini saja. Kenapa harus memaksa orang," Ucapnya membuat Ye Ji menatap tak suka.

"Sana menginap dengan tuan detektif."

"Tidak perlu!. Aku mau apartemen ku."

"Kalau begitu panggil saja tukang nya sendiri. Bayar sendiri."

"Sial, aghhh. Bunuh aku sekarang, astaga." Ye Ji mengacak asal rambutnya hingga berantakan. Matanya sudah memberat, tubuhnya semakin panas dingin. Kepala nya bahkan semakin berdenyut semenjak bapak penjaga apartemen itu mengatakan hal inim

"Aggashi, saya sarankan agar aggashi tidur di rumah tuan detektif dulu. Biar besok kami semua yang urus."

"Hah, kalau begitu aku ingin biaya bulan ini dipotong. Aku tidak mau tau, lapor dengan pemiliknya."

Setelahnya, Ye Ji masuk ke dalam rumah Jimin kemudian merebahkan tubuhnya di sofa si pemilik rumah. Ia memejamkan matanya kemudian terkejut saat Jimin melemparkan sebuah tshirt oversized berwarna hitam dan sebuah selimut.

"Sana mandi. Aku tak mau sofaku bau dan kotor." Ucapan Jimin membuat Ye Ji mendengus kesal.

Semenjak ia menampar Jimin, mereka semakin jauh. Bahkan Jimin tak bicara formal lagi dengan Ye Ji.

Setelahnya, ia pergi membersihkan tubuhnya dan kembali berbaring di sofa. Untung saja ia membawa hotpants dan dalaman. Setelahnya, ia menutup seluruh tubuhnya. sungguh, entah kenapa setelah ia mandi tubuhnya semakin dingin.

Selama dua jam, ia hanya bolak-bolak balik tak jelas di sofa. Ia kedinginan dan akhirnya memilih untuk berjalan ke arah kamar Jimin. Ia mengetuk pintunya, tapi Jimin tak kunjung mengizinkan ia untuk membuka pintu atau masuk.

Persetan dengan tak tau malu! Ia harus tidur dengan nyenyak sekarang. Ia pun membuka pintu kamar Jimin dengan keras.

"Jimin, bisa tidak kau memperlakukan tamu dengan benar? Kau tidur di luar sana, aku kedinginan. Pemanas ruangan nya mati," Ucap Ye Ji. Jimin yang sedang bermain ponsel pun tak menghiraukan perkataan Ye Ji.

"Aghh. Kau tidak tuli kan? Bisa tidak kau mengalah denganku."

"Tidak."

"Menyebalkan." Akhirnya Ye Ji terpaksa memaksa tubuhnya untuk tidur dalam kedinginan. Jimin berubah menjadi menyebalkan, itu yang ia kesalkan.


[...]

Jimin menatap wajah Ye Ji yang sedang tertidur meringkuk kedinginan dengan lekat. Bibir gadis itu memucat begitu juga dengan wajahnya. Baru saja Jimin ingin menyentuh dahi wanita itu, ponsel Ye ji tiba-tiba berbunyi, membuat si empu terbangun dan Jimin refleks menjauh.

Bisa Jimin dengar ringisan dari Ye Ji yang mencoba untuk bangun.

"Jim, bisa tolong angkat telepon nya? bilang aku akan segera berangkat sebentar lagi," Ucap Ye Ji pelan hampir tak terdengar di telinga seorang park jimin.

Jimin pun mengangkat panggilan dari uisa Song.

"Ye Ji-ahh. Bisa datang sekarang tidak? anak-anak tak mau makan obat, bagaimana cara nya... astaga kepalaku hampir pecah."

"Maaf, tapi bisakah uisa Han libur? Ia sedang demam."

"Eh. Nuguseyo?"

"Aku Park Jimin, calon suaminya. Jadi bisakah ia libur sehari saja?"

"B-baiklah kalau begitu. Bilang ke uisa Han semoga lekas sembuh ya."

Tutt...tutt

Ye ji menatap kesal Jimin. Bagaimana bisa ia berkata seperti itu. ia sungguh baik-baik saja. Ia harus mengurus bocah-bocah itu untuk makan obat. Bagaimana jika salah satu dari mereka penyakitnya kambuh? Atau apalah yang membuat Ye Ji merasa bersalah.

"Jim, aku tak ingin libur."

"Tapi kau sakit."

"Tidak, aku baik-baik saja." Ye Ji mengikat rambutnya asal kemudian beranjak dari sofa. Tubuhnya merosot seketika, saat ia ingin berdiri. Rasanya ada sesuatu yang menimpa kepalanya. ia pening bukan kepalang.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Jimin panik sambil berjongkok di depan Ye Ji, menyetarakan tinggi mereka.
Tentu saja. Ye Ji menggeleng kepala nya guna menghilangkan rasa pening di kepala nya.

"Kau tidak baik-baik saja. Jangan keras kepala." Jimin berbicara hampir dengan nada bentakan. Ia benar-benar tak bisa membiarkan Ye Ji menang kali ini.

"Mereka harus makan obat. Kau tidak mengerti jika di posisi ku."

"Kau juga harus memikirkan dirimu sendiri. Bagaimana jika kau pingsan? Kau bisa saja semakin merepotkan orang-orang."

"Tidak-tidak. aku tidak akan pingsan. Tinggal meminum obat pusing saja." Ye Ji kembali berdiri tetapi Jimin menghalangnya, tangan lelaki itu memundurkan bahu Ye Ji.

"Kumohon, sekali ini saja. Turuti perintahku, dan jangan egois. Aku sakit melihat noona seperti ini." Gumam nya pelan.

Noona, itu yang pertama kali di dengar oleh Ye Ji. Jimin kembali memanggilnya noona. Ia tak salah dengar kan? Kenapa ia jadi merindukan panggilan itu? setelah Ye Ji menyetujui nya, Jimin mengendong wanita itu dengan gaya bridal style.

"Berat tidak? aku bisa jalan sendiri," Ucap Ye Ji sambil menggesekkan pipi nya ke ceruk leher Jimin. Bukan karena apa, hanya saja saat menyentuh kulit Jimin, ia merasakan kehangatan. Ia benar-benar demam. Tangan nya ia kalungkan ke leher pria itu.

"Ringan sekali, kau harus banyak makan." Jimin bicara realita, wanita itu benar-benar ringan. Sedangkan Ye Ji kembali memikirkan sesuatu. Tidak ada kata noona lagi.

Setelahnya Jimin pun mebaringkan Ye Ji di atas kasur kemudian menyelimutinya. Wanita itu lebih dulu memejamkan matanya. Kenapa ia demam di saat yang tidak tepat? Pintu apartemen nya rusak dan mendapat bocah-bocah yang tak mau di urus. Astaga, menjengkelkan sekali. Tapi, tentu saja sebagai dokter ia tak perlu mengeluh seperti itu.

"Aku buatkan bubur dulu." Jimin beranjak dari kasur setelah menutup seluruh tubuh Ye Ji dengan selimut tebal miliknya. Langkah Jimin terhenti saat wanita itu menahan tangan nya. tangan dingin gadis itu bisa ia rasakan.

"Bisakah kau tetap disini? Aku tak ingin makan."

"Tapi kau harus makan, bagaimana kau mau makan obat dalam keadaan perut kosong?"

"Aku ingin kau disini, Jim. Lakukan seperti yang pernah ku lakukan dulu."

Jimin menghela nafasnya, setelah ia memesan bubur abalone secara online, ia pun duduk di tepi ranjang.

"Kau bisa disampingku, jika kau mau," gumam Ye Ji pelan membuat detak jantung Jimin berdetak dua kali lebih cepat.

"Hah?'

"Ikutlah berbaring denganku, kau pasti nanti lelah jika berlama-lama duduk di sana. Jangan membantah, karena aku dulu menyesal telah menolak untuk tidur di sampingmu."
Ye Ji menggeser tubunya, memberikan Jimin tempat untuk berbaring. Ayolah, jangan berfikiran mesum seperti itu. mereka tak akan melakukan apapun, karena ini bukan fanfiction NC.

Jimin dengan ragu melangkah untuk berbaring di sampingnya. kenapa bisa hal seperti itu bisa membuat detak jantungnya bermasalah.

Sekarang mereka bahkan dengan canggungnya berbaring bersama. Tak ada yang menoleh untuk menatap wajah lawan nya. tak lama itu, Jimin membalik kan posisi nya menghadap Ye Ji. Setelah melihat Jimin yang sudah berbalik, Ye Ji pun berbalik juga. Ia menatap wajah Jimin yang gugup kemudian terkekeh pelan.

"Jim. Maaf kemarin sudah menamparmu." Tangan wanita itu bergerak mengelus pipi kanan Jimin.

"Tidak. kau tidak salah. aku yang seharusnya tak melakukan hal seperti itu."

"Maaf juga karena belum bisa membalas perasaanmu." Tangan wanita itu masih bergerak mengelus pipi Jimin dengan pelan. cepat-cepat Jimin melepaskan tangan wanita itu dari pipi nya dengan pelan.

"Kalau begitu, jangan lakukan hal ini. Kau membuatku semakin jatuh." Ye Ji menghela nafas. mungkin memang seharusnya Jimin tau semua tentang wanita ini.

"Jim, kau tau terkadang seseorang takut melakukan sebuah hubungan. Itu pasti karena masa lalu. Dan sialnya, ini terjadi kepadaku. aku punya sebuah ketakutan dalam menjalani sebuah hubungan, tidak.. bahkan memulainya aku tak bisa. Aku melihat sebuah kesakitan. Ia menghampiriku dan rasanya seperti hati ini tertusuk. Bayangan masa lalu itu datang. aku memandang semua lelaki itu sama seperti dia. Mereka akan meninggalkan ku dengan mudah."

Ye Ji memejamkan matanya. Kenapa semua orang tidak mengerti dia. Kenapa harus ia yang merasakan semuanya. Tentu saja Ye Ji iri dengan teman-teman nya yang bisa berkencan dengan mudah. Mampu ikut kencan buta sekalipun mereka terpaksa. Kadang ia bertanya, apakah ia adalah manusia normal? Kenapa ia bisa menganggap semua lelaki sama. Sama seperti cinta pertama nya dulu yang dengan mudahnya pergi bersama dengan wanita lain, di depan nya. dengan mudah ia berkata kalau dia bukan apa-apa baginya. Dengan mudah ia mencium seorang wanita di depan nya. Dengan mudahnya ia bilang, ia tak pernah cinta dengan nya.

"Aku tak normal. Benar bukan, Jim. Ye Ji terkekeh pelan.

"Makanya, kau harus cari wanita lain. Wanita yang lebih sempurna dariku," Lanjutnya sambil berbalik, memunggungi Jimin. Rasanya ia ingin menangis jika mengucapkan semuanya. Kalau pun bisa, ia akan membunuh pria brengsek itu dengan tangan nya sendiri.

"Aku tak akan meninggalkan mu," Ucap jimin sambil menatap punggung rapuh gadis itu.

"Aku ingin percaya dengan perkataanmu. Tapi, tidak bisa. Ibu pernah bilang bahwa ia tak akan meninggalkan ku. nyatanya, ia meninggalkan ku, bukan?"

Ia ingat bagaimana ibunya berjanji untuk selalu menemaninya. Tak akan meninggalkan nya. nyatanya, ibunya tak bisa menepati janji itu. ibunya mengingkari janji itu. ia tak bisa percaya.

"Aku sungguh berjanji." Jimin melingkarkan tangan nya di perut Ye Ji. Memeluk nya, agar ia bisa mengurangi sakit yang dirasakan wanita itu. wajah Jimin sudah tenggelam di ceruk leher Ye Ji. Wanita itu pun refleks berbalik arah menghadap ke Jimin. Tangan nya juga melingkar di perut Jimin-membalas pelukan pria itu. Mereka bahkan bisa merasakan deru nafas masing-masing. Wanita itu bergerak mendekatkan bibir nya ke telinga Jimin. Ia membisikkan sesuatu. Bisikan nya terdengar sangat menyakitkan di telinga Jimin.

"Tidak. kau tidak boleh berjanji denganku. Cari wanita lain. Jangan menyukaiku, kau tak akan bahagia. Aku tau kalau delapan tahun itu tak sebentar. Cukup sudah kau sakit karena ku Jim," Lirih Ye Ji sambil memeluk Jimin dengan erat.

"Masa lalu adalah masa lalu. Kita tidak bisa memanjakan diri kita dalam kenangan dan menghancurkan masa kini." Ye Ji ingat betul kata-kata yang di ucapkan semua teman nya. ia membenarkan semuanya. Tapi, entah kenapa ia tidak bisa keluar dari masa lalu ini. Ia sudah menghancurkan masa depan nya. ia sakit, terlebih lagi mengetahui bahwa ia juga memiliki perasaan dengan Jimin. Pria itu telah berhasil membuatnya jatuh cinta. Sayangnya, ia tak bisa keluar dari masa lalu dan berakhir menyia-nyiakan pria yang juga ia cintai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top