Shots - 32

Yuhuu update lagi❤️❤️

#Playlist:  The Script - The Man Who Can't Be Moved

Setelah tiga hari Milky menemani Belva, tiba saatnya dia bertemu dengan Sunday. Keadaan Belva sudah membaik. Tinggal menunggu kabar dari dokter kapan bisa pulang. Milky ingin memberi jawaban atas lamaran Sunday beberapa waktu lalu.

Di dalam kedai kopi Milky menunggu Sunday. Selama beberapa menit telah menunggu, dia mendapati Sunday datang dengan senyum semringah. Milky bangun dari tempat duduknya menyambut Sunday.

"Hei. Kamu udah nunggu lama, Milk?" sapa Sunday.

"Belum, kok. Duduk, Sun."

Setelah Sunday duduk di depannya yang berbatasan dengan meja sebagai penengah mereka, Milky ikut duduk. Milky menyodorkan buku menu lebih dulu supaya Sunday lebih rileks. Meskipun mulut sudah tidak sabar ingin membahas tanpa basa-basi, Milky tidak mau membuat Sunday kena serangan jantunga perkara dia langsung memberi tahu.

"Tumben ngajak ketemu di sini. Kenapa nggak di kantor kamu?" tanya Sunday.

Milky tidak bisa memberi tahu alasan sebenarnya. Tahan dulu sebentar. Iya, alasan sebenarnya karena kedai kopi ini lebih dekat dengan rumah sakit. Jadi Milky tidak perlu repot pergi jauh-jauh dan bisa segera kembali jika ada apa-apa.

"Nggak apa-apa, mau coba suasana baru," jawabnya pelan.

"Oh, gitu." Sunday mengamati interior di dalam kedai kopi. Serba pink bertabur bunga-bunga mawar yang terbuat dari plastik. Biasanya Milky tidak suka tempat-tempat seperti ini karena terlalu banyak bunga meskipun sebatas plastik. "Tempatnya cantik, ya. Aku baru ke sini."

"Me too." Milky tahu tempat ini dari Mbah Google. Kalau kedai kopi lainnya konsep sama. Jadi dia sengaja memilih ini setidaknya untuk menenangkan hati nantinya.

"Beberapa hari ini kamu nggak balas chat aku. Kenapa, Milk?"

"Pesan dulu aja."

Sunday mendengarkan Milky dengan memilih kopi andalan di sana. Ada gambar mawar yang disempilkan di akhir nama menu sebagai rekomendasi dari pihak restoran untuk makanan dan minuman paling disukai pengunjung. Sunday memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Pada saat yang sama, cheesecake pesanan Milky datang dan disajikan cantik di atas meja.

"Makan dulu aja kalau kamu mau, Milk," suruh Sunday.

"Nggak, ini buat kamu." Milky menyodorkan cheesecake. Dia memesan blackforest untuk dirinya sendiri. Pesanannya justru sudah hampir habis. "Ini punyaku udah habis setengah," ucapnya seraya menunjuk kuenya.

"Aku pikir kamu pesan lagi karena masih mau cicip kue yang lain." Sunday terkekeh pelan. Kemudian, dia mengambil garpu yang berdampingan dengan kue. "Thank you. Kamu masih ingat aja aku suka ini."

"Soalnya dulu aku pernah coba buat dan gagal." Teringat kejadian itu Milky tertawa kecil. Jangankan jadi cheesecake, adonannya tidak berkembang dan gagal. Jadi dia membuangnya dengan kesal. "Selamat mencicipi, Sun."

Senyum di wajah Sunday tertarik sempurna. "Thank you, Milk."

Milky berdeham pelan. Menunggu kopi pesanan Sunday untuk menelan waktu. Sunday memandangi dengan tatapan ingin tahu.

"Kamu kelihatan khawatir. Kenapa, Milk? Ada yang kamu pikirin?" Sunday menatap khawatir.

"Sun," Milky mengambil napas sebentar sebelum mengembuskan perlahan. "I'm sorry. I'm sorry." Lalu, dia menggamit tangan Sunday dan meletakkan cincin di atas telapak tangan laki-laki itu. "Aku nggak bisa nikah sama kamu, Sun. Maaf."

Sunday menatap cincin yang diletakkan sebelum akhirnya menatap Milky. "Kenapa? Apa usaha aku kurang?"

"Nggak, bukan." Milky menggeleng pelan. Dia menunduk, ragu untuk menyampaikan dengan menatap Sunday. "Perasaanku udah berubah. Aku jatuh cinta sama yang lain, Sun. Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita. I'm sorry."

"Coba tatap mata aku supaya aku tahu kamu beneran atau sekadar menghindari pernikahan."

Milky menaikkan pandangan, menatap Sunday dengan serius. "Aku serius. Aku nggak bisa menikah dengan kamu. Perasaanku udah berubah. Aku nggak bisa maksain diri aku nerima kamu. Takutnya di pertengahan jalan setelah perasaan ini nggak lagi untuk kamu, aku malah berulah. Jadi aku perlu bilang sama kamu."

Sunday tersenyum pahit. Tenggorokkan serasa tercekik. "Apa nggak bisa kamu bertahan sebentar? Aku akan usaha supaya perasaan kamu kembali untuk aku, Milk. Nggak apa-apa, aku bisa nunggu."

Milky menggeleng pelan. Dia tidak pernah kepikiran untuk membuat Sunday menunggu. Sekali pun di benaknya tidak sampai sana. "I'm sorry, Sun."

Sunday menemukan rasa bersalah tersirat dari mata sang mantan. Di dalam kepalanya muncul sebuah persepsi kasar. Persepsi ini mungkin saja akan menghancurkan hatinya jika benar.

"Apa rumor tentang kamu dan Belva benar?" tebak Sunday.

Tanpa ragu Milky mengangguk. Milky tidak tega memberi jawaban lebih gamblang selain lewat anggukan. Sunday tersenyum pahit.

"I'm sorry." Sekali lagi Milky menyampaikan perasaan bersalahnya. Dari sorot mata Sunday, dia melihat mata itu menahan kekecewaan dan luka. "Aku harusnya bisa memberi batasan tegas supaya kamu nggak terluka."

"It's okay, Milk." Senyum di wajah Sunday merekah pelan meski luka kian mengikat. "I wish the best for you and Belva. Kalau memang ini jalannya, mau gimana lagi? Aku nggak bisa maksa kamu berjuang sama aku saat hati kamu sudah menjadi milik orang lain. Aku harap aku bisa lebih cepat, ternyata aku keduluan." Terakhir sebelum mengakhiri, Sunday menggamit tangan Milky dan mengusap punggung tangannya. "Berbahagialah dengan laki-laki yang kamu pilih sekarang. Aku akan coba terima keputusan ini walau nyesek."

Milky semakin merasa bersalah. Melihat Sunday menatap nanar dan memaksakan senyum, dia menjadi sosok yang paling jahat sedunia. Walau sebenarnya tidak salah dia mengakui hubungannya dan Belva secara tidak langsung, tapi dia sudah menyakiti Sunday.

"Boleh nggak aku peluk kamu sekali sebelum benar-benar melepas kamu, Milk?"

Ketika Milky mengangguk, detik itu juga Sunday tersenyum lebih tulus, bangun dari tempat duduknya dan memeluk Milky tanpa aba-aba. Dalam pelukan penuh ketidaksiapan, terlebih hati yang kini terluka, Sunday mendekap Milky lebih erat.

"I wish I could have done more for you, Milk," bisik Sunday.

Milky tidak bisa mengatakan apa-apa. Hari ini mereka berpisah bukan sebagai musuh. Mereka berpisah dan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan yang tidak lagi bisa direkatkan. Milky berterima kasih kepada Sunday selama mereka menjalin hubungan, laki-laki itu memperlakukannya dengan baik.

"Aku yakin ada perempuan yang jauh lebih baik nanti untuk kamu, Sun," balasnya pelan.

"Ya, semoga aja."

Percakapan mereka berakhir. Pelukan terus terjadi hingga sebuah lagu muncul melalui speaker kedai kopi mengisi seluruh ketenangan. Lagu The Man Who Can't Be Moved yang dinyanyikan The Script seakan menjadi perwakilan perasaan Sunday.

🎶Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag, I'm not gonna move
Got some words on cardboard, got your picture in my hand
Saying, "If you see this girl can you tell her where I am?"

🎶Some try to hand me money, they don't understand
I'm not broke, I'm just a broken-hearted man
I know it makes no sense but what else can I do?
And how can I move on when I'm still in love with you?

🎶'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on the corner of the street

🎶So I'm not moving, I'm not moving.....

☕️☕️☕️

Belva melihat sang ayah datang bersama dua anaknya. Setelah ayahnya menikah lagi, Belva tidak pernah bertemu ibu tiri maupun adik-adiknya. Bukan tidak ingin, ayahnya tidak pernah mengenalkan dua adiknya. Belva hanya membenci ibu tirinya, tidak membenci dua adiknya yang dengar-dengar berumur lima belas tahun. Saat menghadiri acara keluarga Russell, ayahnya seakan menjauh dan tidak mengenalkan adik-adik padanya.

Hari ini Belva bisa melihat dua gadis yang menggemaskan. Anak kembar kesayangan ayahnya. Belva mengamati dua gadis itu bergantian. Salah satunya bersembunyi di balik punggung ayahnya tampak malu-malu.

"Beri salam dulu sama kakak kalian. Tadi katanya mau ikut jenguk," suruh Steven.

"Halo, Kak Belva. Namaku Causa Zwetta Russell. Aku gemar makan kacang almond jadi ini kubagi untuk Kak Belva supaya cepat sembuh." Causa menyerahkan sekotak kacang almond yang diberi pita pink kepada Belva. Tidak sampai disentuh Belva, dia menambahkan, "Biar aku bantu taruh jadi Kak Belva nggak repot." Lantas, dia meletakkan di atas nakas diselipi senyum lebar.

Belva balas tersenyum. "Makasih, ya, Causa."

"Ceysa! Jangan malu-malu!" Causa menarik Ceysa, adiknya, sampai berhasil berdiri di sampingnya. "Katanya kamu bawa cacing buat Kak Belva?"

Satu alis Belva naik. "Cacing?"

"Bukan cacing beneran, tapi permen jelly." Ceysa menunduk, mundur satu langkah, malu-malu mau memberikan bingkisan di tangannya. "Takutnya Kak Belva nggak suka," gumamnya pelan.

Belva menahan tawa. "Suka, kok. Mana cacingnya?"

Causa mendorong adiknya sampai berdiri tepat di samping ranjang. Ceysa hampir saja jatuh kalau tidak berpegangan pada siderail ranjang. Ceysa tidak protes didorong justru yang mengomel Steven gara-gara Causa seenaknya.

"Ka-Ka-Kak Belva, semoga cepat sembuh. Ini cacing buat Kak Belva." Ceysa menyodorkan dengan menunduk. Walau sudah bukan anak kecil lagi, dia masih malu-malu bertemu orang baru, apalagi kakak yang tidak pernah ditemuinya selama ini. "Semoga Kak Belva mau makan hadiah ini dari adik yang baru berjumpa."

Belva terkekeh. "Lucunya," ucapnya seraya mengambil hadiah dari adiknya dan mengacak-acak rambut Ceysa sebagai balasan. "Kakak pasti makan. Makasih, ya, Ceysa. Jangan nunduk mulu, nggak ada uang koin di bawah lantai."

"Katanya dia malu mau ketemu Kak Belva. Soalnya Kak Belva ganteng," beber Causa.

"Ganteng?" Belva berpose pura-pura cool. "Senangnya. Bangga, dong, punya kakak ganteng gini?"

Ceysa melirik Belva sekilas sebelum kembali menunduk dan mundur. Dengan malu-malu dia mengangguk. Sementara itu, Causa tertawa puas meledek adiknya yang kikuk dan pemalu.

"Berhubung udah ketemu Kak Belva, kalian tunggu di luar sebentar, ya. Papa mau bicara berdua sama Kak Belva," kata Steven.

"Oke, Pa!" sahut Causa.

Sebelum pergi Causa mendekati ranjang dan memeluk Belva. Tentu saja tindakan yang tiba-tiba itu mengejutkan Belva. Namun, tidak itu saja, Causa mengecup pipi Belva sebagai tambahan akhir.

"Cepat sembuh, Kak. Kalau udah sembuh, ajak aku belanja baju. Oke?" kata Causa tanpa malu.

"Oke, thank you, Causa," balas Belva mengangguk setuju.

"Ayo, cepat, Cey. Jangan buang waktu." Lagi, Causa mendorong Ceysa untuk bergerak cepat tanpa malu-malu. Namun, adiknya tetap malu-malu.

Belva menyadari adiknya yang paling bungsu sangat pasif. Dengan penuh inisiatif Belva merentangkan kedua tangannya. "Come here, Ceysa. Nggak mau peluk kakaknya sebelum pergi?"

Dengan malu-malu Ceysa mendekati Belva dan memeluk kakaknya. Tidak seperti Causa yang bisa seenaknya mengecup pipi sang kakak, Ceysa tidak berani. "Cepat sembuh, Kak Belva." Lalu, dia menarik diri dan kembali menunduk lagi tidak berani menatap Belva.

"Dadah, Kak Bel!" Causa melambaikan tangannya penuh semangat, lalu tangan lainnya menarik Ceysa untuk segera menyingkir dari sana bersamanya.

Beberapa menit setelah dua gadis itu menghilang dari pandangan, Steven mendekati ranjang putranya, berdiri dekat di samping Belva.

"Jaga kesehatan kamu, Bel. Mamamu lagi di Jepang. Dia marah-marah kamu masuk rumah sakit. Kalau memang makanannya udah basi jangan dimakan," ucap Steven.

"Iya, Pa. Lagian mana tahu makanannya sudah nggak layak."

"Lain kali hati-hati."

"Iya, Pa."

Suasana tiba-tiba hening. Baik Belva maupun Steven kehabisan bahan obrolan. Steven melihat Belva, sedangkan Belva melengos ke arah lain. Mereka tidak saling menatap.

"Setelah ini tolong pertimbangkan untuk gantiin Papa, ya, Bel."

Belva mendesah kasar. "Itu lagi."

"Tolong pikirkan, Bel. Ini terakhir kali Papa minta sama kamu. Papa harap kamu mau mempertimbangkan," mohon Steven.

Belva tidak menjawab. "Kalau udah nggak ada pembahasan, Papa boleh pulang."

Steven menghela napas berat. Dia tahu akan seperti ini. Belva tidak mau melihatnya sama sekali. Steven meletakkan kotak berukuran sedang di atas nakas. "Ini dari Papa untuk kamu. Semoga kamu suka. Papa pulang, ya. Cepat sembuh, Bel."

"Iya, makasih, Pa," jawab Belva dingin. Pandangannya tetap ke arah lain, tidak melihat ayahnya sama sekali.

Menit berikutnya Steven beranjak pergi meninggalkan kamar inap. Belva baru menoleh setelah ayahnya keluar dari kamarnya. Pandangan Belva tertuju pada kotak yang ditinggalkan sang ayah. Tidak diambil, Belva hanya memperhatikan sebentar dan memilih mengabaikan.

☕️☕️☕️

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗❤️

Follow IG: anothermissjo

Tenaaaang Sunday nanti ada ceritanya di Wacaku dengan judul 9 Kisses ehehee bagian dari salah satu tokoh utama kok. Jadi kalau mau baca kisah Sunday di Wacaku itu yaaa ^^

Salam dari Milky >_<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top