Shots - 27
Update lagi nih😂😂
Komen jangan lupa ye🤗🤗
•
•
Setelah Belva mengakhiri pertemuan dengan sang ayah tadi, dia pergi ke kedai kopi utama untuk memantau. Lebih tepatnya mau menyibukkan diri supaya tidak kepikiran masalah Milky.
Selagi Belva mengajarkan anak magang, dia dikejutkan dengan kehadiran sosok yang dikenal, Oma Aya. Wanita tua itu memasang wajah jutek saat menatapnya. Tanpa pikir panjang Belva menyudahi sesi mengajar dan meminta pegawai lain yang sudah mahir untuk menggantikan. Belva segera menghampiri Oma Aya.
"Hai, Oma," sapa Belva ramah.
"Jangan hai-hai, deh. Saya marah sama kamu," balas Oma Aya jutek.
"Marah tapi kangen, kan, Oma?" canda Belva.
Oma Aya memelototi Belva. Hal ini membuat Belva nyengir. "Bercanda, Oma, bercanda. Saya minta maaf udah bohong sama Oma."
"Telat kali kamu minta maaf. Kalau saya nggak datang, kamu nggak bakal minta maaf, kan?"
"Minta maaf, Oma. Saya belum sempat ajak ketemu Oma, eh, udah disamper duluan. Maaf, ya, Oma. Maaf."
Belva berkata jujur. Sebenarnya dia ingin menemui Oma Aya setelah urusan acara meet and greet kemarin selesai. Namun, belum sempat datang, orang yang bersangkutan malah menghampirinya duluan.
"Udahlah kamu banyak alasan. Siapin kopi buat saya. Yang enak. Awas nggak enak," titah Oma Aya.
"Siap, Oma. Saya siapin dulu, ya."
"Iya, cepetan."
Belva menahan tawa. Oma Aya tidak berubah meskipun dia sudah berbohong. Sedikit bersyukur jadi tidak perlu takut diketusin seperti waktu pertama bertemu. Sebelum Belva bergerak membuat kopi, dia mengantar Oma Aya dan menarik kursi untuk diduduki Oma Aya. Barulah setelah memastikan Oma Aya duduk dengan nyaman, Belva bergegas melakukan tugas penting dari Oma Aya.
Setelah cukup lama membuatkan kopi, Belva datang membawa nampan berisi secangkir kopi hangat dan croissant. Belva menyajikan dengan hati-hati sambil tersenyum supaya Oma Aya tidak pasang wajah jutek terus.
"Silakan dicicipi, Oma." Belva mempersilakan.
Oma Aya mencicipi kopi setelah meniup berulang kali agar tidak terlalu panas. Rasanya pas dan enak seperti waktu itu. Khasnya Belva.
"Croissant menu baru di sini, Oma. Ini buatan koki andal saya. Nanti tolong kasih tahu saya rasanya."
"Banyak mau, ya."
Belva menahan tawa. Tidak disangka baik Oma Aya atau Milky punya jawaban yang sama. Belva jadi ingat reaksi Milky waktu bilang dia banyak mau. Kalau ingat itu, dadanya sesak.
"Mana Milky? Dia nggak mampir ke sini?" mulai Oma Aya.
"Milky lagi sibuk kerja, Oma. Lagian dia jarang mampir ke sini."
"Tahu dari mana dia sibuk kerja? Kalian tukar pesan?"
"Nggak, Oma. Dari sepupu saya yang kerja di penerbitan Milky, Oma."
Oma Aya memperhatikan Belva. "Kirain kalian tukar pesan. Kalau kamu tukar pesan, Oma mau marah. Soalnya dia nggak balas pesan Oma. Dia nyebelin banget nggak mau datang ke rumah."
"Kenapa, Oma?"
"Nggak tahu, tuh, dia. Nyebelin banget jadi perempuan."
"Sabar, Oma, sabar."
"Kamu tahu, kan, kesabaran saya lebih tipis dari tisu? Jadi jangan nyuruh saya sabar."
Lagi, Belva menemukan kesamaan antara Oma Aya dan Milky. Dua-duanya lucu. Belva jadi tertawa teringat momen Milky bilang padanya kesabaran Milky setipis tisu. Ah, momen-momen kebersamaan mereka rupanya masih menyangkut di kepala. Kenapa harus Belva ingat-ingat? Sebentar lagi, kan, Milky akan menjadi milik orang lain.
"Kamu ketawa mulu. Kenapa? Jadian beneran sama Milky?" usik Oma Aya.
Belva jadi sesak kalau dengar pertanyaan itu. Dia tertawa pahit. "Yah ... Oma. Boro-boro jadian, nih. Sayanya keduluan. Milky udah dilamar orang."
Oma Aya memicingkan mata. "Sunday, ya?"
Belva mengangguk. "Oma harus restui mereka. Biar gimana pun, Milky cucu Oma. Apa Oma nggak mau lihat Milky bahagia? Dia sedih banget nggak bisa direstui Oma."
Oma Aya diam memperhatikan Belva. Menyeruput kopinya yang pas di lidah. Niatnya mau marah-marah datang ke sini, eh, sudah ketemu Belva malah tidak tega mengamuk. Dia tahu yang punya ide bohong cucunya. Jadi tidak mau menyalahkan Belva sepenuhnya. Mendengar Belva keduluan, dia sendiri jadi tahu kalau Belva tertarik dengan cucunya.
"Kamu cinta sama Milky?" todong Oma. Belva pun mengangguk. "Beneran? Bukan sebatas bohong, kan?"
Senyum di wajah Belva terlihat. "Benar, Oma. Saya mencintai Milky. Saya tulus sama dia. Hubungan kami waktu itu memang pura-pura supaya Milky nggak dijodohkan. Saya minta maaf soal itu. Tapi soal perasaan, soal pengakuan saya ke Oma dan papanya Milky, saya nggak bohong. Saya memang mencintai Milky."
Suara Belva menyiratkan ketulusan. Binar-binar keseriusan terpancar dari iris cokelatnya yang jernih. Belva terus tersenyum sampai senyum itu surut dengan sendirinya, teringat fakta bahwa dia tidak mungkin menyaingi Sunday.
"Terus kamu nyerah pas tahu Sunday lamar dia?"
"Nyerah, sih, nggak. Saya tetap usaha semampu saya. Tapi saya tahu Milky pasti akan milih Sunday. Jadi, saya harap Oma mau merestui mereka. Tanpa mengurangi rasa hormat saya sama Oma, tolong terima Sunday. Dia berhak dapat kesempatan itu dari Oma. Kalau memang ada yang kurang Oma suka dari Sunday, bicarakan baik-baik sama Milky. Gimana pun Milky ingin bahagia atas pilihannya. Asal Milky bisa meraih kebahagiaan yang dia mau, meski bukan dengan saya, saya nggak masalah."
Oma Aya mendesah kasar. "Kok, bisa ada manusia seikhlas kamu? Kalau Oma udah serobot biar direstui."
Belva tertawa kecil. "Ya, namanya hidup, Oma. Harus ikhlas sama beberapa hal, kan?"
"Kalau saya kasih restu terus mereka beneran nikah, kamu beneran nggak apa-apa? Kamu yakin sama permintaan kamu ini? Kamu nggak bisa tarik lagi permintaan kamu kalau saya udah lakukan," tanya Oma Aya penuh penekanan.
Belva mengangguk yakin. Senyum tipisnya kembali menghiasi wajah. "Iya, Oma. Saya nggak apa-apa. Tolong beri restu untuk mereka."
Oma Aya mengangguk pelan. "Oke, nanti saya pertimbangkan untuk merestui mereka."
"Makasih, Oma."
"Nanti malam datang ke rumah. Anggap aja gantiin Milky yang nggak mau datang ke rumah. Biar aja anak itu saya kutuk jadi abu."
Belva nyaris terbahak. Dia menahan diri, hanya tertawa pelan tanpa suara. "Jangan, dong, Oma. Nanti saya nggak bisa lihat Milky lagi. Kalau kangen, masa lihat abunya?"
Oma Aya berdecak. "Kamu, nih, ya. Oma nggak nyangka kamu sama Tiffany setipe. Bisa-bisanya kalian ikhlas orang yang dicintai nikah sama orang lain. Nggak habis pikir."
"Oh, ya? Tiffany ditinggal nikah, Oma?"
"Iya. Kalau kamu coming soon sama Milky yang lebih milih Sunday, Tiffany ditinggal Hotelio nikah. Kakak-adik itu memang benar-benar, deh."
Belva kaget mendengarnya. Dia baru tahu Tiffany dan Hotelio ada sesuatu. Kenapa Kissy tidak pernah cerita?
"Wah ... apa ini tandanya saya berjodoh sama Tiffany?" canda Belva setengah terkekeh.
Oma Aya mengangkat bahunya. "Entah. Tapi kalau kamu mau, Oma bisa jodohin sama dia. Kalian cocok. Dari segi sifat sama."
Belva tergelak. "Haha ... bercanda, Oma, bercanda."
Oma Aya menarik senyum. Senang melihat Belva tertawa dengan tulus setelah menunjukkan kesedihan. Biarlah hanya mereka yang tahu bagaimana nantinya. Oma Aya cuma bisa mendoakan yang baik-baik.
☕☕☕
Milky terpaksa datang ke rumah neneknya setelah dapat kabar Belva mampir untuk makan malam bersama neneknya. Dia tidak ingin Belva dimarahi gara-gara kebohongan waktu itu. Milky bergegas masuk ke ruang makan. Bukan hal-hal buruk yang dia pikirkan terjadi, malah dia melihat Belva dan Tiffany berbincang penuh canda tawa. Oma Aya juga menunjukkan tawanya.
"Datang juga kamu, ya. Oma pikir nggak bakal injak kaki lagi ke sini," tegur Oma Aya.
"Terpaksa," sahut Milky jutek.
"Kenapa? Takut Belva diambil orang?"
Milky melirik Belva yang melambaikan tangan dengan ramah padanya sambil tersenyum. Kalau sudah melihat Belva senyum, itu berarti neneknya tidak memarahi. Entah apa yang diperbincangkan, tapi tampaknya mereka sudah akrab.
"Nggak. Saya cuma takut Oma marahin Belva. Kalau nggak dimarahin, ya udah. Saya mau pulang," jawab Milky, masih jutek.
"Makan dulu aja, Milk," ajak Tiffany.
"Makan dulu. Makanan banyak," suruh Oma Aya.
"Nggak, deh. Udah kenyang."
Jawaban Milky barusan berkontradiksi dengan bunyi perutnya yang kelaparan. Bunyinya cukup keras saat suasana sedang sunyi. Hal ini membuat Belva dan Tiffany menahan tawa. Sial. Malu-maluin saja. Milky ingin mengutuk perutnya.
"Bohong lebih enak, sih, ya. Bagusnya perut bisa lebih jujur dari mulut," ejek Oma Aya.
"Ayo, ayo, duduk." Tiffany bangun dari tempat duduknya, menarik Milky sampai duduk bersampingan dengan Belva. Dia memberi tempat duduknya dan menyingkir ke seberang mereka. "Nah, selamat makan."
"Kenapa kamu pindah, Tiff? Biar aja Milky yang duduk sendirian. Kamu, kan, lagi ngobrol sama Belva," tegur Oma Aya.
Tiffany menarik senyum. "Nggak apa-apa, Oma. Biar saya duduk sendiri aja."
"Lihat, Belva. Tiffany mirip kamu. Udah lah kalian nikah aja." Oma Aya berucap santai sambil melilitkan spaghetti pada garpunya. Sedikit melirik Tiffany sebelum melihat Belva.
"Kalau Tiffany jodohnya mah, siapa yang mau nolak, Oma?" canda Belva setengah terkekeh.
Milky mendelik tajam. "Dasar bajingan."
Kata-kata Milky yang cukup jelas dan spontan itu berhasil mengusik telinga Belva. Selain itu, Tiffany dan Oma Aya juga mendengar umpatan tersebut.
Belva menoleh ke samping. "Saya yang bajingan?"
"Yang merasa aja," balas Milky tanpa menoleh.
"Kenapa bajingan? Oma memang mau jodohin Belva sama Tiffany. Daripada mereka galau ditinggal nikah, lebih baik mereka nikah. Cocok lah. Kenapa kamu harus marah kalau mereka mau berjodoh? Nggak rela?" sambung Oma dengan menekankan setiap kalimatnya terutama bagian nikah dan ditinggal.
Milky tidak menjawab neneknya. Bohong kalau dia bilang rela. Ada perasaan yang bercampur aduk. Kesal, marah, cemburu, semuanya. Milky pikir perasaan ini hanya akan bertahan sementara, bahkan setelah Sunday melamar, perasaan ini akan hilang. Ternyata tidak.
"Kamu ajak, deh, Sunday. Kalian berempat double date sana. Oma kasih tiket nonton konser band M2BN. Sebelum pergi nonton, kamu undang Sunday untuk makan siang ke sini. Ada yang ingin Oma bicarakan," lanjut Oma Aya.
Pandangan Milky beralih pada sang nenek. "Mau bahas apa?"
"Rahasia. Bawa aja Sunday."
"Iya, Oma. Nanti saya bawa."
Belva melempar senyum pada Oma Aya sebagai bentuk rasa terima kasihnya, begitu pula Oma Aya yang mengangguk kecil guna membalas. Kode-kodean itu hanya disadari Tiffany yang sambil mengunyah spaghetti, sementara Milky sibuk melihat makanan.
"Kamu mau makan apa? Biar saya ambilin," tanya Belva.
"Ini bukan rumah nenek kamu. Saya bisa ambil sendiri," ketus Milky.
"Iya, saya tahu, Milk." Belva menahan tawa. Kalau ketus gitu Milky jadi kelihatan lucu. "Saya cuma mau bantu. Kamu pakai kemeja lengan panjang. Kalau ambil makanan yang jauh takutnya kena makanan. Makanya saya tanya untuk menawarkan bantuan. Kalau nggak mau nggak apa-apa."
Milky sendiri tidak memperhatikan kemeja yang dipakai, tapi Belva memperhatikan dengan teliti. "Saya bisa sendiri," tolaknya.
"Kalau gitu kamu gulung dulu biar nggak kena makanan," saran Belva.
Milky tidak menjawab dan langsung menggulung lengan kemeja. Namun, dia tidak bisa menggulung dengan benar karena tidak bisa.
"Sini biar saya bantu gulung," ucap Belva.
Untuk kali ini Milky membiarkan Belva membantunya. Belva menggulung lengan kemeja dengan sangat rapi. Milky tahu Belva orangnya rapi dan teratur. Jadi tidak heran lagi gulungannya bisa secantik itu. Milky memperhatikan Belva. Di setiap pertemuan mereka, Belva memperhatikan hal-hal kecil dan sigap menolongnya. Tanpa diminta pun, Belva selalu menjadi yang terdepan menyadari hal-hal yang dia tidak sadari akan dirinya sendiri.
"Nah, udah selesai. Kalau kamu mau ambil makanan udah nggak perlu khawatir lagi," kata Belva.
"Makasih."
"Sama-sama. Selamat makan, Milk."
"Iya. Kamu juga."
Diam-diam Oma Aya memperhatikan. Sebenarnya dia lebih setuju kalau Milky bisa bersama Belva. Namun, kalau cucunya memaksa mau sama Sunday, dia bisa apa. Apalagi Milky keras kepala. Berdebat sama Milky pasti bisa panjang, bahkan sampai Milky mau tidak datang ke rumah. Kalau bukan karena dia sengaja meminta Nerakasara bilang pada Milky kalau Belva diundang ke rumah, tentu saja cucunya tidak mau datang.
"Bel, gimana tawaran Oma? Mau pendekatan dulu, kan, sama Tiffany?" usik Oma Aya. Sengaja mengeraskan suaranya agar didengar.
"Oma ngapain, sih, jodohin orang? Tiffany nggak suka berondong," celetuk Milky.
"Nggak suka berondong? Kamu pikir umur Marco lebih tua dari Tiffany? Marco aja lebih muda di bawah Tiffany. Justru yang nggak suka laki-laki lebih tua, kan, kamu. Makanya kamu bawa-bawa Belva buat dijadiin pacar palsu karena kamu nggak suka laki-laki yang lebih tua," balas Oma Aya tidak mau kalah.
"Sok tahu," cibir Milky.
"Oma tahu, kok. Coba sebut gebetan kamu dari A sampai Z. Ada nggak yang lebih tua? Nggak ada, kan? Semuanya seumuran. Yang lebih muda cuma Sunday. Kamu nggak suka yang tua karena nggak suka diatur. Memang kamu pikir nenekmu nggak tahu apa-apa soal cucunya?"
"Makan aja lah. Oma berisik banget."
Belva mendengarkan dengan saksama. Dia baru tahu Milky lebih banyak dekat dengan laki-laki seumurannya. Tapi kalau boleh jujur, ini juga pertama kalinya Belva dekat dengan perempuan yang lebih muda. Biasanya seumuran atau lebih tua.
"Iya, Oma. Kalau nanti pendekatan mah gampang. Iya, kan, Bel?" Tiffany menyahuti dengan jahilnya.
Milky menyela, "Nggak usah aneh-aneh. Belva nggak suka perempuan. Dia sukanya yang ganteng lagi makanya mau aja disuruh jadi pacar palsu."
Belva nyaris saja terbahak gara-gara ucapan Milky. Dia ingat waktu pertama kali mengira dia suka laki-laki.
"Ada lagi gila-gilanya kamu ngomong gitu," decak Oma Aya.
"Beneran. Tanya aja orangnya." Milky mencubit paha Belva dengan maksud mengiakan ucapannya. Kalau sampai pendekatan sama Tiffany, bisa-bisa beneran jadian. Siapa pula yang mau menolak Tiffany yang secantik bidadari?
Belva menahan diri untuk tidak tertawa. Cubitan Milky cukup keras sampai bikin sakit. Ketimbang mengiakan, dia lebih suka menjawab yang lain. "Saya suka perempuan, Oma. Apalagi kalau perempuannya secantik Tiffany. Mana mau nolak. Betapa beruntungnya saya bisa dekat sama Tiffany."
Milky melirik Belva, menatap tajam cukup lama hingga laki-laki itu sadar dan menoleh. Milky berdecak kasar dan kemudian melahap spaghetti dengan kesal.
Belva senyam-senyum. Dia mendekati telinga Milky dan berbisik. "Kamu curang, ya."
"Curang kenapa?"
"Kamu nggak mau saya dijodohin, tapi kamu pilih yang lain. Kenapa nggak pilih saya aja jadi pendamping kamu?" lanjut Belva masih berbisik.
Milky tidak menanggapi. Pura-pura tidak dengar sambil terus melahap spaghetti. Lagi dan lagi sampai mulutnya penuh. Belva tertawa tanpa suara menyaksikan sikap Milky.
Begitu pipi Milky tidak gembung lagi penuh spaghetti, Belva mencubit pelan pipi Milky.
"Dasar nyebelin. Untung saya cinta," tutur Belva blak-blakan, yang kemudian berhenti mencubit.
Milky terperanjat mendengarnya. Bola matanya bergerak sedikit melirik Belva sebelum kembali melihat spaghetti. Dan seperti sebelum-sebelumnya, debaran yang cukup jelas terasa. Jadi benar Belva jatuh cinta padanya.
☕☕☕
Jangan lupa vote dan komen kalian🤗♥️
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top